kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Kisah Penyandang Disabilitas Berjuang ke Parlemen

Kisah Penyandang Disabilitas Berjuang ke Parlemen

Rabu, 27 Desember 2023 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Zulkarnaini

(Foto: Dok Hamdanil)


DIALEKSIS.COM | Indepth - Di tengah terik matahari yang menyengat, sebuah rumah sederhana berdiri di pinggir jalan. Rumah itu berukuran 6x10 meter persegi, dengan halaman yang tertata rapi.

Di depan pintu, seorang pria berbaju kaos hitam sedang asyik berbincang dengan istrinya. Rabu, 15 November 2023. Pria itu bernama Hamdanil, seorang penyandang tunanetra yang memiliki semangat dan dedikasi tinggi.

Hamdanil, Ketua Persatuan Penyandang Disabiltas Indonesia (PPDI) Provinsi Aceh. [Foto: Dialeksis/Zulkarnaini]

Meskipun menghadapi keterbatasan penglihatan, Hamdanil tidak pernah menyerah pada mimpi dan aspirasinya. Memori masa lalu mencatat bahwa pada Pemilihan Umum Legislatif tahun 2019, dia mencalonkan diri sebagai Calon Legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Kota Banda Aceh lewat Partai Bulan Bintang (PBB).

Dengan semangatnya yang membara, Hamdanil tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mewakili suara dan kebutuhan komunitasnya.

Dalam wawancara di ruang tamu rumah kontrakannya yang berukuran 3x4 meter, suasana hangat terasa di udara. Hamdanil bercerita pengalamannya mengikuti pesta demokrasi untuk memperjuangkan perubahan positif untuk warga dan disabilitas di Banda Aceh.

Pada Pemilu 2019 lalu, pria berusia 53 tahun itu, duduk pada nomor urut 2 dari PBB untuk mewakili daerah pemilihan Kecamatan Banda Raya dan Jaya Baru, Kota Banda Aceh.

Dia mengaku punya modal finansial terbatas, Hamdanil dan istrinya yang non disabilitas berusaha memasang sepanduk di berbagai sudut strategis di daerah pemilihan Kecamatan Banda Raya dan Jaya Baru, Kota Banda Aceh.

Dengan hati yang penuh tekad, Hamdanil yang selalu ditemani istrinya bertemu langsung dengan warga. Dalam pertemuan-pertemuan pasangan ini berbicara tentang rencana konkrit dan solusi untuk pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Ia mengajak warga untuk bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik, mengejar cita-cita bersama demi keadilan dan kesejahteraan bersama.

Tantangan besar yang dihadapi mantan guru Sekolah Luar Biasa (SLB) Yayasan Bina Upaya Kesejahteraan Para Cacat (BUKESRA) di Gampong Doy Ulee Kareng Banda Aceh bukan hanya terletak pada keterbatasan fisiknya, tetapi juga persepsi masyarakat yang seringkali merendahkan dan meremehkan potensinya.

Pandangan penyandang disabilitas seolah orang "sakit" dan tidak mampu berbuat apa-apa adalah hambatan dalam membangun dukungan masyarakat. “Kami dianggap orang sakit, karena kekurangan secara fisik tidak mampu bekerja,” katanya.

Dalam menghadapi realitas ini, Hamdanil berusaha dengan keras untuk mengubah pandangan masyarakat.

Dia tak hanya menyampaikan visi dan misi politik, tetapi juga berupaya membuka mata masyarakat potensi yang dimiliki oleh setiap individu, termasuk penyandang disabilitas.

"Sampai saat ini kami masih mendengar ucapan warga, penyandang disabilitas ini orang sakit tidak mungkin mampu bekerja sebagai anggota dewan," ujar Hamdanil kepada media ini.

Meski begitu, Hamdanil tidak surut merangkul masyarakat, menyadarkan bahwa setiap individu memiliki hak dan kapasitas untuk berkontribusi dalam pembangunan.

"Walaupun saat ini (2024) tidak mencalonkan lagi sebagai Caleg saya aktif menyuarakan hak-hak disabilitas setiap forum resmi," kata pria yang saat ini masih menjabat sebagai Ketua Persatuan Penyandang Disabiltas Indonesia (PPDI) Provinsi Aceh.


Langkah ini diharapkan dapat membuka mata masyarakat, meruntuhkan prasangka, dan menciptakan pemahaman yang lebih dalam tentang potensi dan kemampuan penyandang disabilitas.

Harapannya, melalui perjuangan Hamdanil, masyarakat dapat melihatnya bukan hanya sebagai penyandang tunanetra, tetapi sebagai pemimpin yang mampu membawa perubahan positif bagi warga Kota Banda Aceh.

Mengatasi pandangan negatif ini, perjuangan Hamdanil tidak hanya tentang politik, tetapi juga tentang membangun kesadaran dan inklusivitas dalam masyarakat.

Meskipun menghadapi tantangan ganda sebagai penyandang tunanetra, Hamdanil berhasil meraih dukungan dari masyarakat, dan pada akhirnya memperoleh sebanyak 400 suara.

Namun, meskipun mendapat dukungan 400 suara tersebut tidak cukup untuk membawanya ke kursi legislatif.

Perjalanan pria yang suka mengamati dunia politik bukanlah kegagalan, melainkan sebuah perjuangan membuka mata banyak orang terhadap potensi dan kemampuan penyandang tunanetra dalam berkontribusi pada dunia politik.

Pada akhirnya, tidak terpilih sebagai caleg, perjalanan Hamdanil tetap menjadi inspirasi bagi banyak orang. Hasil pemilu mungkin tidak selalu mencerminkan kemenangan mutlak, tetapi semangat, keberanian, dan keinginan untuk memberikan suara pada suatu perubahan telah membuahkan hasil dalam meraih dukungan masyarakat.

Selanjutnya »     Penyandang disabilitas di Aceh tidak mau...
Halaman: 1 2 3 4 5
Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda