Beranda / Kolom / Jokowi di Negeri Kedua

Jokowi di Negeri Kedua

Sabtu, 20 April 2019 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Otto Syamsuddin Ishak

Lembaga Survei SMRC, dengan berbasiskan pada jumlah suara yang masuk sudah 89,66 persen, mendapatkan pasangan Capres Jokowi-Ma’ruf memperoleh 16,89 persen, sedangkan pasangan Capres Prabowo-Sandi meraih 83,11 persen.

Jokowi kalah telak di Aceh. Bahkan untuk kedua kalinya, yakni pada 2014, pasangan Jokowi-Jusuf hanya meraih 45,61 dibandingkan dengan raihan pasangan Prabowo-Hatta 54,39 persen. Kali ini Jokowi kehilangan sekitar 30 persen suara dari Aceh.

Padahal TKD Aceh, Irwansyah mengatakan ikhtiar sudah maksimal dalam mensosialisasikan program-program Capres Jokowi. Namun, ikhtiar itu tak mampu melawan fitnah dan hoax. Bahkan untuk hal fitnah sudah dibantu oleh ayah angkat Capres Joko Widodo, H Nurdin Aman Tursina (73), saat menerima kunjungan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, di kediamannya, Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah, yang mengatakan: "Kalau enggak pilih anak angkat saya (Jokowi) enggak apa-apa, tapi jangan difitnah."

Sementara kalau dilihat dari Monas, Aceh bisa agak sama. Apalagi Moeldoko, sebagai Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, mengakui juga mendapat informasi dari Aceh. Lalu, ia menggambarkan: "Ya kalau kita lihat dari daerah yang kering, itu relatif basisnya Islam, muslimnya kuat. Aceh, Sumbar, Riau, Jabar, terus juga NTB. Kenapa begitu terpengaruh? Karena hembusan isu yang dari awal sudah diwaspadai itu, itu memang luar biasa kuat. Waduh semburannya luar biasa."

Kering, saya tidak paham apa yang didefinisikan oleh Moeldoko, mungkin daerah berpopulasi rendah. Jumlah suara Aceh, kira-kira tidak signifikan. Karena itu, ada yang mengatakan: kita bukan memilih presiden untuk Aceh…(kalau kalah, ya tidak menjadi soal)…lalu diteriakkan: Jawa adalah kunci!

Setiap daerah, tentu punya nilai politik tersendiri karena punya sejarahnya sendiri, yang signifikan bagi Jakarta. Tak perlu melihat jauh ke belakang hingga ke masa kolonial, bahkan ke masa kesultanan Aceh. Kalaulah Moeldoko memandang ke puncak Monas, ia akan teringat ke Aceh, karena emas itu sumbangan putra Aceh, T. Markam. Pengusaha Aceh yang berada di lingkaran dekat Soekarno. Hal ini tak terlepas dari Megawati, dan PDIP yang mengusung Jokowi. Lalu, terbayanglah, apa jadinya bila emas itu tak ada di puncak Monas?

Monas tak ada emas di puncaknya, macam Indonesia tanpa daerah modal (Aceh), akhirnya macam Jokowi tanpa PDIP.

Di masa Orde Baru, Aceh dan DKI Jakarta, yang secara populasi tak layak disandingkan, tapi secara politik harus disandingkan karena Golkar belum menang di kedua daerah istimewa dan khusus itu. Saya teringat Ibrahim Hasan mengumpamakan kondisi politik tersebut dengan lampu Kristal yang belum menyala. Tugas Ibrahim Hasan untuk menyalakannya melalui Pemilu, dan Ia pun mendapat jabatan sebagai menteri.

Artinya, Aceh melengkapi gengsi politik para pelaku politik. Apalagi, Jokowi memiliki masa lalu di Aceh, yang boleh dikatakan sebagai Solo kedua baginya. Karena itu, saya agak kaget ketika masuk wilayah Bener Meriah tak menemukan baliho Jokowi secara mencolok. 

Lalu, saya ketemu beberapa warga di pedesaan yang rimbun oleh kopi dan sejuk, yang tak begitu tertarik berbicara tentang Jokowi. Saya terpikir, ada apa yang salah sehingga tak ada kebanggaan terhadap sosok presiden yang pernah dibesarkan oleh kampong di sini?

Sambil minum kopi malam yang sejuk dengan seorang rekan caleg yang berasal dari salah satu partai pengusung Jokowi, saya bertanya tentang keminiman baliho Jokowi. Jawabnya, para caleg tak mau berspekulasi untuk turut mengkampanyekan karena untuk menghindari resiko efek Jokowi yang belum jelas.

Setibanya di Banda Aceh, saya katakan pada teman yang bekerja untuk pemenangan capres Jokowi-Ma’ruf, mengapa kalian tidak mengkapitalisasi jejak hubungan emosional Jokowi dengan Aceh? Tentu, saya mempertimbangkan daripada menyulut isu pelanggaran HAM yang dilabelkan pada Prabowo semasa Aceh berstatus Daerah Operasi Militer dengan sandi Operasi Jaring Merah. Dan, ternyata isu itu mudah dipatahkan, atau hoax yang bisa ditenggelamkan, yang justru berefek membangkitkan kenangan pada Aceh berstatus Darurat Militer.

Tapi, sudahlah. Angka hasil Pilpres terlampau senjang, meskipun belum final. Lebih baik kita merangkai imajinasi, siapa pun yang menjadi presiden, bagaimana Aceh --yang kering kata Moeldoko, adalah Aceh yang memiliki nilai politik tersendiri-- membangun negosiasi dengan rezim Jakarta sehingga membuahkan kesejahteraan bagi rakyat Aceh. (OSI)

Penulis: Otto Syamsuddin Ishak


Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda