DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemerintah menargetkan sebanyak 18 proyek hilirisasi lintas sektor dapat mulai berjalan pada 2026. Salah satu proyek yang masuk dalam daftar adalah industri Chlor Alkali Plant (garam) di Aceh, dengan nilai investasi mencapai Rp16 triliun dan potensi membuka 33.000 lapangan kerja.
Menanggapi rencana tersebut, Prof. Dr. Ir. Agussabti, M.Si., IPU, Guru Besar sekaligus Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Syiah Kuala, menyambut baik langkah pemerintah. Namun, ia mengingatkan agar proyek tersebut tidak berhenti sebagai mega proyek tanpa makna.
“Aceh tidak boleh hanya menjadi lokasi investasi, tapi harus menjadi bagian dari rantai nilai industri. Jangan sampai proyek ini hanya meninggalkan plakat peresmian tanpa nilai tambah bagi masyarakat,” kata Agussabti kepada Dialeksis, Sabtu, 8 November 2025.
Agussabti menilai hilirisasi industri garam di Aceh bisa menjadi momentum penting untuk memperkuat transformasi ekonomi daerah. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada keterpaduan antara pemerintah, perguruan tinggi, dan dunia usaha.
“Hilirisasi bukan sekadar soal pabrik, tetapi juga soal manusia dan ilmu pengetahuan. Perguruan tinggi bisa menjadi mitra dalam menyiapkan tenaga ahli, riset, dan inovasi teknologi,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah daerah perlu memastikan proyek ini memberi ruang bagi transfer teknologi dan pengembangan sumber daya manusia lokal agar manfaat ekonomi tidak hanya dinikmati investor besar.
“Kalau hanya mengandalkan tenaga luar daerah, maka nilai tambahnya akan keluar dari Aceh,” katanya.
Selain itu, Agussabti menyoroti pentingnya perluasan dampak ekonomi proyek terhadap masyarakat kecil. Ia menegaskan bahwa keberadaan industri hilirisasi seharusnya tidak hanya menciptakan lapangan kerja formal di pabrik, tetapi juga membuka peluang usaha baru di sekitar kawasan industri, seperti penyediaan bahan baku lokal, jasa logistik, warung, transportasi, serta koperasi masyarakat.
“Ketika rantai nilai ekonomi ini bergerak sampai ke tingkat bawah, masyarakat kecil akan ikut menikmati hasilnya. Inilah bentuk nyata hilirisasi yang menumbuhkan kesejahteraan bersama, bukan hanya pertumbuhan angka investasi,” tambahnya.
Prof. Agussabti juga mengingatkan agar pemerintah tidak mengulangi pola proyek besar sebelumnya yang berakhir tanpa hasil karena lemahnya perencanaan sosial dan ekonomi.
“Banyak proyek gagal karena hanya fokus pada pembangunan fisik tanpa membangun ekosistem industri. Harus ada pengawasan, akuntabilitas, dan keterlibatan publik agar dana triliunan rupiah tidak sia-sia,” ujarnya.
Ia menilai, proyek hilirisasi harus memiliki peta jalan keberlanjutan yang menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tanpa itu, proyek berisiko menimbulkan dampak ekologis dan sosial yang justru menghambat pertumbuhan jangka panjang.
Agussabti menekankan bahwa kehadiran proyek Chlor Alkali Plant seharusnya menjadi lompatan struktural bagi ekonomi Aceh, bukan hanya simbol investasi.
“Ini momentum Aceh untuk keluar dari ketergantungan pada sektor konsumsi dan bantuan. Tapi keberhasilan itu sangat bergantung pada tata kelola yang transparan dan visi jangka panjang,” katanya.
Ia menegaskan, pemerintah harus memastikan hilirisasi tidak berhenti pada jargon pembangunan, melainkan menjadi proses berkelanjutan yang menumbuhkan industri lokal, membuka lapangan kerja berkualitas, dan memperkuat daya saing daerah.
“Kalau proyek ini dijalankan dengan visi jangka panjang, ia bisa menjadi warisan ekonomi bagi generasi Aceh berikutnya. Tapi jika hanya jadi proyek seremonial, maka kegagalannya akan mahal dibayar,” pungkas calon Rektor USK periode 2026-2031 mendatang.