Pendaftaran Caleg di KPU Selesai, Sidang Sistem Proporsional Pemilu di MK Belum Diputus
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) di semua tingkatan telah mengakhiri tahapan pendaftaran bakal calon anggota legislatif (caleg) DPR RI maupun DPRD untuk Pemilu 2024 pada Ahad (14/5/2023). Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi (MK) masih bersidang untuk menentukan sistem pemilu apa yang konstitusional dan bakal digunakan.
MK pada Senin (15/5/2023), menggelar sidang lanjutan gugatan uji materi atas sistem proporsional terbuka yang termaktub dalam UU Pemilu. Para penggugat, yang salah satunya merupakan kader PDIP, diketahui meminta MK memutuskan pemilu kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.
Sistem proporsional terbuka memungkinkan pemilih mencoblos caleg maupun partai politiknya. Dalam kertas suara, terpampang nama caleg dan partainya. Caleg yang mendapatkan suara terbanyak bakal mendapatkan kursi anggota dewan. Sistem ini dipakai sejak Pemilu 2004 hingga 2019.
Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Di kertas suara hanya ada gambar dan nomor urut partai politik. Pemenang kursi anggota dewan ditentukan oleh parpol lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999.
Saat membuka sidang, Ketua MK Anwar Usman merespons kegelisahan partai politik terkait ketidakpastian sistem pemilu yang akan dipakai dalam Pemilu 2024. Ia juga menanggapi keluhan beberapa pihak yang menyebut MK lambat dalam memutuskan perkara yang pertama kali disidangkan pada akhir November 2022 itu.
Anwar menegaskan, cepat atau lambatnya persidangan perkara ini tidak ditentukan oleh MK. Penentunya adalah seberapa banyak ahli yang dihadirkan oleh pihak terkait. Untuk diketahui, terdapat belasan pihak terkait dalam perkara ini.
Dalam sidang hari ini saja, kata Anwar, pihak terkait Derek Loupatty (kader Golkar) menghadirkan tiga ahli. "Saya tidak tahu sampai jam berapa (sidang akan berlangsung hari ini)," kata Anwar di Ruang Sidang MK, Jakarta.
Setelah sidang hari ini, lanjut dia, MK akan mendengarkan keterangan dari ahli yang dihadirkan oleh pihak terkait Partai Garuda dan Partai Nasdem. Untuk diketahui, MK menggelar sidang atas perkara ini sekali setiap pekan.
"Kecuali nanti pihak Partai Garuda dan Nasdem tidak mengajukan ahli, berarti sidang hari ini adalah sidang terakhir," kata Anwar.
Lantaran penentuan lama sidang bukan berada di tangan hakim konstitusi, Anwar meminta publik untuk mengerti. Apalagi, MK berkewajiban mendengarkan keterangan dari seluruh pihak terkait.
"Jadi, untuk itu mohon dimaklumi," ujarnya.
Sejumlah elite partai politik memang sudah mengeluhkan lamanya proses sidang penentuan sistem pemilu ini. Bahkan, Wasekjen Partai Demokrat, Jansen Sitindaon, menyampaikan keluhan itu secara langsung di hadapan hakim konstitusi saat menyampaikan keterangan sebagai pihak terkait pada pertengahan Maret 2023 lalu.
Jansen mengatakan, terus bergulirnya sidang gugatan sistem proporsional terbuka ini telah memunculkan ketidakpastian. Dia mengaku banyak menerima pertanyaan dari kader Demokrat soal sistem apa sebenarnya yang bakal diterapkan dalam Pemilu 2024. Para kader itu menyatakan akan mengurungkan niatnya menjadi caleg jika pileg menggunakan sistem proporsional tertutup.
"Jadi banyak sekali, Yang Mulia, ketidakpastian jika terbuka atau tertutup ini tidak segera diputus, Yang Mulia," kata Jansen di ruang sidang MK, ketika itu.
Jansen pun meminta agar MK menolak petitum penggugat yang menginginkan sistem proporsional tertutup diterapkan kembali. Dengan begitu, sistem proporsional terbuka tetap berlaku sehingga tidak ada perubahan sistem pemilu saat tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan.
Dia menambahkan, jika memang harus ada perubahan sistem, sebaiknya dilakukan seusai gelaran Pemilu 2024. DPR bisa membahasnya tanpa perlu terburu-buru. Misalnya pembahasan sistem dilakukan pada tahun 2025 untuk diterapkan di Pemilu 2029. "Kita lakukan nanti jauh-jauh hari.... Biar lebih dingin kita, dan tidak muncul macam-macam tuduhan di luar sana," ujarnya.
Gugatan uji materi atas sistem proporsional terbuka ini diajukan oleh enam warga negara perseorangan, yang salah satunya merupakan kader PDIP, pada akhir 2022 lalu. Mereka menggugat sejumlah pasal dalam UU Pemilu yang menjadi landasan penerapan sistem proporsional terbuka. Mereka meminta MK memutuskan pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup, sehingga bisa diterapkan dalam Pemilu 2024.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan, jika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sistem proporsional tertutup adalah sistem yang konstitusional, maka evaluasi perbaikan sistem tidak bisa lagi dilakukan ke depan.
Hal ini disampaikan Manajer Program Perludem Fadli Ramadhanil ketika membacakan keterangan Perludem sebagai pihak terkait dalam sidang uji materi atas sistem proporsional terbuka di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (16/3/2023). Sikap Perludem jelas menolak pemilihan legislatif (pileg) kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.
Fadli awalnya mengatakan bahwa penggugat dalam petitumnya meminta agar MK menyatakan sistem pemilu yang konstitusional ada sistem proporsional tertutup. Menurutnya, apabila MK mengabulkan permintaan tersebut, maka ruang evaluasi terhadap sistem pemilu akan hilang.
"Nantinya tidak bisa lagi dilakukan evaluasi perbaikan dan pembenahan (sistem pemilu), jika mahkamah sudah memutuskan bahwa sistem pemilu yang paling konstitusional itu adalah sistem proporsional daftar tertutup," kata Fadli.
Fadli menjelaskan, ruang evaluasi menjadi hilang karena sistem pemilu yang konstitusional hanyalah sistem proporsional tertutup. Dengan begitu, pembentuk undang-undang tidak bisa menerapkan sistem pemilu lainnya di Indonesia.
Padahal, lanjut dia, terdapat banyak sistem pemilu dengan berbagai variannya. Selain itu, perlu dilakukan simulasi dan kajian mendalam untuk menentukan sistem pemilu yang paling cocok diterapkan di Indonesia.
Karena itu, ujar Fadli, penentuan sistem pemilu seharusnya tetap menjadi ranah lembaga pembentuk undang-undang, yakni DPR dan presiden. Penentuan sistem pemilu seharusnya tidak dilakukan oleh MK.
"Tidak boleh dipaksakan kepada mahkamah untuk menyatakan salah satu dari ragam sistem pemilu itu adalah sistem pemilu yang paling konstitusional," ujarnya.