Beranda / Berita / Nasional / Perempuan dan Pemberantasan Korupsi

Perempuan dan Pemberantasan Korupsi

Kamis, 26 September 2019 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kendati pemberantasan korupsi di Indonesia telah diagendakan sejak guliran reformasi, namun hingga hari ini korupsi masih menjadi isu utama. Sebuah buku memotret khusus perilaku korupsi yang dilakukan perempuan pemimpin di daerah di Indonesia.

"Setidaknya, kami mencatat ada 9 kepala daerah perempuan yang terjerat kasus korupsi," ungkap penulis buku Perempuan di Singgasana Lelaki, Diah Suradiredja dalam siaran pers yang diterima Dialeksis.com, Kamis (26/9/2019).

Menurut Diah, kesembilan kepala daerah tersebut tersebar di Kabupaten Bekasi, Kota Cimahi, Kabupaten Klaten, Kota Tegal, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Subang, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Talaud, dan Provinsi Banten.

"Koruptor yang terjerat merupakan mereka tidak bisa mengelola kemenangannya dengan baik. Alih-alih menciptakan perubahan tata kelola pemerintahan yang baik dan membuka prospek yang baik bagi kepemimpinan politik perempuan, mereka justru membangun kesan dan persepsi negatif tentang kepemimpinan perempuan dalam politik," kata Diah.

Para perempuan pemimpin ini telah mencoreng tata kelola perizinan, tata kelola pengadaan barang dan jasa, tata kelola kepegawaian, kualitas pelayanan publik, dan sistem merit.

Sebagai catatan, sistem merit adalah kebijakan dan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar tanpa membedakan faktor politik, ras, agama, asal usul, jenis kelamin, dan kondisi kecacatan.

Diah mengungkap, kepercayaan publik terhadap kepemimpinan politik perempuan akan berkurang bila makin banyak politisi perempuan terjerat kasus korupsi.

"Kalau ini terus terjadi, maka keterlibatan perempuan dalam praktek korupsi akan mengurangi prospek kepempinan perempuan di Indonesia di masa depan. setidaknya ada dua isu penting yang harus dikawal publik, yakni profesionalisme dan integritas pribadi," kata Diah.

Mitra menulis Diah, Syafrizaldi Jpang mengungkap buku yang mereka tulis juga berisi berbagai catatan terkait dilema para perempuan pemimpin, antara tugas rumah tangga dengan tugasnya di ranah publik.

"Dari riset yang kami lakukan, kami menemukan syarat utama seorang perempuan menjadi pemimpin adalah anti korupsi dan memiliki pemahaman yang baik terhadap kepentingan publik. Selanjutnya, perempuan juga dituntut tegas jujur, bermoral, beradab dan juga profesional," ungkap Syafrizaldi Jpang yang kerap disapa Aal tersebut.

Kecuali itu, riset yang dilakukan Diah dan Aal juga mencatat isu minor seperti pemimpin perempuan yang transparan dan informatif.

Riset ini, lanjut Aal, juga mencatat 91% responden setuju dengan Kepala Daerah Perempuan, 6% ragu-ragu dan 3% tidak setuju, masing-masing dengan alasannya. Sementara Isu mayor yang harus ditangani oleh Kepala Daerah Perempuan adalah pelaksanaan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, reformasi birokrasi dan pencegahan korupsi, penanggulangan pengangguran dan kemiskinan.

"Isu lainnya termasuk peningkatan kualitas sumber daya perempuan dan kelompok rentan, pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, pembangunan fasilitas dan layanan umum, serta pembangunan yang adaptif terhadap bencana, perubahan iklim dan lingkungan," ujar Aal.

Selain itu, lanjut dia, agenda minor yang juga mesti diperhatikan adalah respon terhadap bencana dan pengelolaan lingkungan, penghormatan Hak Asasi manusia (HAM), serta akses remaja dan perempuan terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi.

Perempuan di Singgasana Lelaki akan diluncurkan pertama kali di Bogor pada 5 Oktober mendatang. Kedua penulis berharap agar buku ini mampu mendorong reproduksi perempuan-perempuan pemimpin di masa mendatang.

Penulis sekaligus pemerhati isu relasi-relasi kuasa yang timpang, Maria Hartiningsih menyebut buku ini merupakan hasil penelitian yang komprehensif terkait gender dan keterwakilan perempuan dalam politik formal.

Menurut Maria, pendekatan teori yang lebih soft dan perspektif empiris-kritis dalam buku ini memberi pijakan bahwa wilayah publik dan domestik tidak harus dipertentangkan. Ini membuat nuansa buku ini berbeda dari buku-buku sejenis. Buku ini juga mengungkap kasus-kasus terjerembabnya perempuan pemimpin dalam kasus-kasus korupsi.

"Singgasana yang direbut perempuan melalui perjuangan dalam berbagai bentuknya, adalah kursi panas. Ujian integritas dimulai di situ. Buku wajib untuk dibaca’" ujar Maria.(rls)

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda