Beranda / Opini / Mogok Kerja Keuchik di Takengon Tahun 1950

Mogok Kerja Keuchik di Takengon Tahun 1950

Minggu, 25 Juni 2023 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Bisma Yadhi Putra
Bisma Yadhi Putra, Sejarawan. [Foto: Ist.]

DIALEKSIS.COM | Opini - Para kepala desa di Kewedanaan Takengon, Aceh Tengah, punya banyak pekerjaan dan masalah. Selain sehari-hari mengurusi warga desanya masing-masing, mereka mesti pula menghadapi macam-macam perintah serta paksaan dari pihak pamong praja (pejabat daerah), polisi, tentara, dan kadang-kadang tokoh partai politik setempat. Sayangnya, posisi dengan beban kerja yang tinggi ini harus mereka pikul tanpa memperoleh gaji bulanan.

Dalam beberapa bulan sekali, Keresidenan Aceh memang ada mengirimi mereka uang. Akan tetapi, uang tersebut bukanlah gaji melainkan imbalan atau hadiah atas jerih payah mengurusi desa. Hadiah ini biasanya disebut dengan istilah “uang tulah”. Itu pun jumlahnya tak seberapa, tak sepadan dengan banyaknya pekerjaan yang mesti mereka beresi. Keadaan demikian tentu amat menyulitkan. Apalagi, setelah kemerdekaan Indonesia terjadi perubahan sosial yang mengikis kewibawaan para kepala desa di wilayah Aceh Tengah.

Semasa Belanda memerintah, setiap kepala desa dijadikan uitvoerder atau pelaksana kekuasaan kolonial di tingkat desa. Oleh karenanya orang-orang yang jadi kepala desa diberikan beberapa keistimewaan. Mereka berhak mengutip sejumlah uang dari aktivitas jual beli harta yang berlangsung di desanya, misalnya tanah atau rumah. Jumlah uang yang biasanya ditarik bervariasi antara 5 sampai 10 persen dari total harga harta yang diperjualbelikan. Hak ini dinamai dengan “hak segi”. Di samping itu juga ada “hak collecteloon”, yakni kuasa untuk menarik belasting (pajak kecil) sebesar 8 persen dari setiap pedagang di desa.

Posisi kepala desa sebagai kaki tangan penjajah tak disenangi oleh penduduk. Oleh karenanya, setelah Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, banyak orang di Takengon mulai berani menolak membayar uang “hak segi”. Pembangkangan ini berdampak serius dengan hilangnya salah satu sumber pendapatan para kepala desa, sedangkan pekerjaan yang mesti mereka urus malah bertambah.

Kesulitan-kesulitan tersebut lantas dilaporkan kepada Bupati Aceh Tengah Abdul Wahab. Sayangnya, masalah sesukar itu tak bisa diselesaikan di tingkat kabupaten. Hal inilah yang membuat Abdul Wahab harus menyurati Residen Aceh Teuku Muhammad Daudsjah untuk melaporkan keluh kesah yang diutarakan para kepala desa di wilayah kekuasaannya.

Dalam laporan tertulis tersebut, para kepala desa se-Takengon memohon agar pembuat kebijakan di Kutaraja sudi memberikan gaji bulanan agar mereka bisa merasai kesejahteraan di tengah tugas kedinasan yang bertimbun-timbun. Sebagai orang nomor “satu” di Aceh, Teuku Daudsjah memberikan perhatian yang baik atas permintaan ini.

Setelah beberapa kali dibicarakan dalam rapat-rapat Dewan Perwakilan Keresiden Aceh di Kutaraja, pada 22 Oktober 1947 ditetapkan kebijakan pemberian uang “tulah istimewa” untuk kepala desa se-Aceh, bukan cuma yang di Kewedanaan Takengon. Besaran uang yang diterima kepala desa tergantung jumlah penduduk desa masing-masing.

Di desa yang penduduknya di bawah 100 orang, kepala desanya akan menerima Rp 10 per bulan. Untuk kepala desa yang memimpin 101-300 penduduk, tulahnya sebesar Rp 20. Dan yang mengelapai desa berpenduduk 300 orang ke atas berhak memperoleh Rp 30 (Arsip DPKA, No. AC01-53/4-53.5). Dua tahun kemudian, jumlah ini diubah dengan alasan “tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang”

Kebijakan penambahan uang tulah rupanya tak juga bisa menyenangkan hati para kepala desa di Takengon. Bagi mereka, percuma ada kenaikan sampai 50 persen kalau pembayaran uang tulah di tahun-tahun kerja sebelumnya tidak dibayarkan. Pada tahun 1949 saja, uang tulah belum dibayar sepeser pun sejak bulan Januari. Ketidakjelasan ini lantas memicu lahirnya tuntutan baru yang disertai ancaman.

Tanggal 25-27 Maret 1950, Gabungan Pamong Desa Kewedanaan Takengon menggelar konferensi di Gedung Muhammadiyah Takengon, dengan hadirin sebanyak 67 orang yang terdiri dari kepala desa, imum mukim, dan kepala negeri. Dalam konferensi selama tiga hari ini, mereka sepakat untuk mengajukan tuntutan agar semua kepala desa di Takengon diangkat menjadi pegawai negeri dengan gaji bulanan. Keresidenan Aceh diberikan waktu dua bulan untuk memenuhi tuntutan ini, terhitung sejak tanggal 27 Maret. Dan kalau menolak, para kepala desa akan menggelar mogok kerja massal (Arsip DPKA, No. AC01-106/7-106.2).

Abdul Wahab bersikap sebijak mungkin menghadapi tuntutan tersebut. Ia tak senang dengan ancaman mogok kerja, tetapi sepakat dengan semua permintaan yang disuarakan para kepala desa. Sikap ini diperlihatkan dalam dua pucuk surat yang ia kirimkan kepada Residen Aceh.

Di surat pertama yang bertanggal 8 April, Abdul Wahab mengaku menentang mogok kerja massal yang direncanakan para keuchik (kepala desa). Dia menulis: “Saja merasa menjesal sekali jang Geutji’2 itu terus sadja mengambil putusan ‘mogok’ sadja. Akan tetapi ini agaknya sudah mendjadi penjakit pula dimasa ini, sedikit2 mogok”.

Dalam surat kedua yang dikirim pada 2 Mei, secara tersirat ia mengutarakan kesetujuannya atas penyejahteraan para kepala desa di Takengon dengan mengangkat mereka menjadi pegawai negeri. Namun, harapan ini ia utarakan dengan tetap menjaga rasa hormat kepada para petinggi di Kutaraja. Dengan sopan ia membujuk: “Tenaga mereka penting. Mereka jang langsung berurusan dengan ra’jat murba di kampung2. Mereka jang mendjadi perantaraan Pemerintah dengan ra’jat itu. Tidak dapat berdjalan satu2 peraturan ke kampung2 kalau mereka berkedudukan seperti sekarang djuga. Saja merasa sudah pula tiba masanja kita memikirkan nasib mereka untuk hari jang akan datang, jang selaras dengan masa”.

Setelah menimbang-nimbang, pemerintah daerah akhirnya mengumumkan bahwa tuntutan tersebut tak bisa dipenuhi. Menurut Teuku Daudsjah, tiada satu pun alasan masuk akal untuk mengangkat kepala desa menjadi pegawai negeri.

Kecewa tuntutannya ditolak, para kepala desa se-Takengon segera menunjukkan bahwa ancaman yang pernah mereka umbar bukanlah gertak sambal belaka. Pada tanggal 3 Juni, dimulai jam 6 pagi, mereka mulai melakukan mogok kerja. Mereka tak lagi mau meladeni semua perintah yang diberikan pejabat daerah, polisi, tentara, serta politikus setempat.

Atas situasi tersebut, Abdul Wahab sangat kecewa sekaligus resah. Ia khawatir pemogokan bisa menimbulkan keributan di desa-desa karena terjadi kekosongan kepemimpinan. Untungnya, apa yang dikhawatirkannya tak terjadi. Setelah berlangsung sepuluh hari, aksi mogok kerja ternyata cuma diikuti beberapa kepala desa. Ada sejumlah kepala desa yang tetap menunaikan kewajibannya melayani warga. Dampak terhadap desa-desa yang kepala desanya mogok kerja pun tidak signifikan. Warga yang kepala desanya masih mogok kerja bisa mengurus berbagai keperluan di kantor bupati.

Situasi yang melegakan itu segera dilaporkan Abdul Wahab kepada para pengambil kebijakan di Kutaraja: “Pada waktu ini pemogokan2 jang dilakukan oleh Ketjik2 itu barangkali belum berapa berbahaja, sebab hanja baru merupakan lijdelijk verzet (perlawanan pasif) sadja dari sebahagian mereka itu, dan Pemerintahan masih dapat didjalankan sebagai biasa, sungguhpun karena ini sebahagian Ra’jat jang Ketjiknja betul2 telah mogok terpaksa berurusan langsung dengan Imueum Mukim atau Kepala Negeri-nja, malahan ada djuga jang kekantor saja”.

Pada 8 Agustus, keadaan mulai tenang setelah para kepala desa yang mogok kerja sepakat untuk mengakhiri aksinya. Keputusan itu mereka buat usai sebelas pengurus GPD Takengon berunding dengan Abdul Wahab yang ditemani Wedana Takengon dan kepala kepolisian setempat (Arsip DPKA, No. AC01-106/7-106.1).

GPD Takengon adalah organisasi yang memakai sebuah semboyan unik. Semboyan itu berbunyi: “Jangan engkau terlampau keras, maka dipecah orang kau seperti batu. Jangan pula engkau terlampau lembek, maka diperas orang kau seperti santan”. Kesediaan untuk berunding dan mengakhiri aksi mogok kerja sangat mencerminkan semboyan ini. Kalau bersikap “terlampau keras”, tentu para kepala desa yang terhimpun dalam GPD Takengon tak mau menghadiri perundingan guna menyelesaikan perselisihan.

Dalam musyawarah dengan Bupati Aceh Tengah Abdul Wahab, para pemogok bisa menerima penjelasan bahwa pemberian status pegawai negeri untuk mereka adalah sesuatu yang mustahil diwujudkan. Kalau mereka diangkat menjadi pegawai negeri, pasti nanti kepala-kepala desa di seluruh Aceh juga bakal mengajukan tuntutan yang sama. Keuangan daerah tak mampu menggaji pegawai negeri baru sebanyak itu. Jumlah kepala desa di Aceh tahun 1950 sebanyak 5.507 orang. [**]

Penulis: Bisma Yadhi Putra (Sejarawan)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda