kip lhok
Beranda / Ekonomi / Polemik Qanun LKS, Peneliti Jafar: Akibat Gagal Paham Qanun

Polemik Qanun LKS, Peneliti Jafar: Akibat Gagal Paham Qanun

Minggu, 28 Mei 2023 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : pondek

Peneliti keberagaman dan sosial politik Aceh, Teuku Muhammad Jafar Sulaiman. Foto: ist


DIALEKSIS.COM | Aceh - Pemerintah Aceh berencana melakukan revisi terhadap Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki sebelumnya sudah bersurat ke DPR Aceh pada 26 Oktober 2022 lalu. Pihak DPR Aceh sendiri mendukung revisi Qanun tersebut.

Sebagaimana dinyatakan Ketua DPR Aceh, Saiful Bahri atau akrab disapa Pon Yaya "Qanun LKS merupakan produk Pemerintah Aceh dan DPRA yang telah melalui berbagai proses hingga disahkan dan diberlakukan di Aceh, tetapi di perjalanan waktu, terdapat beberapa kelemahan dalam implementasi dan kebijakan dari produk hukum tersebut sehingga tidak salah juga apabila DPRA dan Pemerintah Aceh kemudian berinisiatif untuk melakukan beberapa perubahan demi kesempurnaan dan kemaslahatan ummat," ujar Pon Yaya, kepada media (Sabtu, 13/05/2023).

Meski demikian Rencana revisi Qanun LKS tersebut menuai pro dan kontra di kalangan rakyat Aceh. Wacana perubahan terhadap qanun LKS mencuat seiring permasalahan layanan Bank Syariah Indonesia (BSI) di Aceh yang sempat mengalami gangguan hampir seminggu beberapa waktu lalu.

Revisi Qanun LKS pada dasarnya adalah agar memberikan peluang bagi Aceh hadirnya kembali bank konvensional non syariah kembali beroperasi di Aceh. Hal itu bertujuan agar warga Aceh memiliki pilihan dalam menggunakan jasa lembaga keuangan.

Peneliti keberagaman dan sosial politik Aceh, Teuku Muhammad Jafar Sulaiman, menilai kegaduhan yang timbul akibat hengkangnya bank kovensional dan monopoli pelayanan bermasalah dari bank syariah beroperasi di Aceh memunculkan ekses  penafsiran terhadap Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 tentang pokok pokok syariat Islam terukit lagi. 

Jafar menjelaskan, didalam qanun tersebut , yang menjadi acuan Qanun LKS, tidak ada mengatur bahwa tidak boleh pelayanan bank konvensional non syariah di Aceh. Melainkan bank konvensional di Aceh diharuskan untuk membuka unit pelayanan syariah. Bukan menghapus eksistensi keberadaan pelayanannya.

Dirinya menerangkan lagi, eksistensi LKS pada awalnya diatur dalam Pasal 21 Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014. Disebutkan: Ayat (1) Lembaga Keuangan yang akan beroperasi di Aceh harus berdasarkan prinsip syariah. Ayat (2) Lembaga Keuangan konvensional yang sudah beroperasi di Aceh harus membuka Unit Usaha Syariah (UUS). Ayat (3) Transaksi keuangan Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota wajib menggunakan prinsip syariah dan/atau melalui proses Lembaga Keuangan Syariah. Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Keuangan Syariah diatur dalam Qanun Aceh

“ada kelemahan memang dalam Qanun 8 Tahun 2014 tentang Pokok pokok Syariat islam, dimana tidak dijelaskan secara terang benderang kelanjutan eksistensi bank konvensional di Aceh. Hal ini kemudian ditafsirkan berbeda oleh sejumlah kalangan yang kontra terhadap bank konvesional," ungkapnya.

Ia melanjutkan, ada kegagalan penafsiran banyak pihak dalam menafsirkan dan memahami qanun yang dibuat oleh DPRA sehingga cenderung memahami satu penafsiran tunggal yang belum baku. Padahal di Qanun 8 Tahun 2014 tidak disebutkan bank konvensional harus keluar dari Aceh, melainkan tercantum jelas dalam Pasal 21 ayat 2 Lembaga Keuangan konvensional yang sudah beroperasi di Aceh harus membuka Unit Usaha Syariah (UUS). 

"Artinya masyarakat umum diberikan pilihan untuk menggunakan bank konvensional atau bank syariah. Berbeda halnya dengan pemerintah Aceh dan Kab/kota, wajib menggunakan bank syariah untuk traksansi keuangan sebagaimana tersebut dalam pasal 21 ayat 3 Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 ” ujar Jafar kepada DIALEKSIS, Minggu (28/5/2023).

Akibat gagal paham ini, maka di munculah pasal sapu jagat di Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang LKS, yaitu pasal 65. Dimana disebutkan : “Pada saat Qanun ini mulai berlaku, lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh wajib menyesuaikan dengan Qanun ini paling lama 3 (tiga) tahun sejak Qanun ini diundangkan.”

Jafar yang juga Direktur Filosofi Institute  menerangkan, kegagalan pahaman penafsiran tersebut muncul ekses tidak optimalnya pertemuan multi stakeholder dari semua lini dalam kerangka menafsirkan secara baku terhadap isi qanun tersebut.

“Kecenderunganya masyarakat Aceh menilai diwarnai dominan pemahaman syariah tanpa meninjau relasi pemikiran sistem konvensional. Hal lain juga terungkap dalam polemik qanun ini ditemukan tdk ada sosilaisasi draft akademis secara maksimal dalam menghimpun masukan maupun desain sistem penerapan sistim syariah. Sehingga terkesan berjalan eksklusif  bukan inklusif. “ pungkas jafar.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda