kip lhok
Beranda / Kolom / Masih Adakah Rasa Cinta ?

Masih Adakah Rasa Cinta ?

Jum`at, 13 September 2019 19:53 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM - Apakah anda mau berkorban? Ketika anak dan istri anda membutuhkan pengorbanan anda, apakah anda mau melakukanya? Walau kadang kala pengorbanan itu harus menuntut keringat, darah dan air mata, bahkan nyawa.

Ketika anda mau melakukannya, bahkan ihlas, tidak mengharapkan apa apa, asalkan orang yang anda berikan pengorbanan, hidupnya bahagia, anda pasti akan merasakan bahagia dan puas. Ada sesuatu kemenangan yang anda rasakan.

Semua itu mau anda lakukan karena anda merasa memiliki. Merasa yakin dengan apa yang anda korbankan, bukanlah perbuatan yang sia sia. Namun adalah sebuah maha karya yang memang harus dilakukan dalam hidup ini.

Keihlasan anda tidak mampu diukur dengan materi. Pengorbanan itu akan indah, bila dibalut perasaan cinta, perasaan kasih sayang, perasaan memiliki. Anda tidak pernah berharap akan mendapat balasan.

Apakah anda juga mau berkorban demi negeri anda. Tempat anda dibesarkan dan dilahirkan, tempat anda menaungi hidup?

Semangat berkorban untuk negeri ini saya lihat sudah memudar. Tidak seperti dulu, dimana semangat juang untuk membangun negeri sangat tinggi.

Sebagai catatan, memori saya masih merekam bagaimana sumbangsih manusia ihlas membangun negerinya. Membangun, Gayo, Aceh Tengah misalnya. Tetesan keringat, lelahnya para pejuang yang ihlas, menghasilkan karya yang luar biasa.

Era tahun 70- 90, saya masih melihat semangat juang yang tinggi itu untuk membangun negeri ini. Saya terlibat di dalamnya, minimal melakukan gotong royong dengan ihlas, tanpa mengharapkan balasan, asalkan tujuan tercapai, semuanya puas.

Padahal ketika itu untuk mendapatkan uang sangat susah. Namun mendapatkan uang sedikit, tetapi membawa berkah. Para pejuang penuh ihlas ini mulai dari membangun kampung. Mendirikan sekolah, membangun menasah, masjid, jembatan, jalan dan lainya sebagainya.

Bukan hanya tenaga dan pikiran yang disumbangkan, namun pekerja gotong royong demi kemajuan ini, rela menyumbangkan hartanya. Bepegenapan, eteng eteng iyak (Bahasa Gayo semuanya sepakat mengeluarkan modal berapa yang ihlas).

Setelah modal dikeluarkan, juga senantiasa aktif melakukan gotong royong demi kebersamaan. Semuanya dikerjakan dengan ihlas, tanpa mengharapkan balasan, asalkan tujuan bersama tercapai, apapun akan dilakukan.

Saya jadi teringat bagaimana ihlasnya klub didong dalam membangun negeri ini. Mereka diundang untuk berseni, bertepuk tangan mengandalkan kanvas semalam suntuk. Mereka hanya diberi makan malam, minum dan rokok, sedikit uang minyak untuk pulang dan datang.

Tidak sebanding dengan energy yang mereka keluarkan. Namun klub didong ini tersungging senyuman, ketika panitia menyebutkan, tiket dari pertunjukan didong ini disumbangkan untuk pembangunan.

Untuk mengembalikan stamina, akibat lelah berseni semalam suntuk, mereka memerlukan pudding. Para seniman ini harus merogoh kantong sendiri. Namun, walau harus megeluarkan kocek sendiri disaat tubuhnya lemas akibat begadang, mereka ihlas melakukanya.

Tak mampu dihitung berapa sudah bangunan sekolah, jembatan, jalan, menasah yang disumbangkan oleh klub didong yang ada di Gayo. Mereka tidak pernah menghitungnya. Mengapa mereka mau melakukanya?

Ketika panggilan jiwa sudah menyatu dalam nadi dan darah, rasa mencintai negeri ini mengalahkan kepentingan pribadi. Mereka mencintai tanah leluhurnya dan mau berkorban. Ketika negeri ini membutuhkan pengabdianya, mereka akan melakukan apa saja.

Semangat juang dan rasa cinta inilah membuat bumi pertiwi menikmati kemerdekaan dari tangan penjajah. Para pejuang pendahulu tidak menghiraukan nyawa mereka, demi sebuah cita cita kemerdekaan. Mereka tidak pernah meminta untuk dihargai sebagai pahlawan.

Ibarat sakit kona kumata, mehne murasa ari kidding ku ulu ( Bahasa Gayo- ketika sakit terkena ke mata, sakitnya terasa dari ujung kaki sampai ke kepala). Rasa memiliki dan mencintai, telah melahirkan sebuah kekuatan. Mereka mau mengorbankan nyawa, darah dan air mata serta harta. Harga yang paling mahal dan tak mampu dibeli, adalah pengorbanan cinta dan kasih sayang.

Ketika cinta dan kasih sayang bersemi, apapun mau dilakukan. Namun kini apakah rasa cinta dan kasih sayang itu telah memudar? Hilang dari sanubari manusia. Tidak!!! Cinta dan kasih sayang itu tidak hilang dari kalbu insan.

Namun karena dibalut berbagai kepentingan, berpikir untung rugi untuk sesasat, aura cinta dan kasih sayang itu meredup. Tidak keluar dari tubuh sebagai sebuah kekuatan. Hidup sudah mulai mementingkan kepentingan pribadi.

Rasa memiliki, menjaga dan memelihara untuk negeri tidak lagi dibekali dengan semangat juang yang tinggi. Ada kalanya apatis, atau dilakukan hanya sekedar menjaga perasaan, bukan lagi sebagai sebuah kewajiban.

Bila manusia sudah keluar dari kudratnya dalam menjaga cinta, maka kehancuran akan tercipta. Jangan salahkan cinta bila nantinya merana, berbuah petaka. Cinta itu tidak pernah salah, hanya kita yang tidak mengasahnya untuk menjadi sebuah kekuatan.

Apakah ketika kit sudah terlena dalam balutan sengsara, baru cinta untuk negeri ini akan hadir direlung hati? Ketika semua petaka itu sudah terbentang dihadapan kita, baru kita sadari gila harta dan meninggalkan cinta, hidup kita akan merana. Jangan sia siakan cinta. (Bahtiar Gayo)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda