Menyimak Pro dan Kontra Revisi UU Kesehatan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bahtiar Gayo
Ilustrasi pro dan kontra pengesahan RUU Kesehatan menjadi Undang-Undang. [Foto: Yavdat/Shutterstock]
DIALEKSIS.COM | Indepth - Mungkin terlalu nyaman dengan produk hukum yang membuat mereka berkuasa, banyak pihak yang keberatan bila pemerintah merevisi UU Kedokteran. RUU yang sudah disahkan DPR RI disambut pro dan kontra.
Mereka yang tidak menginginkan UU Kedokteran direvisi memberikan penilaian, agar keselamatan pasien di seluruh Indonesia tetap terjaga dengan baik dan dunia internasional percaya bahwa Indonesia mengikuti cara yang universal dalam dunia kedokteran.
RUU Kesehatan dinilai berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terkait organisasi keprofesian baik kedokteran, kedokteran gigi, keperawatan, kebidanan, dan apoteker.
Sebab menurut mereka dalam RUU ini, sembilan undang-undang yang terkait keprofesian dan kesehatan dihilangkan. Organisasi Profesi (OP) menilai penghapusan undang-undang yang secara khusus atau lex specialis mengatur tentang keprofesian itu akan berdampak pada kepastian hukum profesi.
Namun bagi mereka yang menginginkan RUU Kesehatan disahkan menjadi UU memberikan penilaian, UU ini justru memberikan pelindungan hukum menjadi lebih baik. Menolak RUU akan mengembalikan pasal-pasal terkait hukum yang ada seperti dulu, terbukti membuat banyak masalah hukum bagi para dokter dan tenaga kesehatan.
Bahkan ada yang memberikan penilaian, selama ini organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dinilai terlalu memonopoli dalam dunia kesehatan nasional dari hulu sampai ke hilir. Mulai dari pembentukan kolegium kedokteran hingga menerbitkan surat izin praktik hanya bisa dilakukan oleh IDI. RUU Kesehatan diharapkan bisa mengembalikan tugas itu ke negara.
Bahkan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menyebutkan, pemerintah mencatat Indonesia kehilangan devisa triliunan rupiah karena terdapat dua juta masyarakat berobat ke luar negeri setiap tahun.
Menurut Yasonna, revisi UU tentang Kedokteran diperlukan untuk penguatan sistem kedokteran agar lebih baik dalam memberi pelayanan kepada masyarakat.
Bagaimana pandangan mereka terhadap RUU Kedokteran yang kini sudah disahkan DPR RI menjadi UU Kesehatan. Kalau UU jauh lebih bagus untuk kesejahteraan rakyat, mengapa timbul pro dan kontra?
Kontra
Mereka yang keberatan dilakukan revisi UU Kedokteran meminta DPR sebelum mengesahkan UU ini untuk menghentikan rencana revisi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Organisasi Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) misalnya jauh-jauh hari sudah menyatakan keberatannya dan menyampaikan aspirasinya ke DPR RI. KKI pada Agustus 2022 lalu sudah meminta bantuan kepada Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, untuk menghentikan rencana revisi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Perwakilan Prof Bambang Supriyatno, Menaldi Rasmin, Adriyati Rafli, I Putu Suprapta, Tini Hadad, Prof Roesje Oewen dan Moestar Moeslim Taher menyampaikan aspirasinya, mengapa mereka menolak disahkan UU Kedokteran yang dibahas DPR RI.
Menurut Menaldi Rasmin menerangkan, ia dan rekan-rekannya merupakan mantan anggota KKI 3 masa bakti 2005-2009, 2009-2014 dan 2014-2020.
"Kenapa harus dihentikan, agar keselamatan pasien di seluruh Indonesia tetap terjaga dengan baik dan dunia internasional percaya bahwa Indonesia mengikuti cara yang universal dalam dunia kedokteran untuk menjaga keselamatan kesehatan masyarakat dan pasien khususnya," kata Menaldi, seperti dilansir dpd.co.id.
Menurutnya, KKI sangat prihatin dengan rencana revisi undang-undang tersebut. Sebab, undang-undang ini telah membuat KKI diterima menjadi anggota International Association of Medical Regulatory Authorities (IAMRA) di Kanada pada tahun 2012.
Menaldi juga menjelaskan jika pada tahun 2012, KKI dipercaya WHO sebagai penyelenggara pertemuan Konsil negara-negara South Asia Region of WHO. KKI juga dijadikan rujukan oleh beberapa konsil kedokteran beberapa negara di Asia untuk studi banding tentang pelayanan kesehatan di negara dengan penduduk dan wilayah yang cukup luas.
"UU ini juga telah memberi kesatuan pemikiran dan sikap bersama antara KKI dengan Kemenkes, Kemendikbud dan kementerian terkait regulasi tentang standar pendidikan, standar kompetensi, standar Fakultas Kedokteran, produksi, program internsip (pemandirian), distribusi, jenjang karir dan kepastian keselamatan pasien dalam praktik kedokteran," katanya.
Sementara Bambang Supriyatno menambahkan, jika undang-undang ini diubah dampaknya pasti akan dirasakan oleh masyarakat. Sebab ada satu hal krusial dimana intisari dari undang-undang tersebut menyatakan bahwa organisasi profesi kedokteran adalah IDI untuk dokter dan IDGI untuk dokter gigi.
"Kalau undang-undang ini diubah, lalu bermunculan banyak organisasi profesi dokter, bisa berbahaya," kata Bambang.
Ia mencontohkan ketika terjadi malpraktik. Jika ada banyak organisasi profesi dokter, maka dokter yang melakukan malpraktik bisa berpindah dari satu organisasi ke organisasi yang lainnya.
"Kalau pada saat dia melakukan malpraktik di organisasi IDI A misalnya, nanti dia tinggal pindah ke IDI B. Kalau ada kesalahan lagi di IDI B, dia tinggal pindah ke IDI C," kata Bambang.
Juga tentang standar pengobatan, Bambang menilai akan terjadi kerancuan. Misalnya, di organisasi A untuk standar pengobatan penyakit tipus harus menggunakan infus, rawat inap dan obat antibiotik. Lalu di organisasi B tak perlu rawat jalan, tak menggunakan infus dan hal lain yang berbeda dari metode organisasi A.
"Lalu saat rawat jalan pasien meninggal. Terjadi sengketa di pengadilan. Lalu standar mana yang harus kita gunakan. Dokter tersebut merasa benar karena di organisasinya sudah sesuai standar. Sementara menurut ahli dari organisasi lain, prosedurnya salah. Akan terjadi polemik dan ujung-ujungnya masyarakat yang dirugikan," tutur dia.
Demikian juga dengan standar pendidikan. Jika masing-masing organisasi memiliki standar berbeda dan lulusannya menyebar di rumah-rumah sakit di seluruh Indonesia, maka akan timbul masalah besar.
"Karena standarnya tidak sama. Dalam menangani pasien tentu akan timbul masalah dan lagi-lagi, masyarakat yang dirugikan," kata Bambang.
Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia menolak pengaturan tenaga medis dalam Rancangan Undang-Undang Tenaga Kesehatan yang sedang dibahas Komisi IX DPR. Tenaga medis yang terdiri dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis sudah diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Sementara itu, Zaenal Abidin, Ketua Umum IDI, mengatakan, penolakan itu bukan berarti IDI dan PDGI sebagai organisasi profesi menolak keberadaan RUU Tenaga Kesehatan. RUU itu adalah amanat Pasal 21 Ayat 3 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
"Namun, bagian penjelasan pasal itu secara jelas menegaskan, tenaga kesehatan yang diatur dalam RUU itu adalah selain tenaga medis," ujarnya.
Pembahasan RUU itu juga terkesan tertutup, tanpa melibatkan organisasi profesi medis ataupun kesehatan serta Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang secara langsung akan terkena dampak dari RUU itu. Pengaturan tenaga kesehatan yang dinaungi organisasi-organisasi itu otomatis akan berdampak langsung kepada masyarakat sebagai penerima layanan kesehatan.
"IDI, PDGI, PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia), IBI (Ikatan Bidan Indonesia), IAI (Ikatan Apoteker Indonesia), dan KKI perlu dilibatkan dalam pembahasan RUU Tenaga Kesehatan," kata Wakil Ketua Umum PDGI Hananto Seno. Karena itu, IDI dan PDGI mendesak agar pengesahan RUU itu ditunda, menunggu pembahasan oleh DPR periode berikut.
Mereka yang menolak memberikan penilaian, banyak kerancuan. Karena pengaturan semua tenaga kesehatan disatukan, potensi bertentangan dengan UU yang ada, seperti UU Kesehatan dan UU Praktik Kedokteran, amat besar.
"Kewenangan tenaga medis, paramedis, atau tenaga kesehatan itu berbeda. Jika digabung, menimbulkan kerancuan," kata Seno.
RUU Tenaga Kesehatan mengelompokkan tenaga kesehatan dalam 13 jenis, termasuk tenaga medis. Tenaga lain di antaranya tenaga psikologi klinis, keperawatan, kebidanan, kefarmasian, kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, dan gizi. Selain itu ada tenaga keterapian fisik, keteknisian medis, teknik biomedika, kesehatan tradisional, dan tenaga kesehatan lain.
Anggota KKI Wakil Tokoh Masyarakat lain, Indah Suksmaningsih, mengingatkan, penggabungan berbagai tenaga kesehatan akan menyamakan tenaga kesehatan tradisional dengan tenaga medis. Tak adanya pembedaan jelas membuat tenaga pijat kesehatan dan tenaga pijat untuk aborsi sulit dibedakan. Demikian pula antara tukang gigi dan praktik dokter gigi.
"Itu jelas merugikan masyarakat penerima layanan kesehatan," katanya.
Menurut Zaenal, ada beberapa kerancuan lain dalam draf RUU Tenaga Kesehatan. RUU mengatur uji kompetensi bagi semua tenaga kesehatan dengan mengadopsi sistem uji kompetensi yang berlaku bagi tenaga medis, perawat, bidan, dan apoteker. Uji kompetensi itu diselenggarakan organisasi profesi tiap-tiap tenaga kesehatan.
Padahal, tak semua tenaga kesehatan bisa dikategorikan sebagai profesi, seperti tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan. Profesi diidentikkan dengan pekerjaan yang memiliki kode etik, memiliki asosiasi profesi yang mengatur dan menegakkan etika profesi, serta butuh sertifikasi khusus untuk menjalankan profesi.
Draf RUU juga mengatur soal praktik tenaga kesehatan, tetapi tak ada penjelasan yang dimaksud dengan praktik. Padahal, praktik kerja tenaga medis dengan tenaga kesehatan tertentu, seperti tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku atau tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tentu berbeda.
Selama ini, yang menjalankan praktik hanya tenaga medis. Sebagian tenaga kesehatan, seperti perawat dan bidan, menjalankan praktik mandiri, tetapi kewenangannya terbatas. Untuk membuka praktik, mereka butuh izin praktik, sertifikat kompetensi dari organisasi profesi, serta berbagai prasyarat lain untuk bisa membuka praktik.
RUU juga mengatur rahasia kesehatan penerima pelayanan kesehatan. Ini sulit diwujudkan jika kerja tenaga kesehatan itu bersifat promosi kesehatan. Masalah lain, RUU itu juga akan mengeliminasi peran KKI dan memasukkannya sebagai bagian dari Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.
Para dokter dan Nakes yang melakukan demo ke DPR RI juga menyampaikan aspirasinya. Mereka menilai RUU Kesehatan dinilai berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terkait organisasi keprofesian baik kedokteran, kedokteran gigi, keperawatan, kebidanan, dan apoteker.
Sebab menurut mereka dalam RUU ini, sembilan undang-undang yang terkait keprofesian dan kesehatan dihilangkan. OP (Organisasi Profesi) menilai penghapusan undang-undang yang secara khusus atau lex specialis mengatur tentang keprofesian itu akan berdampak pada kepastian hukum profesi.
Kedua, OP menganggap RUU 'Sapu Jagat' itu telah menghapuskan anggaran pembiayaan nakes yang sebelumnya sebesar 10 persen tertuang dalam APBN dan APBD.
Ketiga, OP mengatakan pasal terkait aborsi dalam RUU Kesehatan dapat berpotensi meningkatkan angka kematian. Sebelumnya, pasal aborsi mengatur maksimal 8 minggu. Akan tetapi, dalam RUU ini aborsi diperbolehkan hingga 14 minggu.
Keempat, OP juga menilai pembahasan RUU Kesehatan terkesan terburu-buru alias dikebut untuk disahkan. Kelima, mereka menyebut dalam penyusunan hingga pembahasan, lima OP sebagai pemangku kepentingan tidak dilibatkan. Bahkan menurut mereka cenderung tak didengar.
Keenam, OP juga menyoroti Pasal 235 RUU Kesehatan yang disebut memperbolehkan dokter asing untuk berkarya di rumah sakit Indonesia. OP menilai 'impor' tenaga kesehatan asing dapat berisiko terhadap pelayanan kesehatan masyarakat.
Selanjutnya » Mengapa Harus Disahkan UU Kesehatan?Mere...