Beranda / Kolom / Perintah Eksekusi Mati dari Daud Beureueh

Perintah Eksekusi Mati dari Daud Beureueh

Rabu, 05 Juli 2023 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bisma Yadhi Putra
Bisma Yadhi Putra. [Foto: Ist.]

DIALEKSIS.COM | Opini - Sebelum pemberontakan Darul Islam Aceh meletus pada tengah malam 20-21 September 1953, beberapa kawan lama Daud Beureueh yang enggan ikut memberontak berusaha menghindar dengan cara masing-masing. Salah satu cara yang dipilih ialah pergi ke Tanah Suci menjelang musim haji tahun 1953.

Hari Raya Haji tahun itu jatuh pada Agustus, tepat sebulan sebelum pemberontakan dimulai. Siapa pun yang ingin melarikan diri pakai kapal haji harus melakukannya dengan cepat. Orang-orang yang menyerta instruksi Daud Beureueh dan gagal lari ke luar Aceh berpotensi besar jadi sasaran pembunuhan.

Tengku Syekh Daud Tangse adalah teman lama Daud Beureueh. Keduanya punya cita-cita politik yang sama di awal periode 1950-an, yakni membuat Aceh jadi sebuah provinsi otonom lagi setelah status tersebut dihapus pemerintah pada tahun 1950. Hanya saja, Daud Tangse tak setuju cita-cita itu diperjuangkan dengan jalan perang.

Menurut sejarawan M. Isa Sulaiman, Daud Tangse ragu akan keberhasilan pemberontakan bersenjata yang direncanakan Daud Beureueh. Oleh sebab itulah ia enggan ikut memberontak dan memilih menyelamatkan diri ke Mekkah sambil melaksanakan ibadah haji (Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan terhadap Tradisi, 1997: 292).

Sepulang dari Tanah Suci, Daud Tangse tidak melakukan aktivitas-aktivitas menonjol yang menarik perhatian kaum pemberontak, terutama Daud Beureueh. Dia menjalani kehidupan aman sebagai seorang haji, sampai akhirnya datang sebuah tawaran dari orang terpenting dalam jajaran komando militer di Aceh, Mayor Sjamaun Gaharu.

Pada pertengahan bulan Mei 1956, Daud Tangse diminta Sjamaun Gaharu ikut terlibat dalam operasi penggembosan jumlah pemberontak di Pidie. Dia ditugaskan membujuk sebanyak mungkin pemberontak di kawasan Tangse agar bersedia menyerah dan kembali dalam pangkuan Republik. Oleh Sjamaun Gaharu, Daud Tangse diberikan sejumlah uang untuk menyukseskan misi.

Langkah awal yang Daud Tangse lakukan adalah menjalin hubungan dengan ketua-ketua pemberontak di kawasan Tangse dan Geumpang seperti Sulaiman Adamy dan Hamada. Hamada, akronim dari Hamzah Daud, adalah anak Daud Tangse yang ikut pemberontakan. Sementara Adamy merupakan menantunya, dengan posisi sebagai salah seorang komandan kompi Darul Islam Aceh.

Alhasil, terciptalah segitiga komunikasi yang melibatkan Sjamaun Gaharu (militer), Adamy-Hadama (pemberontak), dan Daud Tangse (penghubung militer dengan pemberontak). Mereka mengadakan negosiasi yang akhirnya membuahkan hasil cemerlang berupa menyerahnya 43 pemberontak yang bermarkas di Tangse.

Nazaruddin Sjamsuddin dalam Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh (1990) membeberkan fakta lain mengenai peran Daud Tangse. Bukan cuma Adamy-Hamada, Daud Tangse turut membelu-belai Agam Manyak agar mau menyerah bersama seluruh anak buah dalam kompinya. Kepada Agam Manyak disodori uang sebesar Rp50.000.

“Namun, kesetiaan kepada Daud Beureueh dan para pemimpin lainnya menyebabkan Agam Manyak menolak tawaran itu,” tulis Nazaruddin Sjamsuddin. Agam Manyak lantas melaporkan perbuatan Daud Tangse kepada Daud Beureueh, terutama soal siasatnya yang telah berhasil membuat puluhan pemberontak menyerahkan diri.

Daud Beureueh marah besar. Baginya, tindakan Daud Tangse adalah pengkhianatan. Ia sangat tak suka kawan lamanya itu membantu militer menggembosi pemberontakan yang diasuhnya. Kecamannya terhadap Daud Tangse disampaikan secara tertulis dalam surat yang dikirim pada tanggal 18 Mei.

Dalam surat tersebut, Daud Beureueh mencantumkan Surat An-Nisa ayat 138-139. Pengutipan ini mungkin bermaksud untuk menyebut Daud Tangse sebagai “orang-orang munafik” yang “menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin”. Jika benar demikian, berarti pengutipan ayat ini juga bertujuan untuk memperingatkan Daud Tangse bahwa ia dan Sjamaun Gaharu “akan mendapat siksaan yang pedih” dari Allah.

Al-Maidah ayat 56 turut pula dimuat dalam surat tersebut. Ayat ini untuk menegaskan sikap tak gentar. Apa pun yang dilakukan Daud Tangse dan Sjamaun Gaharu, Daud Beureueh yakin tetap Darul Islam Acehlah yang akan dimenangkan oleh Allah.

Daud Beureueh sadar orang seperti Daud Tangse tak cukup diatasi dengan surat. Oleh karenanya, di samping mengirim kertas, ia juga harus mengirim peluru.

Setelah surat tersebut dikirim, diam-diam Daud Beureueh mengeluarkan perintah eksekusi mati terhadap Daud Tangse. Perintah ini hanya diketahui oleh segelintir orang di internal Darul Islam Aceh. Bahkan Hasan Saleh, ahli strategi perang andalan Daud Beureueh, tak diberitahu bahwa Daud Tangse sudah dikunci sebagai sasaran bunuh dalam waktu dekat.

Tugas eksekusi diserahkan Daud Beureueh kepada Mayor Ibrahim Saleh. Namun, karena merasa berat hati membunuh kawan sendiri, Ibrahim Saleh lantas menunjuk Agam Manyak sebagai eksekutor sekaligus penyusun siasat untuk membuat Daud Tangse bersedia datang ke lokasi eksekusi tanpa rasa curiga.

Agam Manyak segera mengirim pesan kepada Daud Tangse bahwa ia ingin berunding di Sigli pada 6 Juli. Mengira Agam Manyak telah berubah pikiran, Daud Tangse cepat-cepat berangkat ke lokasi pertemuan di Desa Sanggeu, tanpa sedikit pun curiga bahwa pertemuan itu adalah suatu jebakan.

Percakapan di Sawah

Jam 5 sore, Ibrahim Saleh terlihat sedang duduk melamun sendirian di atas sawah kering. Waktu itu, kabar kematian Daud Tangse sudah tersebar luas, tetapi masih banyak orang belum tahu penyebabnya. Termasuk Hasan Saleh. Dalam rangka mencari informasi, Hasan Saleh datang ke sawah di depan meunasah Desa Seunadeu, Padang Tiji, tempat Ibrahim Saleh menyendiri.

Dalam memoar Mengapa Aceh Bergolak, Hasan Saleh menceritakan sempat terjadi perdebatan singkat antara dia dengan Ibrahim Saleh begitu mengetahui bahwa Daud Tangse dieksekusi mati atas perintah Daud Beureueh.

“Saya sendiri yang menerima perintah itu,” ungkap Ibrahim Saleh.

“Mengapa perintah seperti itu ditaati?”

“Apabila tidak saya laksanakan, saya sendiri yang akan dibunuh (Daud Beureueh), bukan? Saya perintahkan Komandan Pangkalan Agam Manyak untuk mengatur rencana pembunuhan. Ada pun siapa pelakunya di lapangan, saya tidak tahu. Memang Tengku (Daud Beureueh) kejam sekali. Kita harus berhati-hati dengan orang ini”. [**]

Penulis: Bisma Yadhi Putra (Sejarawan)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda