Beranda / Kolom / Kemiskinan Aceh

Kemiskinan Aceh

Rabu, 21 Agustus 2019 13:09 WIB

Font: Ukuran: - +


Kemiskinan Aceh

Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

DIALEKSIS.COM - Ada kegembiraan terkait dengan kemiskinan di Aceh.

Ya, gembira pertama, baru-baru ini para akademisi sudah mulai membahas tentang kemiskinan di Aceh. Rektor Unsyiah sebagai inisiator. 

Lalu, ia berkata-kata bahwa penurunan angka kemiskinan tidaklah signifikan. Ada kesalahan dalam pengelolaan dana Otsus. Sudah 13 tahun, dana Otsus sekitar Rp 72 trilyun. Tapi bagaimana korelasinya kemiskinan dan tatakelola dana Otsus?

Gembira kedua, Plt Gubernur gembira angka kemiskinan turun. Per September 2018, ada 831 ribu orang (15,68%), lalu per Maret 2019, mereka yang tergolong miskin menjadi 819 ribu jiwa (15,32%).

Hal itu menunjukkan pengurangan sebesar 12 ribu jiwa (0,36%). Plt Gubernur semakin gembira karena kepala BPS Wahyuddin mengatakan: "Ini merupakan angka penurunan kemiskinan tertinggi kelima se-Indonesia."

Nova Iriansyah menganggap bahwa "UMKM sangat berperan menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran di Aceh." Di samping itu, untuk menurunkan angka kemiskinan, maka ia akan fokus pada ketersediaan pangan dan distribusi bahan bakar minyak.

Nah, seandainya penurunan angka kemiskinan 0,36% per tahun, maka dengan angka kemiskinan 819 ribu jiwa dibutuhkan waktu sekitar 70 tahun untuk mengentaskan kemiskinan di Aceh. Tentunya dengan asumsi bahwa angka kemiskinan statis.

Baiklah, apa yang diwacanakan para akademisi dan praktisi, berikut di dalam ekspresi kegembiraan Plt Gubernur, sama sekali tidak menjelaskan apa jenis kemiskinan di Aceh, lalu bagaimana mungkin kita dapat memberikan terapinya, atau apa strategi penanggulangan kemiskinan yang tepat itu?

Sejauh ini, para akademisi atau peneliti belum mempelajari anatomi kemiskinan di Aceh, apakah termasuk kemiskinan kultural?

Tampaknya, jika kembali mengacu pada pascabencana gempa tsunami, meskipun mereka hidup dalam kurun konflik vertikal yang akut, masyarakat Aceh memiliki daya kebangkitan yang cepat.

Kita bisa mengacu pada munculnya dinamika pasar yang cepat. Ketika Pasar Aceh dilanda tsunami, maka dinamika dan skala Pasar di Lambaro menjadi booming.

Andai kemiskinan kultural dipahami sebagai refleksi dari gaya hidup yang santai, maka orang terjebak pada fenomena warung kopi.

Orang berkerumun di warkop-warkop. Lalu, mereka akan menarik kesimpulan bahwa itu merupakan fenomena kehidupan yang santai, yang potensial menopang kemiskinan.

Padahal, dari sudut pandang lain, keramaian warkop, baik dari segi jumlah kehadiran warkop maupun keramaian pengunjungnya, dapat dilihat sebagai pertanda ada tidaknya peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh, atau tingkat peredaran uang di dalam masyarakat.

Kembali merujuk pada pasca tsunami, muncul fenomena melonjaknya jumlah warung di sepanjang jalan raya, bahkan pengunjung warkop melampaui daya tampung warung tersebut.

Begitu masa rehabilitasi dan rekonstruksi selesai, yang mana perekonomian bertumpu pada APBA dan APBK, maka jumlah warung dan pengunjungnya terkurangi. Bahkan, pengunjung warung nasi pun menjadi tidak beragam, dan didominasi oleh mereka yang berpakaian seragam.

Boleh jadi, kemiskinan di Aceh cenderung termasuk oleh sebab struktural. Artinya kebijakan pemerintah tidak serta merta-semua warga Aceh bisa mengakses sumberdaya, yang didominasi oleh APBA dan APBK. Karena itu, keragaman pengunjung warkop terkurangi atau didominasi oleh kalangan berseragam.

Dari angka statistik yang ada, maka muncul fenomena migrasi dari desa ke kota, yang mana penduduk miskin di kota meningkat dari 9,63% menjadi 9,68%, sebaliknya angka kemiskinan di desa menurun dari 18,52% menjadi 18,03%. Ada perpindahan kemiskinan.

Jika kemiskinan di Aceh adalah struktural, maka yang harus diperbaiki adalah kebijakan pembangunan di Aceh, dirubah dari merespon kemiskinan secara sambil lalu atau lebih merespon kehidupan perkotaan menjadi berpihak pada kemiskinan dan merespon kehidupan di pedesaan.

Tapi, untuk lebih meyakinkan, pemerintah Aceh harus terlebih dahulu mempelajari anatomi kemiskinan di Aceh, lalu melakukan pemetaan kemiskinan, dan akhirnya menyusun strategi pembangunan yang mengentaskan kemiskinan dengan tanpa menunggu 70 tahun, yang celakanya dana otonomi khusus sudah keburu habis.()


Keyword:


Editor :
Pondek

riset-JSI
Komentar Anda