Rabu, 23 Juli 2025
Beranda / Gaya Hidup / Peusijuek Warung Lampoh Kemang: Menyemai Rasa, Meneguhkan Persaudaraan Aceh-Betawi

Peusijuek Warung Lampoh Kemang: Menyemai Rasa, Meneguhkan Persaudaraan Aceh-Betawi

Selasa, 22 Juli 2025 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Peletakan batu pertama Warung Lampoh Kemang. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Aroma kopi Aceh menyeruak perlahan di antara sapaan hangat dan senyum persaudaraan. Senin pagi itu, 21 Juli 2025, sebuah upacara sederhana namun sarat makna digelar di Jalan Kemang Utara No. 34, Jakarta Selatan. Di tempat itulah peletakan batu pertama Warung Lampoh dilangsungkan, diawali dengan ritual adat Aceh: peusijuek.

Ritual itu dilakukan dalam suasana hening, seolah waktu melambat. Di tengah hiruk-pikuk ibu kota, acara ini menjadi oase menawarkan sejumput spiritualitas di balik aroma bisnis kuliner.

"Peusijuek bukan hanya tradisi, tapi doa yang diikatkan dalam air. Ia menyejukkan hati, membersihkan niat, dan mengundang berkah," ucap Ustadz Teungku Sufi yang memimpin prosesi tersebut. Ia menabur air daun dengan ramuan khusus ke tangan dan kepala para penggagas usaha, menyelipkan harap pada tiap tetes yang jatuh.

Acara tersebut menjadi ruang temu antara dua kebudayaan besar: Aceh dan Betawi. Bukan hal baru. Persentuhan keduanya sudah terjalin sejak ratusan tahun lalu, melalui perdagangan, pernikahan, dan pertukaran gagasan di pelabuhan-pelabuhan Nusantara.

"Yang kami rayakan hari ini bukan hanya sebuah warung kopi. Ini perjumpaan sejarah, yang kini kembali dituturkan lewat rasa," kata J. Kamal Farza, Ketua Sahabat Kuliner Aceh, dalam sambutannya.

Kamal, yang dikenal sebagai pegiat diplomasi kuliner Aceh, menyebut Warung Lampoh sebagai panggung kecil bagi narasi besar tentang integrasi budaya. "Dulu kita satu nusantara dalam pelabuhan. Kini, kita satu meja dalam sepiring mie Aceh dan secangkir kopi Gayo."

Sejumlah tokoh dari berbagai latar belakang hadir dalam acara itu, dari kalangan militer, kepolisian, birokrasi lokal, hingga budayawan dan ulama. Di antaranya Widjanarko Puspoyo, mantan Dirut Perum Bulog; Kombes Erlin Tangjaya dari Bareskrim Polri; tokoh - tokoh Betawi seperti Haji Ali dan Haji Hasan; hingga Brigjen TNI Azhar dan Dr. Adli Abdullah.

Kehadiran mereka tak sekadar formalitas. Mereka datang sebagai saksi dan penyambung nilai: bahwa makanan, seperti halnya doa, bisa menjadi alat pemersatu.

Munawar Yusba, Direktur Operasional Warung Lampoh, menyebut bahwa penerimaan kuliner Aceh di Jakarta adalah pertanda baik. “Kami ingin Lampoh menjadi rumah kuliner, bukan sekadar tempat makan. Tempat di mana orang-orang bisa datang bukan hanya karena lapar, tetapi karena ingin pulang,” ujarnya.

Adapun Komisaris Utama PT Lampoh Kongsi Utama, Teuku Ismuhadi Jafar Peusangan, menyebut kehadiran warung ini sebagai bentuk ekspresi budaya. 

“Kami tidak menjual nama Aceh untuk tren. Kami hadir dengan rasa, dengan identitas, dan dengan keyakinan bahwa warisan kuliner ini harus hidup dan berkembang.” ucap Teuku Ismuhadi.

Warung Lampoh sendiri dirancang dalam konsep minimalis nan bersahaja. Dinding putih, meja kayu, dan cahaya hangat menciptakan suasana akrab cocok untuk bekerja, berbincang, atau sekadar bersantai.

Di dapurnya, beberapa menu telah disiapkan untuk menjadi andalan: mie Bangladesh, bihun goreng Aceh, kopi robusta dan arabika Gayo, serta pisang goreng cokelat keju yang renyah dan lembut.

Warung ini bukan satu-satunya. Lampoh telah hadir pula di beberapa titik Jakarta, seperti di Vittoria Residence, Pamulang, BSD, dan Bintaro. Namun cabang di Kemang ini dianggap paling strategis, karena berada di jantung Jakarta Selatan tempat budaya urban dan tradisi berkelindan.

Prosesi peusijuek hari itu menjadi lebih dari sekadar simbol. Ia adalah bentuk pengakuan akan pentingnya ruang yang tidak hanya menjual produk, tapi juga menjual makna. Makna tentang betapa makanan bisa menjadi jembatan. Tentang bagaimana sebuah usaha kecil bisa menjadi titik temu nilai-nilai besar: rasa, persaudaraan, dan penghormatan terhadap akar budaya.

Warung Lampoh berdiri bukan hanya untuk menghidangkan kuliner khas Aceh, tapi juga sebagai pengingat bahwa keberagaman adalah kekuatan, dan rasa adalah bahasa yang tak perlu diterjemahkan. [arn]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI