kip lhok
Beranda / Berita / Dunia / Kilas Sejarah Persekusi Myanmar Terhadap Rohingya: Warisan Kolonial?

Kilas Sejarah Persekusi Myanmar Terhadap Rohingya: Warisan Kolonial?

Senin, 20 November 2023 23:55 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Sahlan

Pengungsi Rohingya yang menyebrangi perbatasan Myanmar-Bangladesh ketika Operasi militer di Negara Bagian Arakan tahun 2017. [Credit: Mohammad Ponir Hossain/Reuters]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Myanmar merupakan sedikit dari negara di dunia yang berada dibawah junta militer. Sejak kemerdekaanya, internal negara ini tidak pernah stabil. Berbagai perang sipil dengan etnis minoritas masih terjadi di negara-negara bagiannya sampai sekarang. Salah satu yang memantik perhatian internasional adalah ketegangan dengan etnis Rohingya, etnis muslim yang mendiami negara bagian Arakan. 

Salahnya Inggris?

Sejarah keberadaan Rohingya di Arakan masih memicu perdebatan. Myanmar memandang Rohingya sebagai imigran gelap dari Bangladesh yang bermigrasi ke Arakan semasa Perang Kemerdekaan Bangladesh di tahun 1971, narasi yang selalu dibantah oleh orang Rohingya sendiri dan berulang kali menyatakan bahwa keberadaan mereka di Arakan sudah ada sejak abad ke-16. 

Menurut catatan sejarah, muslim telah mendiami Arakan sejak abad ke-16. Tidak ada catatan valid mengenai jumlah populasi muslim di Arakan sampai Inggris menganeksasi Burma (Myanmar) pada tahun 1862. Pemerintah Kolonial Inggris mendorong terjadinya migrasi penduduk ke wilayah Arakan untuk diperkerjakan sebagai buruh tani. Sebagian besar pekerja ini diimpor Inggris dari wilayah Bengal.

Inggris baru melakukan sensus populasi penduduk di Arakan pada tahun 1869. Dari sensus tersebut, Rohingya diperkirakan berjumlah 5% dari jumlah populasi disana. Selama masa kolonial, Inggris melakukan beberapa kali sensus penduduk antara tahun 1872 dan 1911 yang hasilnya mencatat peningkatan jumlah populasi Muslim dari 58.255 ke 178.647.

Semasa Perang Dunia II, Nasionalisme Budha mulai muncul sebagai respon terhadap pemerintahan kolonial Inggris. 

Pensinoniman identitas diri Burma dengan Kebuddhaan turut dikampanyekan oleh Jepang yang berusaha mengambil alih Burma dari Inggris pada Perang Dunia II. 

Semasa perang Jepang-Inggris memperebutkan Burma, mayoritas orang Burma yang beragama Budha berada di pihak Jepang dan melihat Jepang sebagai pembebas Asia. Sebaliknya, penduduk beretnis Rohingya direkrut Inggris sebagai prajurit perang melawan invasi Jepang. Perang ini diyakini menjadi tonggak awal kebencian umat Buddha Burma kepada muslim Rohingya.

Burmanisasi Myanmar

Burmanisasi adalah nasionalisme agama Buddha yang harus terpatri dalam sosio-politik Myanmar serta pengakuan superioritas etnis Burma dan etnis-etnis beragama Buddha lainnya. Agenda yang disponsori Yangoon tersebut telah mengakibatkan budaya, sejarah, dan aspirasi politik minoritas dihilangkan demi identitas tunggal “nasionalisme Burma”.

Pada tahun 1982, junta militer dibawah Jenderal Ne Win memberlakukan hukum kewarganegaraan baru di Myanmar. Undang-undang tersebut menolak status kewarganegaraan etnis Rohingya. 

Sejak UU Kewarganegaraan 1982 diberlakukan di Myanmar, etnis yang diakui sebagai warga negara adalah etnis yang telah lama berada di Myanmar sebelum pendudukan kolonial Inggris tahun 1862. Tercatat ada 135 etnis yang diakui, etnis Rohingya yang dianggap imigran Bengali oleh Myanmar tidak termasuk dalam daftar. 

Ketegangan Memuncak

Setelah sekian dekade dibawah persekusi, konflik pertama meletus pada tahun 2012 antara Buddha Arakan dengan Muslim Rohingya. Pada masa itu, terdapat 1,3 juta orang Rohingya menetap di Myanmar. Mereka mayoritas mendiami kota-kota kecil di utara Arakan, dimana mereka membentuk 80-98% dari populasi disana. Setelah Kerusuhan Arakan 2012, hubungan Muslim Rohingya dan Buddha di Arakan semakin terpolarisasi oleh konflik-konflik kecil dan perbedaan keyakinan.

Puncak krisis Rohingya terjadi pada 2017 ketika sekelompok milisi Rohingya menyerang sejumlah pos polisi di Arakan. Aksi ini menuai reaksi keras dari pemerintah Myanmar. Militer Myanmar menggelar penumpasan besar-besaran terhadap penduduk Rohingya yang terafiliasi dengan milisi tersebut. 

Menurut keterangan PBB, sedikitnya 1.000 orang tewas dalam dua minggu pertama operasi militer itu. Sebagian besar yang tewas adalah warga sipil. Setelah Kerusuhan Arakan 2017, kekerasan terhadap etnis Rohingya semakin meluas dan bertransformasi menjadi pembersihan etnis. 

Arus Pengungsi

UNHCR mencatat, krisis tersebut menyebabkan 742,000 orang Rohingya mengungsi ke negara Bangladesh untuk menghindari kekerasan. Sebagian kecil diantaranya mencari tempat tinggal baru di sepanjang perbatasan dengan Thailand. Sementara itu, lebih dari 100.000 orang Rohingya terus tinggal di Myanmar dalam kamp-kamp pengungsian. Mereka dilarang meninggalkan kamp-kamp tersebut oleh otoritas setempat. 

Saat ini, lebih dari 960.000 pengungsi Rohingya tinggal di Bangladesh dan mayoritas menetap di dan sekitar kamp pengungsi Kutupalong dan Nayapara di wilayah Cox’s Bazar, “ salah satu kamp pengungsi terbesar dan terpadat di dunia. 

Dari waktu ke waktu, jumlah pengungsi disana terus berkurang akibat sebagiannya melarikan diri dari kamp. Hal ini dipicu dari berbagai hal seperti kondisi kamp yang terlalu padat, sanitasi buruk, dan pemikiran bahwa tidak ada masa depan jika masih hidup di dalam kamp.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda