Ketua HMI Banda Aceh: Kenaikan UMP Dapat Merusak Ekonomi Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Banda Aceh, Syifaul Huzni. Dokumen untuk dialeksis.com.
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Permintaan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh tahun 2025 oleh aliansi buruh Aceh mendapat tanggapan keras dari Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Banda Aceh, Syifaul Huzni.
Ia menyayangkan langkah audiensi yang dilakukan oleh aliansi buruh dengan Pj Gubernur Aceh, Safrizal ZA, yang meminta kenaikan UMP dari Rp3,46 juta menjadi Rp4 juta per bulan.
Menurut Syifaul, kebijakan menaikkan UMP secara signifikan tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi yang ada justru bisa menjadi boomerang bagi Aceh.
“Seharusnya ada pemahaman yang tepat mengenai hubungan antara kenaikan UMP dan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Selasa, 12 November 2024.
Menurutnya, kebijakan upah yang tidak dikaji dengan matang dapat menghambat investasi dan penciptaan lapangan kerja, dua hal yang krusial bagi pertumbuhan ekonomi Aceh saat ini.
Syifaul mengingatkan bahwa kenaikan UMP memang sering dilihat sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja.
Namun, melihat kondisi Aceh saat ini, dengan tingkat pengangguran yang masih cukup tinggi dan sektor industri yang belum berkembang optimal, kenaikan UMP justru bisa menambah beban ekonomi.
“Kenaikan upah tanpa didukung dengan pertumbuhan industri yang cukup hanya akan meningkatkan inflasi, dan pada akhirnya, menurunkan daya beli masyarakat,” jelasnya.
Syifaul mencontohkan bagaimana industri-industri besar di Jawa Barat dan Jabodetabek kini mulai merelokasi usahanya ke Jawa Tengah.
“Keputusan ini bukan hanya karena upah yang lebih rendah, tetapi karena didukung infrastruktur yang memadai dan pasar yang lebih potensial. Artinya, besaran UMP bukan satu-satunya faktor; ketersediaan industri dan infrastruktur jauh lebih penting dalam mendukung ekonomi yang berkelanjutan,” tambahnya.
Kenaikan UMP yang besar tidak selalu berarti kesejahteraan yang meningkat. Syifaul menyoroti adanya persepsi keliru tentang daya beli dan nilai uang.
Ia menjelaskan bahwa di daerah yang memiliki banyak perusahaan dan industri berkembang, harga kebutuhan pokok cenderung lebih terjangkau.
Sebaliknya, tanpa industri yang berkembang, meskipun UMP tinggi, biaya hidup akan tetap naik, yang pada akhirnya membuat daya beli masyarakat menjadi rendah dan kesenjangan sosial meningkat.
“Kalau kita menaikkan UMP tapi industri tidak bertambah, apa yang terjadi? Harga kebutuhan tetap naik, dan masyarakat tetap sulit memenuhi kebutuhan dasar. Yang harus dipikirkan oleh aliansi buruh adalah bagaimana menumbuhkan industri yang akan menciptakan lapangan kerja, bukan sekadar angka UMP,” papar Syifaul.
Lebih lanjut, Syifaul menilai bahwa aliansi buruh seharusnya lebih mendorong kebijakan yang mendukung investasi dan penciptaan lapangan kerja baru.
“Ketua aliansi buruh harusnya mengedepankan strategi yang memacu pertumbuhan industri. Kenaikan UMP yang terlalu tinggi hanya akan membuat investor enggan masuk ke Aceh,” ujarnya.
Aceh sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi pusat industri, namun hal ini hanya bisa tercapai jika kebijakan upah disesuaikan dengan daya saing dan keberlanjutan ekonomi.
“Yang perlu kita lakukan adalah menciptakan ekosistem yang mendukung industri tumbuh dan berkembang. Dengan begitu, investor akan tertarik, lapangan kerja akan tercipta, dan ekonomi Aceh akan bertumbuh secara berkelanjutan,” tegasnya.
Menurut Syifaul, kenaikan UMP tidak harus menjadi tujuan utama. Yang lebih penting adalah menciptakan lapangan kerja yang stabil.
“Dengan membuka ruang bagi pengusaha untuk berkembang, kita bisa menciptakan lebih banyak industri dan menyerap tenaga kerja baru,” ujarnya.
Dalam jangka panjang, hal ini akan menciptakan ekonomi yang inklusif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa merusak daya saing Aceh.
Syifaul berharap Pj Gubernur Aceh dapat mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan UMP, sehingga tidak menimbulkan masalah sosial dan ekonomi di masa depan.
Dengan latar belakang ekonomi Aceh yang belum sekuat daerah lain di Indonesia, kebijakan yang terlalu agresif dalam menaikkan upah berpotensi menurunkan daya tarik investasi dan membebani dunia usaha.
Untuk itu, pendekatan yang rasional dan seimbang sangat dibutuhkan agar ekonomi Aceh bisa tumbuh lebih inklusif dan memberikan kesejahteraan yang merata bagi seluruh masyarakat.
“Aliansi buruh juga seharusnya memahami bahwa kenaikan UMP tanpa penguatan industri akan berdampak buruk bagi pekerja itu sendiri. Mungkin jangka pendek mereka merasa untung, tetapi dalam jangka panjang ini akan menjadi bumerang bagi kita semua,” tandasnya.