Ketua AMSI Aceh: Kuasa Sebagai Akar Ujaran Kebencian
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ratnalia/Nora
Ketua AMSI Aceh Aryos Nivada. Foto: Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Dialog - Monash University dan AJI memaparkan hasil pemantauan ujaran kebencian online di media sosial terkait isu Pilkada. Hasilnya Aceh berada di peringkat pertama ujaran kebencian dari lima provinsi yang diriset.
Aceh mencatat jumlah ujaran kebencian tertinggi, mencapai 7.200 postingan dan ujaran kebencian banyak berkisar pada isu agama.
Terkini, terungkap dalam diskusi bertema "Ujaran Kebencian dan Polarisasi di Balik Pilkada Aceh 2024" yang digelar di Sirnagalih Coffee Shop, depan Sekretariat AJI Banda Aceh, Jumat (20/12/2024) bahwa kemiskinan atau gap pendapatan menjadi salah satu faktot penyebab meningkatnya ujaran kebencian dan juga polarisasi politik di Aceh.
Dialeksis mengelaborasi lebih lanjut soalan ujaran kebencian dan polarisasi politik terkait Pilkada dengan Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Aceh Aryos Nivada.
Menurutnya, ujaran kebencian dan polarisasi politik pemicunya adalah wujud lepas kendalinya hasrat berkuasa yang menjadi peralatan manusia untuk bertahan hidup. Berikut wawancara lengkap yang dilakukan pada Sabtu (21/12) pagi.
AMSI sendiri menjadi bagian dari Koalisi Kawai Haba Demokrasi Aceh. Selain AMSI ada KIP Aceh, Panwaslih Aceh, PWNU Aceh, PW Muhammadiyah Aceh, The Leader, Aceh Institute, Mafindo Aceh, Hakka Aceh, Koalisi Anak Muda Democracy Resilience, Katahati Institute, MaTA, Koalisi NGO HAM, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), LBH Aceh,Youth ID, Flower Aceh, dan Solidaritas Perempuan (SP) Aceh.
Aceh disebut provinsi dengan ujaran kebencian online tertinggi terkait isu Pilkada.
Ikut prihatin. Ternyata, usia damai yang sudah mau 20 tahun belum bisa berlepas dari dari politik ujaran kebencian. Makin prihatin karena Aceh sangat lekat dengan julukan Serambi Mekkah.
Mengapa Anda menyebut politik ujaran kebencian? Apakah ujaran kebencian itu produk politik?
Saya melihatnya begitu. Sesuatu yang di create agar tercipta polarisasi politik dikalangan masyarakat yang secara pendidikan tidak tinggi. Tujuannya agar terjadi politik sentimen ketimbang politik argumen dikalangan pemilih mayoritas.
Lantas, mengapa ujaran kebencian di Aceh lebih banyak terkait isu agama?
Isu agama paling mudah ditangkap oleh masyarakat awam. Masyarakat di gampong atau desa umumnya juga masih terikat dengan isu-isu agama, sekaligus punya relasi kuat dengan tokoh agama. Otoritas tokoh agama masih menjadi sandaran masyarakat. Tafsir mereka menentukan bagaimana masyarakat beragama dan melihat politik dari kacamata tokoh agama. Jika seseorang dinilai sebagai lebih alim dari sosok yang lain pasti punya pengaruhnya.
Apa Anda setuju kemiskinan atau gap pendapatan menjadi pemicu ujaran kebencian dan polarisasi politik?
Baik ujaran kebencian maupun polarisasi politik adalah wujud lepas kendalinya hasrat berkuasa yang menjadi peralatan manusia untuk bertahan hidup.
Bisa dielaborasi lebih dalam agar lebih jelas dan terang?
Setiap orang atau kelompok bahkan bangsa punya kehendak untuk berkuasa agar bertahan hidup. Jika kita pinjam istilah Nietzsche disebut will to power. Ini bukan sesuatu yang negatif. Ini dasarnya adalah kuasa mencipta manusia untuk mengembangkan hidup.
Tapi, jika kuasa itu ditempatkan sebagai satu-satunya cara agar terus hidup, apalagi diproyeksikan sebagai alat utama untuk hidup lebih enak hingga tujuh turunan maka muncullah masalah.
Dimana masalahnya?
Masalahnya muncul ketika menghalalkan agama, keyakinan, pengetahuan, ideologi, kesadaran, uang, dan kedudukan untuk meraih kuasa dan atau mempertahankan kuasa.
Jika itu dasarnya maka senjata ampuh adalah politik ujaran kebencian dan politik polarisasi untuk maksud politik menghimpun kekuatan yang berujung penyerahan mandat politik.
Jadi, bukan soal kemiskinan atau gap pendapatan?
Saya melihat bahwa kelompok lemah juga ingin menjadi kelompok kuat dan kelompok kuat ingin terus menjadi kelompok yang makin kuat. Kelompok lemah akan melakukan ujaran kebencian untuk menekan kelompok kuat hingga jatuh dan terjadi pergantian rezim kekuasaan, sebaliknya kelompok kuat dengan ujaran kebencian dan politik polarisasi membuat kelompok lemah tidak bisa menjadi kelompok kuat.
Apa politik ujaran kebencian cukup berhasil mempengaruhi pilihan politik di Pilkada Aceh?
Ada pengaruhnya, tapi untungnya tidak menjadi penentu kemenangan. Beruntungnya lagi, tidak menyeret politik Pilkada Aceh dalam kerusuhan karena beda pilihan, hanya riak-riak kecil yang masih bisa dilihat sebagai dinamika politik Pilkada saja. Pilkada Aceh meski cukup terlihat adanya polarisasi politik, namun ujungnya justru terbangun kekompakan yang meluas. Buktinya, di wilayah yang dikenal ABAS dan ALA, umumnya satu suara dalam memenangkan pasangan Mualem - Dek Fadh.
Jadi, apa kunci mengatasi ujaran kebencian dan polarisasi politik paska Pilkada?
Menghadirkan institusi politik dan publik yang inklusif. Selama kepentingan publik atau rakyat dikelola secara ekstraktif maka selama itu akan terjadi terus politik ujaran kebencian dan politik polarisasi.
Institusi politik yang ekstraktif akan semakin memusatkan sistem pengambilan keputusannya pada elit puncak, dan menempatkan anggota dan simpatisan serta rakyat sebagai sumber daya manusia yang diekplorasi dan dieksploitasi. Maka, kuncinya ya mengelola Aceh secara inklusif. []