Beranda / Klik Setara / Perlukah Qanun Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan Aceh Diganti?

Perlukah Qanun Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan Aceh Diganti?

Selasa, 27 Desember 2022 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Gambar ilustrasi. [Foto: Net]

Singkat cerita, Qanun Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan akhirnya disahkan pada 12 Oktober 2009 dan kemudian diundangkan pada 14 Oktober 2009. Dari sisi waktu, proses hingga menjadi qanun membutuhkan waktu selama 20 bulan ini (cycle time) dan sudah dinyatakan lolos evaluasi besar-besaran yang dilakukan Kemendagri RI pada Juni 2016. Saat itu, lebih dari 3000 perda provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang dibatalkan karena dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan kesusilaan.

Lahirnya Qanun PPP tersebut menjadi sebuah regulasi lokal yang menjadi payung untuk urusan pemberdayaan dan perlindungan perempuan di Aceh, sekaligus disebut-disebut sebagai qanun (baca: Perda) yang menjadi pelopor di Indonesia. Qanun ini terdiri dari 10 BAB yang dijabarkan ke dalam 27 Pasal, mulai dari Pasal 1 yang berisikan ketentuan umum hingga Pasal 27 yang menjelaskan tanggal diundangkan dan perintah pengundangannya. Menurut Dr. Rasyidin (2014) mengacu pada konsep Longwe, mengklasifikasikan materi dari qanun ini dengan rincian sebagai berikut: 13.70 persen terkait kesejahteraan; 15.50 persen terkait akses; 6.80 persen terkait penyadaran diri, 33 persen terkait partisipasi; dan 31 persen terkait pengawasan. Terlepas dari proporsi materi sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Rasyidin (2014) di atas, materi qanun ini sebenarnya sudah lama disadari pengaturannya yang sangat sederhana sehingga menjadi penting untuk ditinjau kembali.

Mengapa Perlu Diganti?

Secara teori, suatu peraturan perundang-undangan termasuk qanun, sangat terbuka peluang untuk direvisi atau dicabut dan kemudian diganti dengan yang baru. Artinya, bisa saja sebuah qanun tidak berlaku lagi apabila memang dibatalkan karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau dicabut karena sudah ada peraturan yang baru atau materinya sudah tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.

Namun demikian, pertanyaan yang sering diajukan saat sebuah qanun diusulkan untuk direvisi atau digantikan: apakah qanun tersebut sudah dievaluasi secara menyeluruh? Berapa persen materi qanun ini sudah jalankan dan berapa persen yang tak berjalan samak sekali? Jawab konkritnya memang perlu dilakukan kajian menyeluruh untuk melihat realisasi per pasal yang ada di dalam Qanun PPP. Meskipun secara eksplisit, penulis tidak menemukan adanya arah kebijakan DPPPA Aceh baik dalam dokumen Renstra Tahun 2017-2022 maupun Renstra Tahun 2023-2026, bahwa dinas ini akan mengambil inisiatif untuk melakukan evaluasi sekaligus mendorong pergantian Qanun PPP.

Dalam posisi ini, penulis tidak bermaksud menyalahkan masa lalu atau masa sekarang dengan para aktor pengambil kebijakannya. Sebaliknya, tulisan ini sebagai bentuk dukungan yang mempertegas wacana bahwa sudah tiba saatnya qanun induk yang menjadi pegangan DPPPA Aceh ini segera dievaluasi dan kemudian diajukan pergantian dengan qanun yang baru.

Nah, sebenarnya Qanun PPP ini pernah masuk Program Legislasi Aceh (Prolega) Tahun 2017. Sayangnya, waktu itu penulis tidak melihat ada respon secara konkrit dari DPPPA Aceh. Bisa jadi masuknya qanun ini dalam listing Prolega saat itu bukan inisiatif dari dinas ini karena memang masuk ketegori “rancangan qanun usulan kumulatif terbuka” atas usulan Inisiatif DPRA di luar 15 rancangan qanun prioritas pada tahun tersebut. Di sisi lain, pada medio Oktober 2015 sudah pernah Qanun PPP ini dibedah dengan mengundang sejumlah pihak yang difasilitasi langsung oleh BPPPA Aceh. Kesimpulannya saat itu bahwa posisi qanun ini perlu segera dievaluasi dan ditinjau kembali. Artinya, secara tidak langsung, Qanun PPP dapat disebut sudah ketinggalan zaman, harus dicabut dan digantikan dengan qanun yang baru.

Menurut penulis, terdapat lima alasan pokok mengapa qanun ini mendesak untuk segera digantikan dengan qanun yang baru. (Bayangkan, biasanya memasuki masa lima tahun saja, sebuah regulasi sangat terbuka peluang untuk direvisi, apalagi dengan qanun ini yang sudah berusia lebih dari tiga belas tahun yang bisa diseebut tidak lagi kontekstual). Adapun lima alasan dimalsud sebagai berikut:

Pertama, status kelembagaan sudah berubah. Pemerintah Aceh telah meningkatkan status kelembagaan dari BPPPA Aceh menjadi DPPPA Aceh. Perubahan status ini bukan hanya berdampak pada perubahan struktur organisasi melainkan juga tugas pokok dan fungsinya. Oleh sebab itu, agar DPPPA Aceh dapat bergerak lebih progresif maka Qanun PPP itu perlu disesuaikan kembali. Kemendesakan ini relevan juga mengingat keberadaan P2TP2A yang secara spesifik menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pun sudah berubah menjadi UPT PPA, yang diperkuat dengan Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Kekerasan Terhadapa Perempuan dan Anak. DPPPA Aceh sudah berjalan lebih dari lima tahun sedangkan Qanun PPP masih belum ditinjau ulang.

Kedua, persoalan pemberdayaaan dan perlindungan perempuan semakin lama kian kompleks sedangkan pendekatan yang ada saat ini cenderung konvensional. Di sisi lain, tindak kekerasan terhadap perempuan tipologinya kian dinamis dan beragam. Data menunjukkan jumlah dan bentuk kekerasan semakin memprihatinkan sedangkan cakupan pelayanan - dari fenomena gunung es - juga belum memperoleh dukungan yang proporsional. Fokus layanan masih pada penanganan hukum, kasus diselesaikan dan terminasi. Akan tetapi, bagaimana upaya memulihkan dan memberdayakan korban pasca kasusnya dinyatakan selesai, sampai saat ini menjadi persoalan yang kunjung tuntas.

Ketiga, capaian pembangunan dari sisi kesetaraan gender yang justeru mengalami fluktuatif. Indeks Pembangunan Gender (IPG) Aceh memang mengalami kemajuan bahkah sudah berada di atas rata-rata nasional. Pada tahun 2020, IPG Aceh mencapai 92.07 yang lebih baik dari capaian nasional (91.06). Akan tetapi, tidak dengan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Keberadaan IDG ini yang merupakan salah satu jantung perubahan mengapa kelembagaan bernama DPPPA Aceh ini perlu ada, justru menunjukkan trend yang menurun dan masih jauh lebih rendah dibandingkan capaian nasional.

IDG Aceh tahun 2016 (67.40) lebih rendah daripada nasional (71.39), dan turun lagi menjadi 66.28 di tahun 2017 sedangkan nasional naik menjadi 71,74. Pada tahun 2018, IDG Aceh hanya mencapai 66,60 sedangkan nasional terus naik menjadi 72,10. Nah, pada tahun 2019, IDG Aceh turun lagi menjadi 63,31 sedang angka nasional terus melesat pada angka 75,24. Selanjutnya pada tahun 2020 capaian IDG Aceh naik sedikit menjadi 63.47 di tahun 2020 sedangkan angka nasional terus naik menjadi 75,57. Jika dilihat jelas bahwa dalam kurun lima tahun terakhir, perbadingan capaian IDG Aceh dengan rata-rata nasional gap-nya semakin melebar, saat angka nasional trendnya naik, Aceh malah sebaliknya terus menurun.

Jangan lupa, tantangan ke depan bisa dilihat dari indikator kinerja pada Renstra DPPPA Aceh Tahun 2023-2026. Berbeda dengan indikator sebelumnya, dalam masa 2023-2026 tersebut ada lima indikator dimaksud yaitu: Indeks Pembangunan Gender (IPG); Indeks Pemberdayaan Gender (IDG), Indeks Perlindungan Anak (IPA); cakupan perempuan dan anak korban kekerasan yang mendapatkan penanganan; dan Total Fertility Rate (TRF).

Nah, khusus IDG target yang harus dicapai pada akhir periode mencapai 68,51. Target ini sebenarnya tidak muluk-muluk, akan tetapi jika tidak ada upaya serius untuk mencapainya, tidak ada dukungan regulasi yang progresif, apalagi dengan trend capaian IDG yang menurun, maka perlu kerja super ekstra dari DPPPA Aceh untuk mencapai target dimaksud. Di sinilah kemudian menjadi penting, keberadaan Qanun PPP untuk ditinjau kembali agar menjadi bagian memperkuat kebijakan dan strategi dinas ini dalam mencapai target IDG.

Keempat, materi qanun tidak lagi kontekstual. Penulis percaya dan yakni bahwa kesimpulan demikian sudah lama muncul baik internal DPPPA Aceh dan juga pada tataran NGO - gerakan perempuan di Aceh. Qanun yang ada sekarang tidak bisa menjadi peta jalan bagaimana “pemberdayaan dan perlindungan perempuan” digerakkan. Selain itu, terkesan tidak ada hal yang spesifik malainkan lebih banyak mengatur poin-poin yang sebenarnya sudah diatur dalam regulasi yang lebih tinggi (baca: UU). Bahkan rumusannya sangat sederhana dan banyak yang menimbulkan multitafsir di dalam batang tubuh qanun.

Misalnya, pada BAB VII tentang Partisipasi Perempuan alam Kebijakan Publik yang diturunkan ke dalam dua pasal yakni Pasal 22 dan Pasal 23. Dalam Pasal 22 disebutkan pada ayat (1) bahwa perempuan mempunyai hak berpartisipasi penuh dalam setiap proses pembuatan, penentuan dan pelaksanaan kebijakan, sedangkan pada ayat (2) untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perempuan berhak mendapatkan peningkatan kapasitasnya. Selanjutnya, dalam Pasal 23 disebutkan bahwa perempuan berhak mendapatkan akses informasi publik secara transparan dan akuntabel. Jika Bab ini dicermati, sebenarnya tidak ada hal yang spesifik dan tidak jelas wujudnya, selain mengulang ketentuan yang sudah umum berlaku di Indonesia.

Contoh lainnya dalam Pasal 6 bahwa “Hal-hal yang terkait dengan reproduksi dan kodrat, tidak menghalangi perempuan untuk mendapatkan haknya dalam pemberdayaan dan perlindungan perempuan”. Penormaan yang lebih tepat disebut “pernyataan” ini juga dapat dipahami bahwa perempuan-lah yang mestinya harus aktif, bukan Pemerintah! Perempuan dipandang jangan menjadikan reproduksi dan kodrat sebagai penghalang bagi dirinya untuk mendapatkan haknya. Bila direnungkan, logika demikian sesat dan menyesatkan.

Selain itu, hal yang menarik lainnya terkait Ketentuan Penutup dalam Pasal 26 yang menyebutkan bahwa “Hal-hal yang belum diatur dalam qanun ini akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur, setelah mendapat pertimbangan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)”. Apakah penormaan seperti itu masih diperlukan? Tentu ini menjadi unik karena di banyak Qanun Aceh yang lain hal demikian tidak dicantumkan. Karena memang pertimbangan itu bisa diberikan diminta atau pun tanpa permintaan. Posisi MPU bisa pro aktif memberikan pertimbangannya sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Pertimbangan Majelis Permusyawaratan Ulama.

Kelima, perkembangan regulasi baru di tingkat nasional. Regulasi dimaksud seperti UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang membutuhkan pengaturan tingkat lokal sehingga bisa lebih dijalankan. Regulasi lainnya yang dianggap relevan dan bisa menjadi konsideran seperti UU Desa dan UU Penyandang Disabilitas. Selain itu, sejumlah Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri yang baru perlu menjadi acuan seperti Peraturan Menteri PPPA 7 Tahun 2020 tentang Peningkatan Kualitas Keluarga Dalam Pembangunan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011 temtang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah, yang juga menjadi regulasi kunci bagi DPPPA Aceh.

Usulan Materi Baru

Langkah paling tepat dan ditunggu-tunggu adalah dengan segera mencabut Qanun PPP dengan cara mengusulkan rancangan qanun baru sebagai penggantinya. Qann baru dengan tetap mengakomodasikan sebagian kecil rumusan yang mungkin bisa dipertahankan. Jika ini tidak segera dilakukan, maka Pemerintah Kab/Kota di Aceh tetap akan menjadikan qanun ini sebagai rujukan dan mengadopsinya dalam penyusunan regulasi tingkat daerah. Nah, apakah ini akan terus dibiarkan karena di provinsi tidak ada upaya untuk meninjaunya kembali?

Penulis berharap DPPPA Aceh bergerak cepat untuk mensikapi hal ini dengan mengusulkan rancangan qanun baru. Menurut penulis, beberapa poin penting untuk menjadi pertimbangan dalam perumusan materi rancangan qanun baru sebagai berikut:

Pertama, memperjelas pendekatan pemberdayaan dan perlindungan perempuan. Hal ini sangat mendasar sebagai kerangka berpikir bagaimana merancang strategi pembeerdayaan dan perlindungan tersebut dilaksanakan oleh pemangku kepentingan. Selain memastikan “nyambung” dengan Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang sudah diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 1984, perumusan qanun baru harus menggunakan pendekatan yang membangun kesadaran kritis dan membongkar segala bentuk hambatan struktural, kultural, dan seterusnya.

Pemerintah Aceh melalui DPPPA Aceh jangan lagi berhenti pada upaya membuka akses dan partisipasi semata. Akan tetapi, pr kita ke depan bagaimana memastikan kontrol dan manfaat beenar-benar wujud dan dirasakan oleh perempuan, secara adil dan setara. Inilah yang dikenal dengan pendekatan Gender and Development (GAD), yang menjadikan akar masalah ”tidak berdayanya perempuan selama ini bukan karena perempuannya” melainkan ada banyak faktor di luar perempuan yang justeru meminggirkan perempuan. Artinya, bagaimana materi qanun tersebut didesain yang fokusnya pada penghapusan setiap hambatan yang selama ini berlaku diskriminatif terhadap perempuan.

Selanjutnya »     Kedua, pemberdayaan dan perlindungan yan...
Halaman: 1 2 3
Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda