Beranda / Kolom / Tanpa Tenaga Kontrak, Pemkab Aceh Tamiang bisa apa?

Tanpa Tenaga Kontrak, Pemkab Aceh Tamiang bisa apa?

Rabu, 04 Januari 2023 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Syahzevianda Zakaria Alumni Pascasarjana USK dan Pemuda Aceh Tamiang. Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Kolom - Berita duka datang dari Tenaga Kontrak atau PDPK (Pegawai Daerah dengan Perjanjian Kerja) Pemerintahan Kabupaten Aceh Tamiang, tepat awal pergantian tahun 2023, saat itu pula masa kerja mereka harus terhenti untuk mengabdi di kabupaten yang berjuluk Negeri Pucok Suloh tersebut. Entah untuk sementara atau selamanya.

Narasi liar terus beterbangan, asumsi nakal pun berkeliaran tanpa arah. Ada fenomena apa sebenarnya, belum diketahui secara gamblang faktor apa yang melatarbelakangi. Apa karena selama ini Jumlah tenaga kontrak sudah terlalu banyak dan terus bertambah jumlahnya?, Atau jangan-jangan komposisi tenaga kontrak belakangan ini dianggap hanya membebani keuangan Kabupaten Aceh Tamiang?. Atau kemungkinan terakhir memang murni menjalankan perintah perundang-undangan tentang status kepegawaian ASN.

Konsekuensi Yuridis

Banyak kekhawatiran yang muncul dibenak pada “insan honorer” pasca beredarnya Surat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor: B/185/M.SM.02.03/2022 tanggal 31 Mei 2022 tentang Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Melalui surat sakti yang ditandatangani oleh Menpan-RB tersebut, Pemerintah memberikan penekanan bahwa sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK. Pada Pasal 99 ayat (1) menyebutkan bahwa per-tanggal 28 Nopember 2023 status kepegawaian di lingkungan instansi Pemerintah hanya ada dua jenis, yakni PNS dan PPPK.

Ihwal inilah yang menjadi dasar bahwa, status pegawai selain PNS hanya ada PPPK, ini artinya bahwa tertanggal tersebut di atas tidak ada lagi pegawai honorer atau tenaga kontrak di lingkungan Pemerintahan Daerah dan Pusat.

Kemenpan-RB juga memberikan konklusi bahwa dalam rangka penataan ASN dapat disusun langkah-langkah strategis penyelesaian pegawai non-ASN yang tidak memenuhi syarat atau tidak lulus CPNS/Calon PPPK tertanggal tersebut. Dengan demikian, mau tidak mau, Pemda dan Pemerintah Pusat harus putar otak untuk mengalihkan statusnya menjadi tenaga alih daya (Outsourcing) jika “dibutuhkan”.

Pertanyaannya adalah, jika menyikapi isi dari Surat Menpan-RB tersebut, apakah sudah tetap langkah-langkah yang diambil Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang untuk tidak memperpanjang status PDPK yang tersebar di seluruh SKPK Aceh Tamiang?

Rintihan kawan-kawan PDPK yang sudah banyak memberikan kontribusi lebih atas apa yang diabdikan selama ini tak hanya mengharapkan belas kasih, tapi juga terkait dengan kejelasan status kepegawaian mereka. Berdasarkan info dari laman website BKPSDM Aceh Tamiang, jumlah PPPK di Aceh Tamiang saat ini hanya berjumlah 86 orang.

Info terakhir, Jumlah tenaga kontrak Kabupaten Aceh Tamiang berjumlah 3.870, terdiri dari 1.999 orang PDPK dan 1.871 orang PDPKT (Serambi 3/1/23). Artinya, hampir menyentuh angka 4.000 orang PDPK yang dirumahkan di 2023 ini.

Harapannya, sebagian besar dari mereka yang memenuhi kriteria harusnya di perjuangkan menjadi ASN PPPK tahun ini, mengingat jumlah ASN PPPK di Kabupaten Aceh Tamiang masih sangat kecil. Jika mempedomani Surat Menpan-RB tersebut, maka akhir Nopember 2023 nanti, sisa dari mereka yang tidak tidak memenuhi kriteria atau tidak lulus PPPK akan dialihdayakan ke pihak ketiga (Outsourcing) atau dipekerjakan melalui vendor penyedia ketenagakerjaan.

Dimensi sosial vs Tata Kelola Birokrasi

Teriakan keras yang terus terdengar hari ini, mereka terus menyuarakan kesahnya agar mampu membuka ruang dialogis lintas sektoral untuk mencari solusi konkrit atas permasalahan ini. Menjadi seorang tenaga kontrak bukanlah soal prestise semata, melainkan bagian dari status sosial yang juga merupakan bagian dari “basic needs” agar dapur terus berasap, sekaligus memastikan bahwa generasi penerus agar dapat terus bersekolah

Peristiwa ini juga harus menjadi iktibar bagi kita tentang seberapa besar kontribusi dan dedikasi yang telah diberikan oleh teman-teman tenaga kontrak kepada daerah ini. Untuk lebih proporsional, hendaknya perlu ditinjau kembali terhadap kebijakan ini agar bernuansa keadilan bagi teman-teman yang sudah banyak memberikan pengabdiannya. Sehingga dapat meminimalisir eskalasi kesenjangan yang tinggi sekali secara temporer.

Terhadap dirumahkannya tenaga kontrak tahun 2023 ini, selain berdampak pada sosiologis dan psikologis bagi tenaga kontrak itu sendiri, tapi kebijakan ini juga mensinyalir potensi menurunnya kinerja birokrasi dan kualitas pelayanan publik di Kabupaten Aceh Tamiang, yang berujung pada menurunkan indeks kepuasan masyarakat.

Bukan rahasia umum, bahwa tenaga kontrak di Kabupaten Muda Sedia selama ini menjadi tulang punggung bagi keberlangsungan birokrasi terhadap roda pemerintahan Kabupaten Aceh Tamiang. Bukan tidak mungkin proses tersebut akan menjadi pincang ketika pemerintah daerah memutuskan untuk tidak memperpanjang status mereka sebagai PDPK. Lihat saja kondisi Satker yang bersentuhan langsung dengan pelayanan publik, tenaga kependidikan, tenaga medis dan tenaga teknis yang notabenenya mengemban pekerjaan-pekerjaan stategis.

Belum lagi, terdapat PDPK yang merupakan tenaga ahli yang memiliki kemampuan basis kelimuan/pendidikan khusus, teknis dan terampil yang selama ini sudah lama dan tenaganya banyak dibutuhkan di lapangan. Tentu penilaian-penilaian objektif seperti ini harus dikedepankan guna kemajuan bagi Kabupaten Aceh Tamiang kedepannya.

Peran DPRK Aceh Tamiang

Saya menjadi yakin, PDPK yang dirumahkan juga banyak berkaitan atau bahkan bagian dari sanak saudara, kerabat, jiran tetangga, bahkan konstituen dari anggota legislatif saat ini menjabat. Coba saudara dengarkan isak mereka dengan Nurani dan sanubari Anda sekalian, lihat sendiri secara langsung, tanyakan, dengarkan apa yang mereka harapkan dan keluhkan hari ini. Tak lebih hanya untuk bertahan hidup, mari kita buka sedikit mata batin kita untuk urusan ini, karena ini bukan urusan yang patut disepelekan.

Selaku lembaga resmi yang konsen memperjuangkan aspirasi rakyat, mari kita lihat dimana bergaining posisi DPRK dalam menyikapi persolan ini?. Pertama-tama dari sisi fungsi utama yang diperankan, ketiga fungsi melekat parlemen yakni fungsi regulasi, penganggaran dan pengawasan harusnya patut berdiri paling depan menyikapi persoalan ini.

Dari sisi regulasi, dapat dikaji ulang legal standing atas pemberhentian PDPK Aceh Tamiang 2023 dengan melakukan sejumlah agenda terhadap peninjauan kembali apa yang sudah dilakukan daerah-daerah lain untuk persoalan. Tidak mesti jauh-jauh harus melakukan studi banding ke provinsi lain, Jangan-jangan masih ada Kabupaten/Kota di Aceh yang masih mempertahankan dan mempekerjakan tenaga kontrak (honorer) sampai dengan batas waktu tertentu.

Dari sisi penganggaran, harusnya Dewan lebih cermat dan jeli dalam otak-atik postur anggaran Kabupaten Aceh Tamiang untuk bisa mendahulukan mengalokasikan untuk bisa membayar gaji PDPK untuk tahun anggaran 2023. Saya kira ini prioritas, demi keberlangsungan roda pemerintahan Kabupaten Aceh Tamiang.

Karena ini adalah prioritas dan mendadak, maka elok jika mendahulukan alokasi anggaran untuk belanja gaji/honorarium tenaga kontrak (PDPK) untuk tahun anggaran 2023, atau paling tidak menyediakan sampai Nopember tahun ini saja. Mari turunkan tensi kita bersama dengan mengurangi program kerja anggaran yang dianggap belum menjadi prioritas, sehingga anggarannya bisa direlokasi ke anggaran belanja gaji tenaga kontrak.

Ingat bapak/Ibu dewan yang terhormat, mereka (red. PDPK) itu tidak ada perpanjangan SK Kontrak tahun 2023 ini oleh Eksekutif, karena sudah dipastikan anggaran untuk gaji mereka memang sudah tidak ter-alokasi tahun ini. Maka konsekuensinya pun berujung pada tidak di-SK-an lagi dengan alasan tidak tersedia anggaran.

Solusi apa yang ditawarkan?

Tak usah mencari ‘kambing hitam’ atas kejadian membludaknya jumlah tenaga kontra yang berkali-lipat angkanya terus bertambah setiap tahunnya. Tantangan ada di depan mata, jangan mencari siapa yang patut dipersalahkan atas apa yang menimpa teman-teman PDPK Aceh Tamiang. Tak perlu lah saling menuding dan menyalahkan, nasi sudah jadi bubur.

Fokus saja atas solusi yang paling ‘bijak’ untuk permasalahan ini. Ini soal hajat hidup rombongan Tenaga kontrak yang hari ini terus memperjuangkan hak-hak mereka. Dinamika tatanan Reformasi birokrasi semakin cepat perubahannya menuju arah profesionalisme. Jika tertinggal, bisa jadi mereka menjadi korban atas perubahan aturan yang begitu cepat, yang tujuannya untuk mendongkrak kinerja ASN yang profesional.

Untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) dan menekan gejala sosial yang muncul, tentu sangat bergantung dari solusi yang akan diambil Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang, melalui duduk setikar antara eksekutif dan legislatif dengan melibatkan stakeholder terkait.

Jika alasannya terkendala soal anggaran, mestinya tidak terburu-buru, langkah awal dapat dilakukan evaluasi untuk efisiensi dan efektivitas anggaran seperti yang di lakukan Pemerintah Provinsi Aceh dalam mencari solusi tenaga kontrak tahun 2023.

Pengurangan dapat dilakukan secara bertahap berdasarkan analisis jabatan yang dibutuhkan pada masing-masing organisasi perangkat daerah atau SKPK. Tapi harus dilakukan secara clear dan se-objektif mungkin, bila perlu dilakukan oleh Lembaga Independen agar tidak terkontaminasi kepentingan tertentu dan intervensi apapun.

Tenaga kependidikan dan tenaga medis yang merupakan objek vital yang bersentuhan langsung ke pelayanan publik, harus menjadi prioritas utama menjelang pengumuman resmi kelulusan Calon PPPK oleh Pemerintah. Semoga tidak ada sektor publik yang terganggu akibat pemberhentian tenaga kontrak di 2023

Respon Pj. Bupati Aceh Tamiang

'Selamat datang bapak Pj. Bupati di Bumi Muda Sedia’. Baru beberapa hari dilantik sebagai Pj. Bupati Aceh Tamiang, sudah dihadapkan dengan persoalan serius.

Secara komunikasi, berdasarkan hasil audiensi yang terjalin antara perwakilan PDPK dengan Pj. Bupati Aceh Tamiang beberapa waktu lalu, pihak PDPK sudah banyak menyuarakan kondisi mereka hari ini, Namun belum membicarakan ke arah kebijakan yang konkrit, karena masih harus dipelajari.

Kita tunggu saja, apakah tangan dingin sang Pj. Bupati yang baru beberapa hari menjabat mampu memberikan solusi bijaknya atas permasalahan ini, setelah mengkaji kembali aspek yuridis, anggaran maupun aspek kebijakan.

Penulis: Syahzevianda Zakaria Alumni Pascasarjana USK dan Pemuda Aceh Tamiang

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda