Beranda / Kolom / MoU: Politek Top Bangai!

MoU: Politek Top Bangai!

Rabu, 18 November 2020 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Perdamaian Aceh sudah 15 tahun berlalu. Sudah belasan tahun UUPA berlaku. Sudah puluh tahun dana Otsus dialirkan ke dalam APBA. Sudah berapa rezim, baik eksekutif maupun parlemen lokal dikuasai oleh politisi dari Partai Aceh.

Mengapa mereka masih berteriak realisasi MoU Helsinki? Mengapa mereka masih menuduh Pusat tak beritikad positif pada Aceh? Berpolitik apa yang sedang dimainkan mereka? Politek top bangai, peuleumah carong?

Kalau Wali Nanggroe, Malik Mahmud, baru-baru ini di Meulaboh mengatakan: “Terkait butir-butir MoU Helsinki ini, saya berharap DPRA agar benar-benar memperjuangkannya. Jangan hanya menunggu”.

 Lalu, pertanyaannya ; apakah sebenarnya tupoksi Wali Nanggroe? Masalah MoU, bukankah sudah ada media penyelesaiannya di dalam MoU sendiri, yakni melalui putaran sejumlah pertemuan meja bundar? Dulu, saat 5 kali pertemuan itu, apa yang mereka bicarakan?

Ketika Muzakir Manaf dipanggil Komnasham untuk diminta keterangan terkait kerja-kerja penyelidikan pelanngaran HAM berat di Aceh semasa konflik, responnya begitu cepat untuk urus ke Jakarta. Bertemu tuan A maupun tuan B. Akan tetapi bagaimana responnya soal urusan bendera dan symbol Aceh, baik semasa menjabat Wagub Aceh, maupun paska itu?

Ketua Fraksi Partai Aceh di DPRA, Tarmizi Panyang mengatakan: “Secara khusus, saya minta Nova Iriansyah siap memperjuangkan dan menuntaskan kekhususan Aceh sesuai amanat MoU Helsinki dan UUPA.” Bukankah hal itu, jika merujuk pada Qanun, seharusnya dilayangkan pada Wali Nanggroe?

Persoalan lain, apakah Fraksi Partai Aceh, baik di DPRA maupun di DPRK, di dalam perancangan APBA dan APBK telah sensitif terhadap korban konflik dan rekan-rekan perjuangannya yang masih bergelut dengan luka fisik maupun psikis? Belum lagi, bagaimana mentranformasi sejumlah gagasan yang ada dalam timbunan proposal itu menjadi bahasa program dalam APBA dan APBK?

Baru-baru ini ACSTF (Aceh Civil Society Task Force), NGO yang lahir di Washington saat pertemuan orang Aceh yang diinisiasi oleh IFA (New York), mengadakan FGD dengan 4 kelompok (Akademisi/aktivis, Pelaku bisnis, Politisi dan GAM, dan dengan Aparat Pemerintah Aceh) untuk mengetahui di mana titik masalahnya.

Teriak-teriak politek sapujagat tak menjelaskan anatomi masalah. Apakah masalahnya di ranah regulasi atau implementasi. Kalau di ranah regulasi, apakah pada level jabaran dari MoU ke UUPA, atau pada level UUPA, atau pun pada Qanun? Jangan-jangan masalahnya justru pada implementasi, artinya “aweuk ka bak jaroe, hana teupe peu peulaku”! Baik aweuk legislative maupun eksekutif! (Sendok sudah di tangan tidak tahu apa yang mau dikerjakan, baik pihak legeslatif dan eksekutif).

Misalnya, masalah pelembagaan Wali Nanggroe dan tupoksi Wali Nanggroe sendiri, apakah sudah berjalan sesuai dengan yang termaksud di dalam qanun? Bagaimana sikap Wali Nanggroe terhadap fenomena menguatnya kembali aspirasi politik untuk pemekaran Aceh menjadi 3 propinsi?

“Pasal 3 Tujuan pembentukan Lembaga Wali Nanggroe adalah: a. mempersatukan rakyat Aceh; b. meninggikan dinul Islam, mewujudkan kemakmuran rakyat, menegakkan keadilan, dan menjaga perdamaian; c. menjaga kehormatan, adat, tradisi sejarah, dan tamadun Aceh; dan d. mewujudkan pemerintahan rakyat Aceh yang sejahtera dan bermartabat.”

Dalam ketegangan antara DPRA dan Gubernur, apakah Wali Nanggroe sudah menjalankan tupoksinya sebagai pemersatu? Dan, peran-peran lainnya sebagaimana ketentuan yang ada di dalam Qanun WN.

Kemudian, adanya dualisme, bahkan dikhotomi antara aparat birokrasi dan non-birokrasi di dalam tubuh lembaga-lembaga baru, termasuk lembaga Wali Nanggroe sendiri, KKRA, BRA dan lembaga-lembaga pelaksana pilkada, apakah telah ada ikhtiar untuk mengintegrasikannya?

Sebetulnya, jauh lebih banyak permasalahan dalam konteks implementasi yang telah memiliki payung qanun, daripada persoalan regulasi. Hal ini jauh lebih berkenaan dengan tingkat kapasitas dan integritas para pemegang aweuk politek dan pemerintahan Aceh.

Trik politik “top bangai, peuleumah ceubeuh” selama 15 tahun ini tidaklah menciptakan kemaslahatan bagi orang Aceh. Bahkan trik demikian bisa membawa mudharat kalau terus dilanjutkan.

Misalnya bila ingin yudicial review UUPA dalam konteks politik nasional sekarang. Apalagi para juri runding di Jakarta sudah berada di luar orbit politik di Monas! Dan, bukanlah hal itu inti permasalahannya kesejahteraan Aceh jalan di tempat. Inti permasalahan pada kapasitas dan integritas awak mat aweuk!*

• Penulis: Ketua Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik (PRPRK), Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda