Fenomena Nurlif dan Hendra!
Font: Ukuran: - +
Hendra Budian Wakil Ketua DPRA bersama TM Nurlif Ketua Ketua DPD I Golkar Aceh (Foto: Facebook)
Interaksi politik Hendra Budian dan Nurlif kian menjadi fenomena berpolitik di Aceh kekinian yang menarik. Apalagi dalam konteks Golkar yang cukup liat dalam mempertahankan eksistensi dirinya pada pasca Reformasi 1998. Namun, rupanya takdir Tuhan menempatkan Akbar Tanjung sebagai ketum sehingga Golkar dapat tetap berjaya.
Kata rekan HMI, cobalah bayangkan seandainya ketum Golkar tidak berlatarbelakang HMI, apakah Golkar akan sukses keluar dari badai reformasi yang turut menerpa partai yang berdiri pada 20 Oktober 1964 lalu? Mungkin Golkar akan rebah karena terlilit oleh kebijakan ketumnya sendiri.
Tapi saya pikir: alahmak…itukan apologi ke-HMI-an saja. Tidak ikut pusing bersama Bang Akbar, tapi begitu sukses, bisa sempat kocok telur kuning. Dan, jangan lupa bahwa bang Akbar punya pengalaman di pusaran politik konflik 1965, baik sebagai aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia pada Universitas Indonesia (KAMI-UI) dan, juga sebagai Laskar Ampera Arief Rahman Hakim.
Nah, bagaimana dengan Golkar di Aceh? Golkar dipimpin oleh ketua yang berbeda latar belakangnya dengan Bang Akbar. Bukan berlatar HMI. Kemudian, ketuanya tidak berada di dalam pusaran konflik Aceh 1976-2005. Meski, mungkin berlatar belakang dinamika politik Aceh sebelumnya. Hal ini menjadikan perilaku dan kebijakan Nurlif di dalam tubuh Golkar Aceh, akan berbeda dengan manuver Bang Akbar. Bahkan, potensial menjerat kaki politiknya sendiri.
Andi Sinulingga membandingkan apa yang terjadi di DPP dengan Golkar Aceh, yakni rivalitas antara Airlangga Hartanto dengan Bambang Soesatyo, meskipun Hendra tidak bersaing dengan Nurlif saat pemilihan ketua Golkar Aceh. Perilaku politik Nurlif menunjukkan jiwa yang kerdil sehingga “leadership-nya rendah" manakala Hendra disingkirkan dari kepengurusan Golkar Aceh periode rezim Nurlif.
Perilaku politik coet gateh Nurlif tak henti sampai menyingkirkan Hendra dari kepengurusan DPD I Golkar Aceh. Nurlif melakukan pencopotan Hendra dari jabatan Plt Ketua DPD II Partai Golkar Bener Meriah untuk diberikan pada Plt baru. Andaikan Nurlif menggantikan ketua DPD II Bener meriah dengan ketua yang definitive, tentu tak dapat dikatakan sebagai tindakan coet gateh.
Pada awalnya, saya sulit memahami adagium Aceh: tajak di likeu, dicoet gateh, ta jak dilikot ditoeh geuntot! Rupanya, dimensi kultural berpolitik di Aceh yang demikian dapat ditemukan bila melihat fenomena Hendra di dalam Golkar Aceh di dalam rezim Nurlif.
Pada awal saya kaget mendengar kabar Hendra menang Pileg, lalu terpilih sebagai Wakil Ketua DPRA dari Golkar. Sekalipun dalam sebuah kenduri, saya tiba-tiba merasa asing karena hadirinnya para politisi, bahkan sebagian besarnya anggota parlemen. Saya membatin: Ini bukan dunia saya!.
Namun, saya agak besar kepala, ketika kenalan lama, yang juga sudah senior dalam dunia berpolitik berkata: terima kasih To, kamu berhasil….lalu, ia menunjuk pada Hendra. Saya membatin: ah…saya bukan king maker aktor politik. Toh banyak aktivis yang tertempa di masa konflik bertransformasi menjadi aktor politik.
Untuk menghibur diri, saya katakan, sudah nasibnya LSM mendidik, partai politik yang memanen. Tetapi apa benefit yang diperoleh LSM? Hal demikian janganlah ditafsir secara negative. Kalaulah siklus ini bisa dirawat, bisa saling menghidupkan antara LSM dan partai, simbiosis mutualis, kan penerima manfaatnya masyarakat Aceh juga.
Namun, dinamika politik partai punya arus dan gelombangnya sendiri. Adagium Aceh tersebut masih bisa diberlakukan terus di dunia berpolitik di Aceh. Orang muda bisa berkata: saya tidak mau berdiri di belakang generasi tua. Siapa yang bisa bertahan kalau diketutin terus. Meski yang muda belum bisa mengimajinasikan apa resikonya kalau berdiri di depan generasi tua. Perilaku politik main serobot bisa dominan. Sementara dibenak yang tua terus berputar: bagaimana caranya kita jegal yang muda. Naluri busuk terus menggoda. Perpolitikan di Aceh semakin tak mengenal etika, yang rugi juga bukan hanya individu atau partai itu sendiri, tapi rakyat Aceh juga rugi.
Bahwa fenomena Hendra muncul setelah Nurlif mengelola Golkar Aceh, yang di dalam proses pemilihannya ada negosiasi yang melahirkan komitmen-komitmen politik yang melibatkan aktor dari DPP Golkar. Itulah landasan mengapa Nurlif terpilih secara aklamasi di dalam Musda Golkar Aceh.
Apalagi, seorang politisi yang menjadi anggota parlemen dengan sendirinya tidak sepenuhnya lagi milik partai, melainkan setengahnya sudah menjadi milik konstituennya. Oleh karena itu, manakala Nurlif di satu pihak mengambil tindakan yang kontra produktif terhadap seorang anggota parlemen dari partainya; lalu di lain sisi, Nurlif memiliki niatan politik untuk maju sebagai kandidat dalam pilkada Aceh mendatang maka ia bisa menangguk badai politik dari wilayah konstituen tersebut.
Namun, kita tidak mengetahui persis apa yang terjadi dalam dinamika domestik Golkar Aceh dalam kepemimpinan Nurlif sehingga adagium keacehan yang menasehati tentang perilaku negative itu diberlakukan. Apakah coet gateh karena ditoeh geuntot, atau ditoeh geuntot dahulu, baru kemudian dicoet gateh! Apakah hal ini dinamika politik di dalam Golkar Aceh, atau dinamika politiking personal semata dari sang aktor!.
Penulis: Otto Syamsuddin Ishak
Sosiolog Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh