Nasib Perbankan Saat Pandemi Bagaikan Berada di Bibir Jurang
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bahtiar Gayo
Bencana yang melanda dunia, termasuk di dalamnya tanah Pertiwi, telah membawa perubahan pada sendi kehidupan manusia. Tidak ketinggalan dunia perbankan. Bank-bank yang dulunya “gagah” kini loyo, kalau tidak mau dikatakan “sesak nafas”.
Tidak ada kepastian kapan akan berahirnya wabah ini, telah membuat bank-bank bagaikan berada di bibir jurang. Untuk membawa biduk perbankan lepas dari bibir jurang, ketangguhan pihak managerial dalam mengayuh bahtera benar benar diuji. Bila mereka salah perhitungan, jurang terjal siap menanti.
Bagaimana hingar bingarnya perbankan saat ini dan bagaimana pula pendapat sejumlah kalangan menilainya, Dialeksis.com memiliki catatanya. Beragam pendapat bermunculan saat perbankan “kelimpungan”.
Misalnya, pernyataan Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Malikussaleh, Dr H Mohd Heikal, menarik untuk disimak. Dalam sebuah tulisanya Mohd Heikal “menggelitik” perbankan.
Covid-19 merupakan tantangan serius terhadap institusi finansial tak terkecuali industri perbankan. Apakah perbankan bisa survive serta memiliki kemampuan untuk mempertahankan pertumbuhan positif, sehingga perbankan bisa beradaptasi dengan lingkungan bisnis?
Apalagi saat ini memasuki kuartal II 2021, dimana secara nasional yang mengalami kontraksi karena lonjakan kasus Covid-19. Perbankan dihadapkan dengan besarnya biaya pembiayan operasional, sebut akademisi ini.
Peran dan fungsi utama perbankan dalam menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya untuk membiayai kegiatan produksi dan konsumsi, kini akselerasinya menjadi sangat berbeda akibat pandemi, sebutnya.
Perbankan dimasa Covid-19 mengalami perubahan dari perilaku nasabah, seperti penurunan penggunaan uang kas dalam transaksi dan pola belanja melalui platform/aplikasi online, kata Heikal.
Menurut akademisi ini, meningkatnya penggunaan mobile payment disisi lain terkait dengan dukungan dari regulator, juga hal penting untuk membuat perbankan bisa tetap melayani nasabah terkait dengan decision making process , layanan transaksi, cara bekerja, serta keamanan data nasabah.
Kebijakan pemerintah menerapkan PPKM level 3 dan 4 saat ini, membuka berpeluang performa penyaluran pembiayaan yang merupakan core business, serta bagaimana melakukan upaya pengamanan terhadap pembiayaan yang sedang berjalan agar tetap lancar (tidak macet).
Para debitur tidak menghadapi penunggakan dimana tren menunjukkan resiko terhadap pembiayaan juga mengalami peningkatan, maka perbankan harus selektif, sehingga pendapatan bank masih bisa diharapkan. Karena bila pendapatan menurun tentu berimplikasi pada penurunan tingkat bagi hasil.
Secara global, sektor perbankan menghadapi hal yang sama diseluruh dunia. Sehingga kondisi hari ini perbankan diharapkan lebih banyak memainkan peran sosial ketimbang hanya memikirkan keuntungan bagi pemegang saham, kesiapan evaluasi terhadap penanganan resiko finansial, supervisi finansial dengan format baru terkait Covid-19, sebut Heikal.
Berkaitan dengan persoalan ini, industri perbankan harus bisa beradaptasi dan secara jangka panjang mampu bertahan. Pergeseran akibat dari keadaan makroekonomi dan pasar keuangan mengharuskan perbankan cepat melakukan recovery akan dampak ini.
Menurutnya, pergeseran sikap dan perilaku konsumen, perbankan harus mampu mempertahankan kepercayaan nasabah. Melakukan penyesuaian dalam operating model, bagaimana cara bekerja, proses dan etos kerja, dan bagaimana meng-adopsi teknology untuk mendukung digitalisasi.
Perbankan harus lebih kompetitif serta fokus terhadap manajemen resiko, dimana perbankan harus memiliki peta jalan mitigasi resiko keuangan sebagai bagian penting untuk menghindari kegaduhan. Sebagaimana yang pernah terjadi beberapa waktu lalu ketika implementasi qanun LKS, jelasnya.
Bagaimana menurut Rustam Effendi pengamat ekonomi? Dia menilai banyak bank bank yang beroperasi saat ini kelimpungan. Tantangan besar, banyak usaha yang jatuh, kalau dilihat secara sektoral, data ekonomi pertumbuhanya negatif.
Rustam Effendi, menjawab Dialeksis.com, menyebutkan, pandemi telah menghantam bukan lokal dan regional, namun global. Tanaman pangan, perikanan, kelautan, industry pengolahan, kontruksi, air bersih, jasa keuangan, administasi pemerintah dan jasa pemerintaha, semuanya terkena imbas.
Menurut Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK ini, rata-rata semuanya negatif terkontraksi, yang positif adalah pertanian. Dilain sisi selama pandemi ini media sosial, jasa internet tumbuh pesat. Ekonomi disektor ini mengalami pertumbuhan. Namun walau pertumbuhan disektor ini pesat, namun bila dikaji pertumbuhan ekonomi itu negatif.
Dampaknya pihak bank kewalahan dalam soal pembiayan, kemana mau dia berikan pinjaman. Selama ini banyak sumber pembiayaan bank, namun ketika ekonomi ini tidak menggeliat, efeknya kepada bank. Apalagi bank-bank yang mengandalkan sumber pendapatanya dari sektor produksi.
Bank-bank yang aman, jelasnya, selama ini mengandalkan pembiayaan dari sektor konsumtif, seperti memberi pinjaman kepada kepada PNS. Kalau bank yang mengandalkan produktif, saat pandemik ini mereka akan kelimpungan.
Sumber pendapatan bank pada pembiayaan. Kalau dia kumpulkan uang fungsi intermediasi dia mainkan. Dia himpun dari nasabah lalu dia kembalikan uang itu. Atau sebagian dia tetapkan dalam bentuk apalah di bank sentral,” jelasnya.
Pihak bank menyimpanya, dia dapat bunga. Namun, tentunya yang lebih besar pendapatan bank ketika dia pergunakan dalam bentuk pembiayaan. Dia kembalikan kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman. Itu menjadi sumber pendapatan bank, sebut Rustam.
Pendapatan itulah yang menjadikan sumber opersaional bank, untuk pegawai, bayar listrik, ini dan itu. Sudah pasti ketika situasi pendemi, aktifitas mengalami kontraksi, mengalami penciutan mengalami penurunan.
Maka, jelasnya, berimbas pada kegiatan bank. Ototamtis setiap bank, setiap usaha ingin dapat laba. Namun beban dalam situasi pandemi ini tidak mungkin semuanya diefesienkan. Sementara gaji, biaya operasional harus tetap dikeluarkan. Biaya operasional harus tetap ditanggung.
Sementara dilain sisi pendapatan belum pasti. Kebutuhan belanja tetap, sementara pemasukan mengalami penuruan, laba pasti akan menciut. Otamatis sangat berdampak pada bank, mereka menghadapi tantangan besar, jelasnya.
Bank Terancam Likuidasi?
Adakah bank yang terancam likuidasi? Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Halim Alamsyah, mengatakan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tengah menyiapkan berbagai strategi untuk menjaga agar perbankan Indonesia selamat dari gempuran pandemi Virus Corona.
Dalam keteranganya, Halim Alamsyah menyebutkan, jika suatu saat terjadi kesulitan likuiditas maka pihaknya hanya mampu menyelamatkan 4 sampai 5 bank.
"4 hingga 5 bank masih bisa ditangani LPS. Tetapi kalau sudah masuk ke bank besar, atau bank sistemik, saya rasa sudah tidak mungkin LPS punya kemampuan keuangan," ujar Halim.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam sebuah acara yang digelar secara virtual, menyampaikan kondisi perbankan nasional saat ini dalam kondisi stabil didukung dengan likuiditas yang sangat besar. Alat-alat likuid meningkat cukup besar dibandingkan sebelumnya.
Menurutnya, pada 2020 ada Rp2.219 triliun yang Rp1.404 triliun diantaranya dalam bentuk SBN (Surat Berharga Negara) dan penempatan pada Bank Indonesia sebesar Rp554 triliun.
Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh tinggi sebesar 10,57 persen. Pertumbuhan ini di atas kenaikan DPK dalam kondisi normal sebelum pandemi Covid-19 yang rata-rata tumbuh dikisaran enam persen sampai tujuh persen. Sedangkan rasio pinjaman terhadap simpanan atau Loan to Deposit Ratio (LDR) berada di level yang rendah yaitu 82,5 persen.
Bagaimana Dengan Perbankan Aceh?
Aceh telah memberlakukan Lembaga Keuangan Syariah (LKS), bagaimana kondisi perbankan di Provinsi Aceh? Apakah terpuruk atau tidak berpengaruh di masa pandemik?
Yusri, Kepala OJK Aceh menjawab Dialeksis.com menjelaskan, perbankan di Provinsi Aceh sampai dengan Mei 2021 masih terjaga. OJK sebagai regulator pengawasan di sektor jasa keuangan telah mengeluarkan kebijakan stimulus lanjutan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sektor jasa keuangan.
Relaksasi kebijakan prudensial sektor jasa keuangan secara temporer ini diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh. Dijelaskan, sejak pandemi Covid-19 di Provinsi Aceh, aset, kredit/pembiayaan dan dana pihak ketiga perbankan yang beroperasi di Aceh mengalami penurunan.
Aset perbankan yang beroperasi di Aceh, sampai dengan posisi Mei 2021 menurun sebesar 9,93% dari sebesar Rp65,81 triliun. Desember 2019 menjadi sebesar Rp59,87 triliun di Mei 2021.
Kredit/pembiayaan pada bank yang beroperasi Aceh juga menurun sebesar 9,07% dari sebesar Rp38,65 triliun di Desember 2019 menjadi sebesar Rp35,43 triliun di Mei 2021. Dana pihak ketiga pada bank yang beroperasi Aceh juga menurun sebesar 7,51% dari sebesar Rp42,62 triliun di Desember 2019 menjadi sebesar Rp39,65 triliun di Mei 2021.
Menurut Yusri, selama Covid 19belum ada perbankan di Aceh yang mengalami likuidasi atau penghentian operasi. Beberapa bank hanya menyampaikan laporan tutup sementara dalam memberikan layanan selama 3 hari kerja, dikarenakan adanya pegawai yang terkena Covid-19 dalam rangka memutus penularan.
Menurutnya, bank akan bermasalah apabila tidak dikelola dan dimanage dengan baik. Dalam pelaksanaan kegiatan bank harus menerapkan prinsip-prinsip tata kelola dan manajemen risiko secara menyeluruh terhadap segala aspek dengan baik dan maksimal agar tidak menjadi bermasalah dan tetap menjaga eksitensi bisnisnya sebagai lembaga intermediasi.
Ada lima prinsip dasar, jelasnya. Pertama tranparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban independensi dan kewajaran.Dalam rangka menerapkan kelima prinsip dasar tersebut, Bank wajib berpedoman pada berbagai ketentuan dan persyaratan minimum serta pedoman yang terkait dengan pelaksanaan tata kelola.
Pada umumnya, bank akan bermasalah apabila terganggu dari permodalan dan likuiditas. Sehingga penguatan penerapan tata kelola dan manjemen risiko untuk permodalan dan likuiditas menjadi hal yang wajib dan utama bagi bank dalam menjalankan aktivitas bisnisnya, jelasnya.
Agar bank tetap stabil, sebut Yusri, beberapa hal yang harus dilakukan oleh perbankan. Melakukan mitigasi risiko dengan baik atas potensi-potensi risiko yang akan muncul dimasing-masing bank khususnya risiko kredit, risiko operasional dan risiko likuiditas.
Terpenting juga melihat dan mempelajari potensi pasar yang masih dinilai baik dan berpeluang untuk dibiayai dengan melihat prospek bisnis nasabah di masa pandemi dan kedepannya.
Tindakan lainnya melakukan restrukturisasi kredit dan pembiayaan sesuai dengan ketentuan yang ditetetapkan regulator namun dengan tetap melihat kemampuan dan potensi debitur serta secara bertahap membentuk cadangan guna membackup kerugian dimasa datang, jelasnya.
Hangat Qanun LKS
Baru baru ini Aceh juga dihangatkan dengan pemberitaan soal Bank. Juru bicara Partai Aceh, Nurzahri, memberikan statemen soal revisi Qanun LKS. Pernyataan Jubir PA ini juga mendapat reaksi dari pihak lain yang menginginkan di Aceh bukan hanya ada bank Syariah.
Jubir PA, Nurzahri dalam keteranganya menyebutkan, revisi Qanun LKS merupakan upaya mengkerdilkan keistimewaan Aceh. Partai Aceh (PA) dengan tegas menolak wacana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
Seperti dijelaskanya kepada media Serambi Indonesia, Nurzahri menyebutkan, kelemahan perbankan syari'ah bukan alasan untuk menghalalkan riba di bank konven. Solusi yang benar adalah memperbaiki sistem perbankan syariah agar memuaskan nasabah.
Nurzahri menyebutkan, tujuan revisi qanun LKS yang tidak jelas, hingga menyangkut dengan keistimewaan Aceh. Ada tujuan lain dibalik wacana revisi tersebut. Qanun LKS merupakan qanun terlama yang dibahas, mencapai tiga tahun.
Seharusnya, dengan waktu pembahasan yang panjang itu, segala persoalan terkait dengan dampak pemberlakuan Qanun LKS bisa disampaikan. Bukan justru diributkan sekarang, ketika semua lembaga keuangan sudah beralih ke syariah," jelasnya.
Qanun LKS juga merupakan salah satu bentuk keistimewaan Aceh yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Selain itu, spirit atau semangat pemerintahan sendiri (self-governance) di Aceh, salah satunya juga tercermin dari Qanun LKS tersebut.
"Ini sebenarnya salah satu keberhasilan Pemerintah Aceh dalam mewujudkan pemerintahan sendiri melalui Qanun LKS. Merevisi atau dengan kata lain mencabut Qanun LKS, adalah upaya untuk mengkerdilkan atau mendegradasi keistimewaan dan kekhususan Aceh,” sebut Nurzahri.
"Kalau selama ini orang luar yang selalu mencoba mengkerdilkan keistimewaan Aceh, sekarang justru orang Aceh sendiri yang berbuat seperti itu.Membatalkan Qanun LKS, berarti juga termasuk menghalangi upaya mewujudkan pelaksanaan syariat Islam,” jelasnya.
Nurzahri menilai adanya upaya yang sistematis, terstruktur dan massif untuk mencabut Qanun LKS. Beberapa partai bahkan mulai menggalang kekuatan. Ada pemodal besar dibalik upaya tersebut. Atas dasar itulah, Partai Aceh akan pasang badan, menolak secara tegas revisi qanun.
Menurutnya, perjuangan itu sepertinya bakal berat, apalagi Pemerintah Aceh saat ini, juga condong ingin agar qanun itu direvisi alias dicabut. Oleh sebab itu, pihaknya berharap dukungan dari seluruh rakyat dan dari para ulama, agar Partai Aceh mampu mempertahankan Qanun LKS.
Karena Qanun LKS merupakan salah satu bentuk keistimewaan yang dimiliki Aceh dan merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan syariat Islam secara kaffah di Bumi Serambi Mekkah.
Pernyataan Nurzahri mendapat tanggapan dari pihak lainya. Forum Diskusi Publik “Quo Vadis Aceh Dalam Sistem Ekonomi Nasional dan Global oleh www.sagoe.id”. Peserta forum ini menjawab soal upaya mengkerdilkan keistimewaan Aceh.
Kesimpulan peserta diskusi publik ini, soal mengkerdilkan keistimewaan Aceh adalah tidak benar dan sangat keliru. Menurut forum ini, ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi terkait pernyataan tersebut.
Kegiatan diskusi publik tersebut adalah forum diskusi akademik yang diinisiasi bersama oleh beberapa warga Aceh, baik yang berada di Aceh, di luar Aceh dan di luar negara melalui Sagoe.id yang sangat concern dengan persoalan kontekstual yang sedang terjadi di Aceh.
Tterutama terkait dengan dampak dari pemberlakuan Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai salah satu produk kebijakan publik. Dalam perspektif akademik, diskusi tersebut membahas beragam perspektif.
Dari perspektif agama, bisnis, ilmu ekonomi (kebijakan makro), dan aspek hukum oleh para pembicara dengan latar belakang beragam yang kemudian ditanggapi dengan pelbagai pandangan oleh peserta diskusi. Demikian tulis Sagoe.id.
Kegiatan ini adalah sebuah signal dan indikator yang baik dalam melihat kepedulian masyarakat terhadap kualitas sebuah produk kebijakan publik seperti Qanun, yang memiliki dampak langsung kepada hajat hidup orang banyak.
Tidak benar dan sangat keliru, jika dicurigai ada pemodal yang membiayai kegiatan ini. Seluruh biaya yang dikeluarkan dari kegiatan diskusi tersebut dibiayai “meuripee” dengan “spirit keacehan” oleh Sagoe.id, secara sukarela (volunteer) yang ditujukan untuk kemaslahatan Aceh.
Menurutnya, pernyataan upaya pengkerdilan Keistimewaan Aceh sangat keliru. Karena salah satu point yang didiskusikan adalah untuk menempatkan posisi Qanun LKS sesuai dengan amanat Undang Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, terutama Pasal 196.
Hal ini dikaitkan dengan posisi Aceh dalam konstelasi kebijakan moneter nasional dan global. Dikaitkan dengan kewenangan Aceh untuk menetapkan tingkat suku bunga dan perwakilan Bank Internasional, sesuai ketentuan peraturan dan perundang-undangan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh dan mengurangi angka kemiskinan sesuai tuntunan Syariat.
Tidak benar jika disebutkan bahwa opsi “dual banking System” terkait dengan sistem penyediaan jasa perbankan dalam sebuah sistem keuangan sebagai pilihan yang bertentangan dengan “keistimewaan/kekhususan Aceh” atau prinsip “self governance”.
Karena menjaga posisi dan kondisi ekonomi Aceh dalam konstelasi nasional dan global adalah wujud dari “keistimewaan Aceh” untuk terus melakukan inovasi terhadap kebijakan ekonomi melalui sistem jasa perbankan secara lebih luas dan berkelanjutan dalam konteks saat ini.
Hal ini patut menjadi pertimbangan dan catatan penting, untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Aceh dalam koridor “jalan Syariat” untuk mencapai visi kemaslahatan dan mensejajarkan proses pembangunan di Aceh sejajar dengan provinsi lainnya di Indonesia setelah didera konflik panjang.
Saat ini, secara “best practice” dalam aspek implementasi kebijakan publik, opsi single banking dalam penyediaan jasa keuangan dan perbankan hanya diadopsi oleh negara Republik Islam Iran yang memiliki kontekstual kondisi yang berbeda dengan Aceh.
Mayoritas negara muslim (Saudi Arabia dan Negara Timur Tengah, termasuk negara ASEAN) mengimplementasikan pendekatan “dual banking system” dengan pertimbangan konstelasi kondisi kontekstual di level tatanan ekonomi global.
Dipastikan kegiatan diskusi ini adalah forum diskusi yang berjuang untuk membumikan nilai-nilai syariat dalam kebijakan publik yang berkualitas, sebagai “perwujudan Keistimewaan Aceh” dan mendorong implementasi Qanun LKS untuk mencapai visi Maqashid Syariah yang bernafaskan nilai-nilai keadilan untuk Aceh yang lebih maslahah.
Dalam tulisan di Saoge.Id disampaikan beberapa poin klarifikasi untuk dapat dipahami secara lebih utuh. Untuk menghindari kesalahpahaman/perbedaan tafsir pandangan dalam ruang klarifikasi yang terbatas ini,.
Tulisan itu juga menyampaikan undangan secara terbuka kepada Pak Nurzahri dan Bapak/Ibu di DPR Aceh untuk melakukan diskusi lebih lanjut yang akan diinisiasi oleh Sagoe.ID.
“Kami yakin dan percaya visi kita bersama adalah untuk kemaslahatan Aceh yang lebih baik di masa yang akan datang sesuai peunutoh orang tua kita “Putoh Ngon Pakat Kuat Ngon Meuseuraya” untuk Aceh kita bersama yang lebih baik. Demikian tulisan Saoge Id. Dimana mereka sebagai inisiasi forum diskusi itu.
Praha pandemi yang melanda negeri ini sudah merasuk seluruh sisi kehidupan. Termasuk dunia perbankan yang kini ramai menjadi perhatian. Perbankan bagaikan berada di bibir jurang, ketika manusia berhadapan dengan wabah.
Sementara di Aceh riuh soal perbankan juga bagaikan tidak ada hentinya. Penerapan Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) telah melahirkan beragam keinginan. Ada perbedaan pandangan.
Bagaimana alunan biduk perbankan ini kedepanya, disaat nakhoda sedang berhadapan dengan Corona? Kita Tunggu bagaimana kelanjutan sejarah perbankan di negeri ini **** Bahtiar Gayo