kip lhok
Beranda / Dialog / Wawancara Eksklusif: Aceh Termiskin di Sumatera, Kepala BPS Menjawab

Wawancara Eksklusif: Aceh Termiskin di Sumatera, Kepala BPS Menjawab

Jum`at, 19 Februari 2021 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Roni

Kepala BPS Aceh, Ihsanurijal. [For Dialeksis]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - BPS merilis penduduk miskin di Aceh meningkat 19 ribu orang pada September 2020. Secara persentase, angka kemiskinan di Serambi Mekah sebesar 15,43 persen atau tertinggi di Sumatera.

Predikat termiskin di Sumatera itu kemudian menjadi polemik dan pembicaraan hangat di Aceh bahkan hingga tingkat nasional.

Menjawab hal itu, Dialeksis.com berkesempatan langsung mewawancarai eksklusif Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh, Ihsanurijal melalui video conference, Jumat (19/2/2021). Berikut petikan wawancaranya.

Apa indikator yang dipakai BPS sehingga menyatakan kemiskinan Aceh itu sangat tinggi di Sumatera?

Pertama yang ingin saya sampaikan, survei untuk angka kemiskinan ini adalah rilis rutin yang dilakukan BPS di 34 provinsi se-Indonesia. Sumber datanya melalui hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) pada periode September 2020.

Survei yang sekarang ini agak istimewa memang, karena periode September 2020 itu adalah periode pandemi Covid-19 dan semua itu berlaku di Aceh, Indonesia dan seluruh dunia.

Ada yang menarik kalau coba kita cermati dari data BPS tentang kemiskinan ini. Kenapa tidak menyajikan hasil survei di kabupaten/kotanya?

Jadi, tadi saya menyebutkan bahwa Susenas ini semesteran, bulan Maret dan September. Yang untuk bulan Maret itu, sampelnya besar, sementara untuk September sampelnya kecil atau sedikit.

Dengan demikian, untuk Susenas Maret bisa disajikan menurut kabupaten/kota. Sedangkan untuk September, tidak bisa disampaikan hingga kabupaten/kota. Karena sampelnya kecil.

Bulan September sampelnya cuma 2.920 RT di Aceh. Jadi cuma bisa mengestimasi untuk level provinsi. Sementara untuk di Susenas Maret, sampelnya besar, itu dimungkinkan estimasinya untuk sampai level kabupaten/kota.

Selanjutnya, terkait hasil survei untuk kemiskinan ini, padahal Aceh kan daerah pasca konflik, tentunya butuh perlakuan khusus. Atau memang tidak ada suatu metode yang menyesuaikan dengan kondisi Aceh?

Survei BPS itu dilakukan di semua provinsi, bahkan kabupaten/kota. Nasional tinggal penjumlahan saja. Bisa dibandingkan dengan nasional, karena nasional itu berasal dari Aceh juga dari Sumut juga, dari Papua juga, dari Jawa juga dan semua provinsi. Jadilah data seluruh Indonesia.

Lalu tingkat kemiskinan itu kalau diukur skala nasional, Aceh dalam posisi seperti apa, kemudian kalau skala lokalnya seperti apa?

Ya, hasil rilis terkait kemiskinan kemarin, yang saya rilis memang angka untuk Provinsi Aceh saja. Kenapa saya nggak ambil dari provinsi lain karena memang saya nggak punya angkanya. Sementara kita BPS kan instansi vertikal. Untuk tingkat provinsi lain, disampaikan pada rilisnya BPS pusat kemarin bersamaan pada tanggal 15 Februari itu.

Jadi, pagi rilis hasil BPS pusat dulu. Kemudian di tingkat provinsi, BPS rilis untuk kemiskinan tanggal 15 Februari jam 11.00 WIB menyajikan angka rilis untuk Indonesia, termasuk Aceh, Sumut, Sumsel, Jawa, Kalimantan, se-Indonesia. Di jam itu saya baru tahu oh angkanya di provinsi lain segitu. Sebab yang saya rilis adalah angka untuk Provinsi Aceh saja.

Apakah kondisi pandemi Covid-19 merubah variabel dalam mengukur satu wilayah yang disurvei oleh BPS?

Sumber data atau responden dari Susenas ini adalah pengeluaran rumah tangga. Jadi, kemiskinan ini diukur dari kebutuhan dasar rumah tangga. Ada berapa kebutuhan untuk makanan, berapa untuk kebutuhan minuman. Kebutuhan pokok untuk dia bisa hidup, itu yang survei.

Kaitannya dengan pandemi yakni metodenya yang kita sesuaikan. Sebenarnya di makanan itu ada sekitar 52 komoditas yang ditanyakan. Namun karena pandemi, sekarang dibuat penyederhanaan dibuat lebih simpel untuk makanan jadi 10 komoditas yang ditanyakan. Untuk bukan makanan hanya 6 komoditas. Sebab masyarakat dan petugas kita juga takut (tertular Covid-19).

Selanjutanya, apakah ada koordinasi dengan Pemerintah Aceh semacam sinergisitas dengan BPS untuk memperbaiki angka kemiskinan di Aceh?

Ya, jadi tugas BPS ini diberi amanah secara undang-undang untuk melaksanakan statistik di Republik Indonesia. Kita instansi vertikal, ada di pusat dan saya perwakilan pusat di Provinsi Aceh. Kemudian ada juga yang di kabupaten/kota.

Jadi, kalau pelaksanaan tugas itu ya koordinasinya dari pusat. Apa yang dilakukan BPS seluruh Indonesia, merujuk dari apa yang diinstruksikan oleh BPS Pusat.

Lalu, karena kita ada di Aceh, atau di daerah lain, ya perlu berkoordinasi dengan pemerintah setempat. Dalam hal ini katakanlah mengadakan survei dengan pemerintah desa/gampong misalnya, ya kita izin dulu bila mengadakan survei. Pada level provinsi, tentunya saya berkoordinasi dengan Gubernur Aceh.

Apa saran kepada masyarakat Aceh maupun pemerintah, ini kan muncul polemik usai publikasi Aceh termiskin di Sumatera ini, sehingga menurunkan tensi yang terjadi di tengah-tengah publik bagaimana?

Ya pastinya kalau begitu kita mesti bicara programlah. Kalau bicara angka kemiskinan Aceh 15,43 persen yang September ini, rincian lebih jauh, saya siap jelaskan dan pertanggung jawabkan. Tapi kita kan cari solusi, lalu apa ini program-program yang bisa dijadikan perbaikan menurunkan angka kemiskinan. Itu yang perlu jadi perhatian kita semua.

Terakhir, apa saran bapak ke depan?

Nah yang pertama, menurut saya masalah pandemi ini dulu dituntaskan. Kita harus sehat dulu. Nggak bisa kita melakukan aktivitas dengan baik, kalau kita tidak sehat.

Jadi, ini sudah sentral pemerintah. Bagaimana kemudian anggaran refocusing penggunaannya menjadi optimal dan masyarakat bisa sehat, kemudian program vaksinasi, protokol kesehatan, dan berbagai upaya untuk terus disosialisasikan. Karena percuma kita melakukan aktivitas kalau kitanya sakit atau peredaran Covid-19 masih tinggi.

Saya berharap, kita selesaikan dulu ini masalah pandemi Covid-19, tentu harus dengan tetap survive (bertahan) melalui new normal life. Kita tetap beraktivitas di tengah-tengah pandemi Covid-19. Kenapa kita harus tetap beraktivitas, ya kalau tidak, kita nggak survive. Walau begitu, harus tetap dikedepankan protokol kesehatannya.

Kita harus terus beraktivitas di tengah pandemi ini, di BPS tanggung jawabnya melakukan pendataan, di pemerintah nanti pada akhirnya bagaimana pelayanan masyarakat, terutama bagaimana di tengah Covid-19 ini bisa menjadi lebih baik. Setelah itu baru bicara yang lainnya barang kali. Kalau nggak begitu, nggak normal-normal kita.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda