Beranda / Kolom / Lima Skenario Wagub Aceh

Lima Skenario Wagub Aceh

Senin, 07 Desember 2020 10:31 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh M Rizwan Haji Ali


SETELAH pelantikan Nova Iriansyah pada 5 November 2020, sebagai gubernur Aceh definitif sisa jabatan 2020-2022, posisi wakil gubernur Aceh secara legal formal sudah dapat diajukan oleh partai pengusung pasangan Irwandi-Nova untuk mengisi posisi yang lowong itu.

Partai pengusung yang terdiri dari PNA, PDA, PKB dan PDIP Perjuangan tampaknya terus menggodok calon masing-masing. Sementara Demokrat sudah pasti tidak akan mengajukan calon karena sudah mengisi posisi gubernur.

Masalahnya, apakah partai-partai pengusung bisa menemukan titik kumpul untuk mengajukan dua nama calon wakil gubernur kepada gubernur. Dimana selanjutnya gubernur menyerahkannya kepada DPRA, agar dipilih sebagai wakil gubernur definitif?

Pertanyaan ini yang sulit untuk dijawab karena varian kepentingan yang sangat kontras di antara parpol-parpol tersebut.

Mengacu kepada UU Nomor 11 Tahun 2006, pasal 54 ayat (3) dijelaskan bahwa batas pengisian jabatan wakil gubernur Aceh 18 bulan dari sisa masa jabatan gubernur Aceh.

Dihitung dari waktu pelantikan, 5 November 2020, sisa masa jabatan Gubernur Nova Iriansyah akan berakhir pada 5 Juli 2022. Tersisa 20 bulan lagi sisa masa jabatan gubernur, sehingga pengisian jabatan wakil gubernur paling telat sudah selesai pada 5 Januari 2021. Jika tenggat tersebut terlangkaui, sudah dapat dipastikan Aceh akan sepenuhnya dipimpin oleh single chief executive, tanpa wagub.

Tulisan ini mengajukan lima skenario untuk mendekripsikan apakah posisi wakil gubernur Aceh akan terisi atau tidak. Kelima skenario ini hanya merupakan sebuah hasil penalaran teoritis dan empiris yang dipahami dari pemberitaan media, sehingga terbuka untuk terjadi salah satunya atau terjadi secara gabungan, atau bahkan mungkin ada kejutan politik di luar skenario-skenario ini.

Skenario pertama, perbedaan kepentingan parpol melahirkan konflik dalam pencalonan. Konflik pencalonan akan memakan waktu untuk disatukan dalam satu kesepakatan.

Kesepakatan yang terlalu lama dicapai akan mengakibatkan waktu pencalonan habis. Akhirnya, seluruh parpol pengusung tidak dapat mengajukan calon Wagub karena tidak dicapai kesepahaman.

Watak partai politik adalah kompetitif dan berusaha menemukan langkah politik yang paling rasional. Tindakan rasional dalam politik adalah tindakan yang paling menguntungkan bagi pelakunya.

Dalam skenario ini para pimpinan parpol baik lokal maupun nasional tidak dapat menemukan kata sepakat terhadap calon-calon yang akan diajukan. Hingga batas waktu berakhir tidak ada calon yang bisa diusung.

Semua parpol merasa terpuaskan karena mampu menegasikan kepentingan parpol lain. Pemenang telak dari skenario ini adalah Demokrat, karena tidak perlu repot membagi kekuasaan eksekutif kepada parpol kolega. Ini situasi paling ekstrim yang mungkin terjadi. Kecuali para pimpinan parpol pengusung bersedia melapangkan jalan bagi partai lain.

Skenario kedua, perbedaan kepentingan parpol disepakati untuk diwadahi dalam satu konvensi. Waktu konvensi dibatasi dalam durasi yang memungkinkan pencalonan dilakukan secara hukum. Setiap parpol memperoleh manfaat dari hasil konvensi. Pemenang konvensi diajukan kepada gubernur untuk dipilih oleh DPRA.

Cara ini paling elegan, karena semua parpol akan melakukan upaya yang serius untuk membuktikan bahwa calon yang didukungnya, terpilih dalam sebuah konvensi terbuka.

Bahkan, apabila parpol mau membuka diri kepada publik, peserta konvensi itu dapat dibuka kepada umum, dari berbagai kalangan baik politisi, birokrat, ulama, cendekiawan, aktivis, tokoh masyarakat, pengusaha, dan kekuatan sosial lainnya.

Dengan demikian, konvensi itu menjadi sebuah tradisi politik baru di Aceh yang diharapkan mampu melahirkan pejabat politik yang diterima oleh semua kalangan. Konvensi ini sedapat mungkin dilakukan secara transparan dan bersih politik uang. Dalam skenario ini, pola konvensi disepakati aturan mainnya secara jelas. Tanpa aturan main akan terjadi kekacauan “dalam kota”.

Orang-orang yang memiliki integritas diundang oleh parpol untuk menjadi panelis. Mereka menyusun pola konvensi dan menyaring para kandidat. Dengan pola konvensi yang bersih dan berintegritas diharapkan akan terhindarkan terjadinya kecelakaan politik- seperti kata anekdot demokrasi- “kartu keriting menjadi truf”.

Skenario ketiga, perbedaan kepentingan parpol pengusung diwadahi oleh gubernur. Misalnya, ada suasana batin gubernur lebih nyaman bekerja tanpa wagub sudah terhindar dari konflik.

Distribusi kepentingan dan manfaat bagi parpol pengusung dilakukan dengan pola pemberian portofolio kepada parpol untuk memegang SKPA tertentu sebagai “hak reman” partai pengusung.

Dalam skenario ini, seluruh partai pengusung menaruh kepercayaan kepada gubernur untuk mengatur seluruh “hak parpol” dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian, posisi wagub tetap dibiarkan kosong karena kepentingan parpol pengusung sudah terpelihara dalam kesepakatan politik dengan gubernur.

Namun, skenario ini sangat beresiko terhadap parpol di luar Demokrat. Kemungkinan terjadinya perselisihan politik dengan gubernur cukup tinggi. Misalnya, gubernur tidak lagi nyaman dengan tuntutan yang diajukan dalam perjalanan pemerintahan, gubernur dapat serta merta meninggalkan parpol pengusung.

Skenario keempat, intervernsi pengurus parpol pusat untuk menetapkan salah satu kadernya partai pengusung sebagai wagub. Distribusi manfaat dan kepentingan dilakukan dalam pola quid pro quo (sesuatu untuk sesuatu).

Hubungan dengan partai pengusung tuntas dalam distribusi manfaat yang konstan dan tuntas dalam sekali pukul. Setelah kesepakatan dicapai, parpol pengusung mengajukan cawagub sesuai hasil kesepakatan itu.

Skenario kelima, menteri dalam negeri menyurati gubernur untuk pro aktif membangun komunikasi politik dengan mendorong seluruh parpol pengusung mengajukan cawagub untuk dipilih DPRA.

Hal ini pernah dilakukan oleh kementerian dalam negeri pada kasus DKI Jakarta. Akhirnya, atas dasar itu gubernur DKI Anies Baswedan menyurati seluruh parpol pengusung saat itu untuk mempercepat pengusulan nama calon wakil gubernur.

Bagi masyarakat, skenario ada atau tidak adanya pengisian jabatan wagub ini juga punya untung ruginya. Keuntungannya adalah dengan tidak adanya wakil gubernur potensi terjadinya pecah kongsi kepala daerah dan wakilnya dapat dihindari.

Sementara kerugiannya adalah terjadi penumpukan kekuasaan eksekutif di tangan gubernur yang berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Wallahu a’lam bisshawab. 

 Penulis:  Pengajar pada Program Studi Ilmu Politik, Fisip, Universitas Malikussaleh 


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda