Siuman 4 Desember
Font: Ukuran: - +
Ilustrator oleh Idrus bin Harun. [Dok.Ist]
DIALEKSIS.COM - Jika kantor Partai Aceh tidak dikepung polisi, 4 Desember tahun ini barangkali hanya akan menjadi tanggal yang alpa dari apapun jenis ingatan kolektif kita. Ia tidak lagi istimewa, akan menjadi biasa-biasa saja, setidaknya seperti 4 Desember dalam tahun-tahun sebelumnya.
Apalagi kita belum siuman benar dari candu kedatangan Anies. Hiruk pikuk kedatangan Anies membuat kesadaran sebagian kita akan cita-cita kemerdekaan yang saban tahun coba digali lewat peringatan 4 Desember, menjadi fana sama sekali dalam kobaran nasionalisme Indonesia Raya.
Namun kobar Nasionalisme itu padam belaka oleh tindakan berlebihan kepolisian. Dan itu telah menarik kita kembali ke pusaran ingatan zaman konflik, yang menjerumuskan kita dalam kelindan imajinasi-imajinasi tentang Aceh sebagai sebuah negara merdeka, kaya dan makmur. Ingatan terhadap konflik juga mendatangkan kembali kenangan kolektif kita tentang kebiadaban perang yang senantiasa berhasil kita lewati dengan ketabahan heroik.
Deklarasi Halimon muncul sebagai daur ulang kembali kesadaran orang Aceh versi Hasan Tiro dari nasionalisme Indonesia yang terasa bak kawin paksa. Tiap-tiap anak bangsa Aceh kemudian diajak untuk mengenal kembali kedudukan dirinya, apa yang membentuknya, bagaimana sejarahnya dan keberadaan dirinya dalam lintas zaman. Dan seperti yang dapat kita ingat secara bersama-sama, tekanan aparat justru selalu membuat sebagian kita seperti mengalami kerasukan tugas sejarah untuk mengembalikan Aceh menjadi entitas yang berdaulat sebagaimana imajinasi sebagian kita selama ini.
Dan setelah perdamaian terjadi, seharusnya siapapun yang berwenang semestinya dapat berbaik sangka dengan memaknai deklarasi Halimon sebagai koreksi terhadap beberapa
kekeliruan negara. Dan peringatan 4 Desember dalam almanak kita juga harus dipandang sebagai monumen pengingat bahwa negara sekali-kali tidak boleh mengulangi kekeliruannya. Sekarang dan di masa depan.
Namun negara agaknya kian bebal dalam membaca gejala jiwa masyarakatnya. Bahwa semakin keras paku digodam kian dalam pula ia menancap dan kokoh. Tak perlulah kiranya kita membuka buku-buku sosial untuk sekadar memahami bahwa pada setiap tekanan dan kekerasan yang ditunjukkan oleh kekuasaan justru akan melahirkan gelombang simpati dan empati sekaligus kepada kelompok dimaksud. Bahkan keledai pun di zaman baru ini tidak akan jatuh lagi dalam lubang yang sama.
Di era saat batas-batas negara hanya menjadi sekadar persoalan administrasi belaka. Sebab semua orang dapat menjelajahi seluk beluk negara-bangsa lain dan menyerap kemuliaan ilmu dan pengetahuannya tanpa beranjak dari beranda rumah, kekerasan telah menjadi
pendekatan yang ketinggalan zaman. Kekerasan dalam bentuk apapun hampir menjadi aib kemanusiaan bagi kita selaku warga dunia.
Barangkali hanya kekuasaan yang belum beranjak kemana-mana. Ia dikelola dengan begitu purbanya. Mengapa polisi harus khawatir dengan pengibaran bendera yang tidak akan membangkitkan lagi gelegak pemberontakan. Sementara hampir semua mantan pemberontak telah dapat mengkhidmati lagu Indonesia Raya dengan kadar penghayatan yang bukan main-main, hingga tiap-tiap mereka sampai berdiri bulu kuduknya.
Penulis: Miswar Ibrahim Njong
Direktur Program Pascasantri Aceh