kip lhok
Beranda / Kolom / Helikopter atau Nyawa: 20 Tahun Tragedi Kopassus di Lhokseumawe

Helikopter atau Nyawa: 20 Tahun Tragedi Kopassus di Lhokseumawe

Minggu, 29 Oktober 2023 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bisma Yadhi Putra

Bisma Yadhi Putra, penulis sejarah


DIALEKSIS.COM | Kolom - Sabtu, 4 Oktober 2003, jam 10.45 pagi, orang-orang di pusat Kota Lhokseumawe menatap sesuatu yang menakjubkan melayang di cakrawala. Delapan prajurit Kopassus bergelantungan di tali yang diikat di sebuah helikopter. Empat orang di sebelah kiri, empat lainnya di kanan.

Kedelapan prajurit Kopassus itu sedang memperagakan taktik STABO atau suspention tactical airbourne operation. STABO adalah teknik untuk memindahkan pasukan dengan tali yang digantungkan di helikopter. Para prajurit mengikat tubuhnya di tali itu lalu diangkut ke luar dari daerah musuh. Teknik ini dipakai untuk mempercepat pemindahan atau ketika helikopter tak bisa mendarat.

Atraksi tersebut digelar di Lhokseumawe untuk memeriahkan HUT ke-58 TNI. Namun, begitu helikopter terbang di ketinggian 305 meter, cuaca tiba-tiba berubah jadi buruk. Helikopter oleng akibat tertiup angin kencang. Posisi helikopter waktu itu di atas laut, sejauh 500 meter dari pantai Pusong. Sang pilot, Kapten Tubagus Budi Setiadarma, tak kuasa menstabilkan helikopternya karena tali yang mengikat delapan prajurit terus berayun-ayun.

Menyadari helikopter bisa terjatuh jika terus dalam situasi tersebut, Kapten Tubagus kemudian memerintahkan anak buahnya untuk memotong tali. Dalam situasi kritis itu, pilihannya ada dua: cuma menjatuhkan Tim STABO atau membiarkan helikopter terjatuh bersama mereka.

Sesuai prosedur standar Kopassus, helikopterlah yang harus diutamakan. Tali akhirnya dipotong. Yang pertama dipotong adalah tali di sebelah kiri helikopter. Kedelapan prajurit itu langsung jatuh ke laut dalam keadaan tubuhnya terlilit tali. Warga menonton langsung kejadian mengerikan itu.

Pencarian besar-besaran segera dilakukan. Ratusan penyelam dikerahkan. Nelayan setempat ikut membantu. Para prajurit yang tenggelam harus cepat ditemukan karena tubuh mereka terikat tali sehingga mustahil bisa berenang. Namun, badai membuat pencarian pada hari itu berujung gagal. Para penyelam kesulitan karena arus laut begitu kencang.

Dua hari kemudian, 6 Oktober, tubuh delapan prajurit Kopassus terlihat mengambang di permukaan laut. Mereka ditemukan masih dalam keadaan terikat. Militer kemudian mengumumkan identitas mereka: Prada Nainggolan, Praka Afrianto, Sersan Dua Maksum, Prajurit Kepala Sigit, Sertu Slamet Budiono, Praka Khoirul Anam, Praka M. Dodi Suhendra, Praka Sugiono.

Para prajurit yang gugur itu berasal dari Jawa Timur, kecuali Nainggolan (Asahan, Sumut), Afrianto (Jambi), dan Dodi Suhendra (Jawa Barat). Jenazah kemudian dipulangkan ke keluarga masing-masing.

“Ternyata ada faktor cuaca yang kita tidak tahu datang tiba-tiba. Ini, kan, di luar kuasa manusia,” kata Pangkoops TNI Mayor Jenderal Bambang Darmono, sebagaimana diberitakan Liputan6 pada 7 Oktober.

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Ryamizard Ryacudu tidak mau langsung menyimpulkan cuaca buruk sebagai penyebab utama terjadinya musibah itu. Guna memperoleh gambaran yang lebih jelas, Ryacudu membentuk tim investigasi. Mayjen Yudi Mugiyo Yusuf ditunjuk sebagai ketua tim.

Dalam laporan awalnya kepada Ryacudu, tim investigasi tidak menganggap cuaca buruk sebagai faktor utama kecelakaan. Menurut pemberitaan Tempo.co pada 10 Oktober, yang disorot tim investigasi justru penggunaan helikopter tua dalam atraksi STABO berujung petaka tersebut. Ryamizard menjelaskan, helikopter yang dipakai saat atraksi adalah Bell 205. Helikopter ini cuma memiliki dua baling-baling sehingga ketika diterpa angin kencang akan mudah terayun ke kiri ke kanan. Berbeda dengan helikopter berbaling-baling empat yang tidak gampang terpengaruh oleh angin kencang.

Ryamizard dan sejumlah petinggi TNI lain menyadari perintah potong tali oleh Kapten Tubagus sudah sesuai prosedur. Akan tetapi, mereka mempertanyakan mengapa pemotongan itu dilakukan waktu posisi helikopter masih cukup tinggi.




(SCTV menayangkan upacara penghormatan terhadap delapan anggota Kopassus yang tewas di Lhokseumawe. Foto: Liputan6.com)

Proses hukum terhadap Kapten Tubagus berlangsung panjang. Bahkan terus berlanjut setelah GAM dan Pemerintah Indonesia berdamai. Tahun 2006, oditur (jaksa) militer mendakwa Kapten Tubagus bersalah dan harus dijatuhi hukuman penjara. Akan tetapi, Pengadilan Militer di Jakarta pada 22 Mei 2008 menyatakan Kapten Tubagus tak bersalah. Oditur militer menolak keputusan ini dan mengajukan kasasi.

Cerita panjang proses hukum terhadap Kapten Tubagus akhirnya baru selesai pada 13 April 2010. Waktu itu ia sudah berstatus purnawirawan. Mahkamah Agung menolak kasasi tersebut dan menetapkan Kapten Tubagus tak bersalah.

[Bisma Yadhi Putra, penulis sejarah]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda