Budaya Setor ke Atasan dalam Meraih Kedudukan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Baga
Pegiat literasi, Bahtiar Gayo. [Foto: ist]
DIALEKSIS.COM - Ingin mendapatkan kedudukan, wajib setor keatasan, bukanlah berita asing lagi terdengar. Cukup banyak kompetisi tidak sehat untuk mendapatkan jabatan, siapa dekat api dia akan panas. Hidup bagaikan di lingkaran akurium, si kecil menjadi santapan ikan besar.
Walau tidak semuanya jabatan dapat “dibeli”, tergantung pimpinan siapa yang disukainya, namun soal suap-menyuap dalam mendapatkan jabatan bukanlah berita baru di negeri ini.
Mereka yang “kecil-kecil” meminta perlindungan kepada yang lebih kuat dan besar. Ibarat hidup dalam akurium dengan jelas terlihat, sikecil menjadi santapan sibesar. Hampir seluruh intitusi di negeri ini, hidup bagai dalam akurium ini menjadi hiasan.
Bukanlah berita mengejutkan bila ada pengakuan seorang polisi harus menyetor untuk mendapatkan jabatanya. Mantan Kapolres Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumatera Selatan, AKBP Dalizon, misalnya, dia ahirnya buka mulut soal uang setoran.
Dia kini menjadi terdakwa kasus suap Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Musi Banyuasin (Muba). Dalam keteranganya di sidang di Pengadilan Tipikor, Palembang, dia harus menyetor uang kepada mantan Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Sumsel Kombes Anton Setiawan setiap bulannya.
Dalam keteranganya dipersidangan yang banyak dilansir media, Dolizon mengungkapkan, uang yang disetorkan yakni semula sebesar Rp300 juta. Belakangan, setoran tersebut bertambah menjadi Rp500 juta setiap bulannya.
"Dua bulan pertama saya wajib setor Rp 300 juta ke Pak Dir (Anton). Bulan-bulan setelahnya, saya setor Rp 500 juta sampai jadi Kapolres," kata Dalizon dikutip dari Tribun Sumsel, Jumat (9/9/2022).
Mantan Kapolres ini mengakui, jika dia telat menyetorkan uang Rp500 juta kepada Dirkrimsus Polda Sumsel, dia akan mendapat WA atau ditagih. Dolizon mengakui lupa dari manasaja sumber uang setoran itu.
Namun dia tidak membantah ketika majelis hakim soal aliran dana sebesar Rp10 miliar yang diduga bersumber dari Dinas PUPR Muba.
"Sebanyak Rp2,5 miliar dari hasil kejahatan ini untuk saya. Terus Rp 4,25 miliar untuk Dir, sisanya saya berikan kepada tiga kanit. Terus ada Rp500 juta fee untuk Hadi Candra," ucap Dalizon.
Namun Anton membantahnya, sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Anton yang dibacakan jaksa penuntut umum. Kasus korupsi kasus suap itu hingga kini masih bergulir di PN Palembang.
Cerita ini bagaikan menceritakan kepada kita, bahwa ada jabatan yang didapatkan dengan susah payah dan harus dibeli. Benarkah Dolizon mendapatkan jabatan sebagai Kapolres dengan menyetorkan uang, hingga kini pihak kepolisian belum memberikan keterangan secara resmi.
Apakah di intitusi Polri saja seperti yang diungkapkan Dolizon? Apakah diintansi lainya tidak ada soal jual beli jabatan? Bila kita mau jujur hampir seluruh lini intitusi nyaris ada persoalan ini, siapa yang dekat dengan atasan maka dia akan diperhatikan.
Dekat dengan atasan bisa jadi banyaknya setoran, atau karena kemampuanya bisa menyenangkan dan meyakinkan atasan, sehingga dia diberikan kepercayaan dalam mengemban sebuah jabatan.
Tidak heran pula bila ada seseorang yang memiliki kemampuan, namun tidak punya jaringan, tidak mampu menyetor,dia akan tersisihkan. Bahkan yang juniornya bisa melangkahinya dalam sebuah jabatan.
Cerita ini sering terjadi, junior justru lebih tinggi pangkat atau kedudukanya dari senior, karena sang junior punya jaringan dan punya “kekuatan” untuk menyakinkan pimpinan, sehingga dia dipercayakan mendapat jabatan.
Demikian pula soal pembagian proyek, walau aturanya sudah jelas, namun siapa yang mendapatkanya tergantung bagaimana kuatnya jaringan dan lobi. Siapa yang dekat api dia akan panas, si kecil akan menjadi santapan si besar.
Budaya yang sudah menggurita ini sangat sulit untuk dibersihkan. Semua punya kepentingan dan jaringan, mereka akan mempertahankan demi kepentinganya. Mau mengharapkan negeri ini benar-benar bersih sesuai aturan, mmmmm sangat sulit rasanya.
Makanya muncul juga istilah, yang jujur akan tergilas. Seseorang yang bukan ahlinya sesuai dengan disiplin ilmu, dia bisa saja dipercayakan menduduki jabatan tertentu, asalkan dia dipercayakan pimpinan.
Itulah permainan. Sehingga yang jujur dan punya kemampuan akan tergusur. Namun, masih banyak yang jujur dan memliki kemampuan dia tetap dipercayakan menduduki jabatan, semua itu tergantung pada pimpinanya, mau dikemanakan roda organisasi.
Bagi yang jujur dan memiliki kemampuan, namun justru tergusur, Anda harus bersyukur, karena Anda tidak dimasukan dalam pusaran “pertarungan haram” yang penuh kepentingan. Karena jabatan itu adalah amanah dan akan diminta pertanggungjawabanya dihadapan Tuhan dan manusia.
Jangan Anda berupaya mendapatkan jabatan dengan curang dan tidak halal, karena ingat Tuhan maha adil dalam menentukan perjalanan hambanya.
Berapa banyak sudah mereka yang tersungkur karena mendapat sesuatu tidak dengan caral tayibah, tidak dengan cara yang diridhai yang maha kuasa. Mendapat sesuatu dengan cara yang tidak wajar, lambat laun akan berdampak pada kehidupan. Yakinlah, Tuhan tidak tidur.
Budaya setor menyetor kepada atasan kiranya sudah harus dihentikan. Buat apa jabatan yang didapatkan dengan susah payah namun tidak berkah dan melahirkan petaka.
Bukankah hidup ini lebih indah, penuh kenyamanan dan kedamaian dan jabatan yang diberikan memang karena kita memiliki kemampuan dan itu bentuk amanah yang harus kita emban.
Semuanya terpulang kepada kita semuanya, mau hidup damai penuh keberkahan atau hidup bertabur gemerlapnya dunia yang berujung sengsara. Pilihan itu ada pada kita, mau memilih yang mana? *** Bahtiar Gayo