Beranda / Kolom / Presiden 2024, Meneruskan Legasi Jokowi

Presiden 2024, Meneruskan Legasi Jokowi

Kamis, 29 Juni 2023 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Fauzan Azima
Fauzan Azima. [Foto: Ist.]

DIALAEKSIS.COM | Kolom - Presiden Joko Widodo, Selasa, 27 Juni 2023, ke Aceh menerbitkan kembali asa para korban pelanggaran hak asasi manusia. Di Aceh, Jokowi mendorong penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat lewat penyelesaian non-yudisial.

Kepulangan Jokowi ke kampung halaman keduanya ini menjadi penanda setelah dia mengakui tiga peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat pada masa konflik antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Keinginan itu dinyatakan secara resmi oleh Jokowi di Istana Negara, di Jakarta, 11 Januari 2023, usai menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM).

Di antara 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui Kepala Negara untuk Aceh itu adalah Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989; Peristiwa Simpang KKA, 1999; dan Peristiwa Jambo Keupok, 2003. Tapi, sebagai catatan, ada ratusan peristiwa serupa terjadi di Aceh sepanjang konflik itu mendera.

Pengakuan negara terhadap pelanggaran HAM berat di Aceh justru di saat kita merasa apatis terhadap berbagai upaya pengungkapan kekejaman militer pada masa lalu. Pengakuan presiden itu menjadi titik terang dan harapan bahwa HAM masih berlaku di negeri ini. Dan itu dapat diselesaikan di luar hukum.

Ya, kita semua mendorong agar kasus-kasus pelanggaran HAM di negeri ini diungkapkan secara tuntas. Bukan untuk menunjuk orang per orang. Bukan pula untuk menyalakan dendam di hati. Kasus kekerasan di masa lalu harus diungkap sebagai hikmah agar peristiwa itu tidak terulang.

Mengakui kesalahan bukan hal mudah. Apalagi di saat kita memegang kekuasaan. Tapi sebagai gentlement, Jokowi mengucapkan sesuatu yang sepertinya sulit dilakukan oleh orang lain, terutama mereka yang memiliki latar belakang militer. 

Tradisi ini seharusnya tetap dipertahankan. Apalagi banyak kasus kekerasan di masa lalu yang membutuhkan langkah yang sama. Karena itu kita layak berhadap agar penerus Jokowi, Ganjar Pranowo, melakukan hal yang sama. 

Harapan ini tidaklah berlebihan. Apalagi Jokowi dan Ganjar berangkat dari latar belakang yang mirip. Ganjar ada politikus sipil pekerja keras. Seperti Jokowi, dia juga sosok yang sederhana. Sehingga mereka seperti tidak berjarak pada rakyat. 

Pada 2002, Ganjar, saat bekerja di Kantor PDI P, dia ngontrak di daerah Tebet dengan minibus Kijang inventaris partai. Dia bukan “anak mami” yang terlahir dari keluarga berada. Dia juga tidak punya cacat yang bisa diungkit-ungkit sebagai bualan politik di setiap pemilihan. 

Berdasarkan ilmu pengetahuan “ketike” di tanah Gayo yang berlaku dalam memilih pemimpin yang masih relevan sampai sekarang, nama itu dibedah berdasarkan ilmu nenek moyang kami, “merike geral. Ilmu “merike geral” setara dengan ilmu “rahasia Allah”. Ilmu itu berisi rahasia tentang langkah, rezeki, jodoh dan maut.

Pertama matahari terbit. Ini bermakna sangat baik. Kedua telaga di atas bukit, ini juga berarti baik. Makna ketiga cukup buruk, abu di atas tunggul. Suku kata keempat anak raja kepanasan. Bermakna sangat buruk. Kita uji Ganjar Pranowo; Gan-jar-pra-no-wo yang terdiri atas lima suku kata yang berarti matahari terbit, yang bermakna sangat baik.

Bandingkan dengan rivalnya Prabowo Subianto; Pra-bo-wo-su-bi-an-to yang kalau dihitung menjadi tujuh suku kata berarti abu di atas tunggul. Demikian juga Anis Rasyid Baswedan; A-nis-ra-syid-bas-we-dan, juga terdiri atas tujuh suku kata yang juga bermakna abu di atas tunggul.

Ya, negeri ini memerlukan pemimpin yang merakyat. Dan yang terpenting, kita perlu memastikan bahwa penerus Jokowi adalah orang yang memiliki komitmen untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh tanpa harus mengorek luka lama. Setelah Jokowi, harapan itu bisa disandangkan pada Ganjar. [**]

Penulis: Fauzan Azima (Mantan Kombatan GAM)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda