Beranda / Dialog / Rustam Effendi: Dana Desa Bertambah, Tapi Aceh Hanya Mampu Entaskan Kemiskinan 2-3 KK per Tahun

Rustam Effendi: Dana Desa Bertambah, Tapi Aceh Hanya Mampu Entaskan Kemiskinan 2-3 KK per Tahun

Rabu, 02 Oktober 2019 13:10 WIB

Font: Ukuran: - +

Rustam Effendi, Pengamat Ekonomi Aceh. [Foto: Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM - Pemerintah telah memplot anggaran sebesar Rp 72 triliun untuk alokasi Dana Desa tahun 2020, naik dua digit dari tahun sebelumnya Rp 69,2 triliun. Setiap daerah memiliki cara masing-masing dalam memanfaatkan dana desa, demikian juga Aceh.

Untuk mengkaji bagaimana Dana Desa seharusnya dikelola khususnya di Aceh, Dialeksis.com melakukan dialog dengan pengamat ekonomi Aceh dari Universitas Syiah Kuala, Rustam Effendi, Minggu (29/9/2019). Berikut petikan wawancaranya:

Dana Desa 2020 sudah disahkan sekitar Rp 72 triliun, naik dari 69 triliun. Apakah dengan kenaikan itu akan berpengaruh signifikan terhadap kondisi desa-desa yang ada di Indonesia, khususnya di Aceh?

Dana Desa itu memang bagus, arti kata, titik pembangunan di pedesaan. Persoalannya adalah, kalau kita lihat idealnya adalah bagusnya ada semacam ketentuan. Kalau kita ingin genjot ekonomi untuk alokasinya baiknya ditetapkan saja, sekian persen untuk ekonomi.  

Selama ini yang saya lihat itu yang tidak ada, sangat-sangat terbuka begitu. Sehingga ada kesan uang itu tidak bisa meng-hire ke ekonomi yang ada di desa. 

Jadi lebih banyak dibuat untuk hal-hal yang fisik. Misalnya dibuat drainase, got, jalan, dan itu pun dibuat dengan tidak menggunakan tenaga lokal.

Terus bagaimana penggunaan dana alokasi gampong yang memberikan daya ungkit yang kuat untuk kemajuan desa di Indonesia, khususnya Aceh? 

Misalnya begini, harus ada persentase khusus tentang ekonomi, ditetapkan saja misalnya. Aceh juga bisa membuat kebijakan khusus. Misalnya Pak Gubernur menyampaikan masukan membuat semacam juknis sekian persen untuk ekonomi.

Mungin kalau Gubernur membuat juknis bisa saja kan melaui SKPA kan bisa, ajak duduk sama-sama, SKPA ngomong ke SKPD di tingkat dua, Gubernur ajak bupati, ajak walikota. Supaya dibuat kesepakatan, uang desa itu mau kita apakan, kan begitu. Sehingga betul-betul ada pedomannya oleh pihak perangkat desa selaku aparatur gampong.

Tepat manfaat, tepat guna untuk pembangunan desa ya?

Iya sesuai kebutuhan, kan gitu ya. Sekarang ini coba lihat. Ekonominya tidak jalan di desa, maaf cakaplah kalau kita lihat itu yang sebagian yang menikmati hanyak elit-elit di gampong, kan begitu.

Dan kemudian alokasi belanja pun harus banyak, hampir setengah itu hanya untuk hal yang belanja tak langsung. Ini sensitif kalau kita ngomong begini. 

Tapi dari sekian papan pengumuman yang saya potret di gampong-gampong sebagian gampong itu kualitasnya sangat jelek, tidak seperti yang kita inginkan.  

Apa yang menjadi kelemahan pembangunan dana gampong selama ini, apakah dari segi perencanaan, SDM, atau lainnnya?

Yang pertama dulu memang di hulunya, dan perencanaan itu, apa yang dibuat tidak menjawab isu-isu yang ada di gampong.

Contoh, isu di gampong kan mengenai lapangan kerja. Banyak sekali anak muda yang duduk di kedai-kedai kopi, tidak ada kerja, gitu kan.

Bisa enggak dana gampong itu kita gunakan bagaimana membuka lapangan kerja, misalnya. 

Kita boleh buat jalan desa, tidak apa-apa, buat got drainase bisa, tapi bagaimana kita bisa menggunakan sumber daya yang ada di gampong.

Anak-anak muda ikut sebagai tukang dan sebagai pekerja, janda dan inong balee diajak kerja sehingga pulang dapat uang saku, kan begitu. 

Ini yang saya lihat kita belum terpola, belum lagi kita ngomong soal kelembagaan ekonomi, tidak ada satu wadah ekonomi yang tumbuh kita.

Kalau bisa ada kelompok-kelompok ekonomi yang dibuat di desa, misalnya dibuat bank sampah, ada kawasan wisata, dia bangun dengan uang gampong, dengan uang desa kan cantik itu.

Ada koperasi simpan pinjam, sehingga dia bisa pinjam, ada yang mau pinjam DP untuk jadi (driver_red) Gojek, kan bisa itu. Maksud saya harus ada inovasi-inovasi sehingga ekonomi gampong itu bisa bergeliat.

Karena saya sampaikan ini bukan saya ngomong di konseptual, saya tanya di sebagian pun saya tanyak. Saya tanyakan begini, kenapa Bapak tidak fokus ke ekonomi?

‘Susah sekali Pak Rustam, watee talakee peng pulang payah that (waktu kita tagih uang pengembalian sulit sekali_red)'. 

Ke situ ujungnya. Jadi kita tidak mau capek tidak mau sedikit ada tantangan sehingga ekonomi gampong bisa kita ciptakan, kita bangun.  

Itu Aceh sangat besar sekali, sekitar Rp 4 triliun itu uangnya. (Dana Desa_red) untuk Aceh saja 4,2 T kalau tidak salah saya.

Ada 6 ribu sekian desa kita kan, itu kalau kita potong sama saja ada Rp 700 M uang desa dari 4,2 T. Tapi uang itu tidak pernah kita fokus kemana uang belanja kita untuk di gampong.

Belum lagi kita bahas tentang usaha desa. Bisa enggak, misalnya satu mukim ada 10 desa, bisa enggak kita ambil katakanlah setiap desa Rp 100 juta, sebagai modal usaha kemukiman, kan bisa. Buat Badan Usaha Kemukiman, kan bisa kan.

Jadi kalau ada 10 gampong, kan Rp 1 M tuh, jadilah dia buat satu kilang padi, jadilah dia mukim berdagang beli gabah.

Jadi sehinga dari hasil itu bisa untung, tahun depan tambah lagi modal usahanya. Sehinga itu dimiliki oleh semua gampong di kemukiman itu.

Ini belum lagi kita ngomong soal jealous (kecemburan_red) sekarang. Di kemukiman, itu imum mukim itu tidak dapat apa-apa, padahal dia capek juga dia itu.

Jadi saya pikir adalah hal-hal yang bisa digunakan dengan bagus sehingga uang gampong itu, kelembagaan-kelembagaan yang ada di sisi hulu tadi di-planning dan diperbaiki.

Misalnya di setiap gampong ada sawah, ada gabah, kenapa kita mesti jual kepada tengkulak gitu kan, kan bisa lead (membangun_red) badan usaha tadi, badan usaha pemukiman. Beli gabah, jual dia itu kemana, jual ke kilang mana, kan bisa dapat untung. Maksud saya hal-hal demikian.

Kemudian lagi penggunaan resource yang ada di gampong, pakailah sumber daya lokal, kalau yang kita bangun got dan hanya jalan, coba hitung sebanyak mana yang melekat di gampong itu.

Besi bukan di gampong itu, semen bukan di gampong itu, batu gunung bukan di situ, bahkan tukang pun bukan tukang gampong itu. Sehingga uang yang melekat digampong itu tidak ada, malah dibawa keluar.

Jadi kadang kita lalai karena uang otsus kita banyak, sehingga kita tidak care dengan dana gampong.

Kemudian lagi, kadang-kadang, akibat dana gampong juga menciptakan disharmoni di gampong.

Gambarannya itu seperti apa, contohnya?

Misalnya ada imum mukim yang mengeluh, ‘O, yang senang di gampong kan keuchik sekarang.’ mungkin tokoh-tokoh di gampong kan keuchik sekarang, mungkin keuchik juga belum betul-betul salah.

Jadi ini usulkan lah satu langkah yang sinergis. Semua pihak duduk. Belum lagi kalau soal RPJM desa, siapa susun dokumen itu. Mengerti enggak dia menyusun dokumen itu.

Jangan-jangan dokumen itu disusun oleh pendamping, dan pendamping pun tidak pernah mendapatkan lesson learnt, atau diklat terkait dengan penyusunan dokumen.

Jadi saya pikir ini harus dievaluasi total oleh Pak Gubernur, sehingga menemukan dimana sisi lemah kita. Kita mulai dari hulu, perencanaannya, alokasi kegiatannya.

Kalau di hilirnya bagaimana?

Kalau kita lihat yang mau kita capai itu apa di gampong? Misalnya kemapanan ekonomi, kehidupan di gampong, tidak ada dampaknya, toh angka kemiskinan masih tinggi kan.

Arti kata, support dana gampong dalam mengentaskan kemiskinan itu belum terwujud.

Jadi harus ada pengelolaan dana otsus satu lagi, secara konsep dan perencanaan yang jelas dari hilir dan hulu, yang orentasinya menurunkan kemiskinan?

Dan itu bisa dilakukan kalau ekonomi tumbuh. Misalnya kita kaya dengan pertanian, pertanian kita kan digampong. Ketika di gampong kita abai dan tidak fokus, aspeknya kemiskinan kita tidak tertuntaskan.

Ini kita hitunglah sekarang ini, kalau kita hanya mampu setiap tahun menurunkan operetnya bisa kita turunkan 0,5 persen. Bahkan 0,3 saya hitung, setiap tahun kita tumbuh.

Kalau penduduk kita sekarang ada 800 ribu yang miskin. Bapak, kalau bapak ambil 10 % berarti ada 80 ribu kan, kalau 5 persen berarti 40 ribu, kalau 1 % 8 ribu, kalau setengah persen?

Bapak bisa bagi jumlah gampong 6.600 gampong sekarang, kita hanya bisa entaskan setiap gampong hanya 2-3 KK.

Jadi setiap tahunnya kita hanya mampu mengentaskan kemiskinan di Aceh setiap tahunnya hanya 2-3 KK saja.

Maknanya apa, kalau angka yang segitu kita tuntaskan, sampai berapa tahun kita menyelesaikan semua kemiskinan.  

Arti kata belum efektif, kalau kita bisa genjot perekonomian Aceh kita sampe 5-6 % setahun, karena apa, setiap 1 % kita menyelesaikan ekonomi itu akan banyak menyelesaikan kemiskinan. 

Arti kata, ekonomi itu harus bisa tumbuh, tapi selama ini sangat minim. Nah, ini yang kita tidak sadar.(Ikbal Fanika)

Keyword:


Editor :
Makmur Emnur

riset-JSI
Komentar Anda