Beranda / Opini / Penyalahgunaan Kekuasaan PERPPU

Penyalahgunaan Kekuasaan PERPPU

Rabu, 04 Januari 2023 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Muhammad Ridwansyah (Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Muda Seudang). Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Opini - Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945 menyatakan “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Norma konstitusi ini menjadi dasar hukum dikeluarkannya PERPPU No. 2 Tahun 2022 menjelaskan tiga aspek hukum sebagai berikut: Pertama, menurut pemerintah pertimbangan penerbitan PERPPU dikarenakan dengan alasan mendesak, dan bahkan mendasarkan pada Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 untuk menyelesaikan masalah hukum yang diartikan sebagai kebutuhan mendesak. 

Perlu dingat dalam hal ihwal PERPPU tidak mengenal teks norma kebutuhan mendesak tetapi teks yang konstitusional adalah kegentingan yang memaksa. Kegentingan memaksa sebelum perubahan amandemen diartikan dalam penjelasannya negara dalam keadaan darurat atau bahaya. Apakah dengan kehadiran perppu cipta kerja ini mengartikan Indonesia sebagai negara dalam keadaan darurat atau bahaya. 

 Keadaan darurat harus dimaknai oleh pemerintah sebagai kejadian atau insiden tidak terduga atau tidak direncanakan berakibat membahayakan manusia di Indonesia sedangkan prediksi pemerintah hanya urusan mengenai sektor ekonomi dan geopolitik. Bahkan dalam pernyataan resmi pemerintah kehadiran perppu ini disebabkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global baik ekonomi maupun geopolitik. Tetap faktanya, tidak ada data yang jelas mengenai kedua alasan tersebut seharusnya pemerintah lebih mengedepankan bahwa prinsip negara berdasarkan atas hukum bukan atas kekuasaan belaka.

Kedua, alasan pemerintah menerangkan undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang yang tidak memadai. Penjelasan ini sangat keliru, apakah dengan adanya kekosongan hukum diwajibkan untuk melahirkan PERPPU?, apakah dasar kekosongan hukum bisa dicantolkan kenorma teks ihwal kegentingan. Pemerintah sepertinya sudah melakukan penyalahgunaan kekuasaaan, kemunculan PERPPU tidak boleh asal-asalan, pintu norma perppu ini benar-benar dalam keadaan negara darurat sehingga memang dibutuhkan segera. 

Indonesia sebagai negara hukum harus benar-benar mengeluarkan kebijakan atas dasar kepentingan rakyat, bukan demi kepentingan kaum pengusaha dengan dalih memajukan perekonomian bangsa. Rakyat sudah mengetahui diera digital siapa sebenarnya diuntungkan dengan hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja ini. Presiden tidak boleh menggunakan kewenangan untuk PERPPU dengan semena-mena karena norma konstitusi ini hanya dalam keadaan darurat.

Ketiga, alasan pemerintah menerangkan bahwa kekosongan hukum undang-undang cipta kerja tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan yakni penerbitan PERPPU cipta kerja. Pernyataan pemerintah ini seolah-olah menegasikan bahwa peran DPR itu tidak ada, semestinya pemerintah harus bahwa pembentuk undang-undang yang ideal itu adalah DPR dan Presiden secara bersama-sama membentuk undang-undang. 

Jika PERPPU ini masih ngotot disahkan di DPR sebagai undang-undang maka tidak ada lagi peranan kedaulatan rakyat, negara ini sudah menjadi negara kedaulatan raja (presiden). Pemerintah tidak boleh beralasan, untuk membentuk undang-undang itu lama karena butuh proses, hal itu sudah menjadi ketentuan bersama dalam pengaturan legislasi.

PERPPU Vis a VIS Penyalahgunaan Kekuasaan.

Secara teori bahwa hukum sebagai panglima keadilan dan penyandaran penegakan kesejahteraan, semestinya PERPPU menjadi terobosan hukum progresif tidak boleh norma hukum itu hadir tergesa-gesa. Perbaikan atas Undang-Undang Cipta Kerja yang diamanahkan oleh Mahkamah Konstitusi hanya sebatas pelibatan unsur masyarakat dalam mendraf norma undang-undang cipta kerja. 

Semestinya, Pemerintah harus sadar bahwa peran masyarakat dalam pembentukan norma hukum itu adalah bagian dari teori kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat dimaknai bukan hanya legistimasi lembaga DPR tetapi bisa saja dimaknai pengimbangan kemauan fraksi-fraksi partai yang tidak rasional dalam menyusun kebijakan hukum. Ingat, bahwa hadirnya teori kedualatan rakyat itu sebagai pengimbang kekuasaan tunggal raja.

Pemerintah dengan mengeluarkan PERRPU Cipta Kerja sangat tidak mematuhi perintah Mahkamah Konstitusi, seharusnya Pemerintah memerhatikan alasan mendasar kenapa Mahkamah memberikan kebijakan penundaan selama dua tahun dan perbaikan. Alasan Pemerintah sangat tidak rasional, hanya alasan ancaman-ancaman ketidakpastian global namun secara subtansi PERPPU Cipta Kerja sangat diskriminatif terhadap pekerja. Ternyata fungsi hukum bukan lagi untuk melindungi rakyat Indonesia tetapi menindas dengan sadis. 

Bayangkan saja masa kerja 8 tahun atau lebih, pesangon yang diberikan hanya 9 bulan upah. Negara benar-benar sadis terhadap rakyat, andaikan presiden yang pensiun yang menjabat selama 10 tahun diberikan hanya pensiun 11 bulan tunjangan honorium pensiun. Rasanya ini baru ideal dan negara tidak harus memberikan tunjangan pensiun sampai akhir hayat dan tidak perlu menyediakan rumah untuk presiden.

Penyalahgunaan lainnya adalah revisi ancaman-ancaman pidana, ternyata pemerintah lebih pro terhadap penguasaha, awalnya ancaman bagi pengusaha menggunakan lahan secara illegal hukumannya penjara dan denda tetapi direvisi kembali dengan hukumannya yang lebih ringat yakni penjara atau dengan. Kematian orang bagi pelaku yang dipidana penjara paling lama 15 tahun atau dengan 8 m. Benar-benar norma hukum yang melindungi kepentingan pengusaha semata, seharusnya tidak demikian, harus ada keadilan norma yang ideal jika tidak maka tatanan bangsa ini semakin rapuh. Hukum yang digunakan demi kepentingan pengusaha atau kepentingan lainnya.

Yang paling tidak manusiawi adalah aturan jam kerja dalam sehari jam kerja yang ideal itu adalah 7 jam atau 40 jam dalam satu minggu untuk 6 kerja dengan 1 hari isterahat dalam 1 minggu. Dalam norma baru isterahat jam kerja paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus, jika perusahaan memberlakukan 8 jam dalam sehari maka jam isterahat hanya berlaku satu jam dalam sehari. 60 menit berlanjut, para karyawan harus mampu mengatur waktu yag ideal jika tidak maka perusahaan bisa mengurangi gaji atau memecat si karyawan. 

Negara sepertinya ingin menciptakan negara yang maju dengan memeras keringat rakyatnya, seharusnya negara lebih mengutamakan keselamatan karyawan, keadilan karyawan, upah yang ideal bagi karyawan. Negara tidak boleh mengambil keuntungan dari rakyatnya, negara hadir menciptakan kesejahteraan atas kesepakatan konstitusi kita jika tidak maka Indonesia semakin hari semakin rapuh.

Semestinya PERPPU menyelesaikan persoalan kegentingan memaksa bukan kepentingan pengusaha sehingga dalih Pemerintah dengan adanya kepastian hukum dan hukum itu bersendikan pada keadilan kosong belaka. Rakyat sepertinya sudah muak atas kebijakan-kebijakan negara yang tidak sesuai dengan konstitusi. 

Negara harus memperbaiki pola kebijakannya, karena rakyat semakin hari semakin menderita, Indonesia bangkit pasca covid hanya berlaku pada pengusaha yang kaya saja. Rakyat dipinggiran semakin hari semakin sulit untuk hidup sehari-hari saja sulit untuk bertahan. Semestinya funsgionaris pemerintah harus kembali kepada sumpahnya. Bukankah sumpah Presiden memenuhi kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD Tahun 1945 diatas Alquran dan menyatakan diawal kalimat Demi Allah.

Penulis: Muhammad Ridwansyah (Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Muda Seudang)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda