Manuver Pertamina Hadapi Anjloknya Harga Minyak Dunia
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Merebaknya Covid-19 berimbas pada sektor minyak dan gas yang selama ini terbilang cukup stabil tidak luput terkena imbasnya. Salah satu parameternya adalah dengan anjloknya harga minyak dunia yang terjun bebas ke level terendah dalam 19 tahun terakhir. Harga minyak ini tentunya dapat mempengaruhi sektor migas di Indonesia, terutama mempengaruhi rencana pemerintah yang sedang mengembangkan Biodiesel 30 Persen (B30).
Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko PT Pertamina Persero, Heru Setiawan, mengatakan pergerakan harga minyak mentah dunia masih belum bisa diprediksi secara jelas ke depannya karena secara global permintaan mengering akibat ‘lockdown’ di seluruh dunia. Situasi ketidakpastian ini jelas tidak menguntungkan, khususnya yang memiliki bidang usaha hulu seperti Pertamina.
“Dari sisi hulu ini menurunkan pendapatan, tetapi tidak bisa serta merta menurunkan produksi karena ada mandat untuk tetap mempertahankan level produksi. Menurunkan produksi akan berisiko di reservoir management, khawatir tidak bisa kembali ke level produksi awal. Jadi kita jaga supaya menjamin tetap mencapai level produksi yang diinginkan,” ujar Heru, dalam Dialog Industri ‘Untung-Rugi Minyak Murah’ di kanal YouTube Tempodotco, Rabu, 20 Februari 2020.
Heru juga mengakui, dari sisi market adanya pengaruh Covid-19 membuat demand Pertamina turun. Namun, pihaknya mengambil inisiatif jangka panjang baik untuk menurunkan risiko operasional maupun dalam rangka penyediaan pasokan BBM ke masyarakat.
“Pertamina melakukan penambahan impor minyak mentah untuk menjaga ketersediaan minyak mentah di kilang Pertamina, sehingga mendapat manfaat. Tetapi Pertamina tetap mengutamakan penyerapan minyak mentah dalam negeri,” katanya.
Di lain sisi, jatuhnya harga minyak ke titik terendah membuat banyak pihak meminta Pemerintah untuk mempertimbangkan kelanjutan pengembangan B30 yang diresmikan sejak Desember 2019. Pelaksanaan Program B30 dilatarbelakangi atas keberhasilan implementasi B20 yang telah dilakukan sejak tahun 2016 silam. Penerapan program ini juga dinilai sebagai salah satu langkah yang tepat untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil hingga menekan angka impor di sektor minyak dan gas demi memperbaiki defisit neraca perdagangan.
Heru menegaskan, justru secara global masyarakat semakin menyadari dampak lingkungan yang yang dihasilkan dari energi fosil, sehingga kebutuhan akan energi baru dan terbarukan (EBT) tak bisa dihindari. Adanya B30 ini tidak hanya berdampak baik pada lingkungan, tetapi menimbulkan multiplier effect bagi keberlangsungan perkebunan dan 13,5 juta petani perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Lebih jauh, Program B30 nantinya akan menjadi B50 dan seterusnya juga menjadi B100.
Sehingga Indonesia tidak mudah ditekan oleh negara lain, terutama kampanye negatif dari beberapa negara terhadap ekspor Crude Palm Oil (CPO) karena sudah memiliki pangsa pasar dalam negeri yang besar. Lebih jauh, penggunaan B30 tak hanya dimanfaatkan untuk sektor transportasi, tetapi berpeluang di sektor pertambangan, kelistrikan, dan sektor lainnya.
“Sudah sewajarnya Indonesia menerapkan B30, secara komersial ini menciptakan skema tata niaga yang diatur oleh Pertamina dan dari sisi regulator supaya ini bisa jalan secara nasional karena ini manfaatnya luar biasa. Sejak ada B30 kita tak impor gasolin lagi. Sekarang kita cari peluang ekspor untuk diesel, bagaimana peluang ini kita berharap ada tata niaga supaya B30 ini jalan,” katanya.(Im/Tempo)