kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Penundaan Pemilu, Urgensi atau Manuver?

Penundaan Pemilu, Urgensi atau Manuver?

Rabu, 30 Maret 2022 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : akhyar

Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah SSos IMAS (Kanan bawah), Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Firman Noor PhD (Kiri), Stafsus Menteri Sekretaris Negara Faldo Maldini SSi MRes MIP (Kanan atas). [Foto: Dialeksis/Kolase]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Polemik wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) hingga akhir-akhir ini masih santer dan belum mereda. Soalnya, masih cukup banyak para analisator dan panelis dari sisi pengamat yang menaruh perhatian serta kekhawatiran akan terjadinya pemunduran Pemilu tahun 2024.

Meski dari sisi pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menegaskan tunduk pada konstitusi. Tetap saja dengan pernyataan demikian masih belum menyurutkan kekhawatiran akan wacana penundaan pemilu. 

Secara dialektika, wacana penundaan pemilu lebih menarik jika dikomparasikan menjadi sebuah dialog antar para pakar secara sintesis. Karena secara hukum dialektik, tidak ada satu kebenaran pun yang bersifat absolut, yang absolut hanyalah semangat revolusioner, khususnya dari polemik yang berkecamuk ini. Hal ini pula yang dicoba lakukan oleh Lembaga Inisiatif Moderasi Indonesia (InMind) Institute dalam diskusi politik yang bertajuk “Penundaan Pemilu: Urgensi atau Manuver?”

InMind Institute melalui diskusi terbuka ini ingin menyelaraskan perkembangan isu wacana penundaan pemilu dari berbagai paduan (campuran) statement, hingga pada akhirnya bisa menghasilkan sebuah kesatuan, terutama pada tujuan untuk meredakan polemik wacana penundaan pemilu 2024. 

Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah SSos IMAS menyatakan, secara legal formal negara bisa saja membatasi hak politik. Karena hak politik bukanlah hak yang sifatnya non-derogable rights (pemenuhannya bersifat absolut, tidak boleh dikurangi).

Hurriyah mengatakan, hak politik bisa dicabut ketika negara dihadapkan pada sejumlah kondisi tertentu. Kondisi tertentu ini secara regulatif ada disinggung di dalam Undang-undang No. 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik.

Melalui regulasi ini, Hurriyah menyatakan, negara diberi otoritas dan legalitas untuk membatasi hak asasi manusia, dalam konteks ini adalah hak pilih dan memilih. Akan tetapi terdapat syarat dan ketentuan yang berlaku secara ketat. Misalnya ketika negara dihadapkan dalam keadaan genting, ancaman, dan lain-lain.


Kapan Hak Sipil dan Politik Bisa Dibatasi?

Merujuk pada beberapa klausul dalam Undang-undang No. 12/ 2005 tadi, Hurriyah menyatakan, pembatasan hak sipil dan politik bisa dilakukan jika negara dihadapkan pada kondisi darurat, dengan pertimbangan apabila pemenuhan hak publik dilakukan maka akan mengancam banyak hal. 

Lalu, lanjut dia, meski secara legal formal hak politik bisa dibatasi, tetapi landasannya tetap harus mengacu pada koridor hukum atau berdasarkan hukum. Saat ini, konstitusi Indonesia mengatur pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Dalam artian ketika pemilu mau ditunda, maka perlu ada amandemen konstitusi.

Kemudian, penundaan pemilu juga diperlukan situasi masyarakat yang demokratis. Artinya ada persetujuan mayoritas dari kalangan masyarakat serta tidak ada pertentangan. Dengan demikian, menurut Hurriyah, secara objektif dengan menilik klausul hukum dalam Undang-undang No. 12/2005, sebuah pemilu bisa ditunda.


Analisis Urgensi Penundaan Pemilu

Menurut Hurriyah, situasi pandemi bisa dikatakan sebagai kondisi darurat. Karena pemerintah semenjak Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) ada sudah menyatakan jika pandemi adalah bencana non alam. Pandemi ini sifatnya darurat kesehatan bagi masyarakat.

Dari sudut pandang ini, menurut Hurriyah kondisi pandemi saja sudah mencukupi untuk menunda pemilu. Namun, apakah relevan dengan kondisi sekarang? Hurriyah dengan tegas mengatakan tidak. Soalnya, kondisi pandemi terbaru di Indonesia sudah mulai memasuki fase-fase endemi. Sehingga aspek kebencanaan dari sisi darurat kesehatan sudah tidak bisa memenuhi lagi untuk menunda pemilu.

Kemudian, jelas Hurriyah, adanya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 yang sukses dilaksanakan meski dalam keadaan gawat kesehatan juga secara instan menggugurkan relevansi tunda pemilu. Karena tidak masuk akal cerminan sukses yang dilakukan di masa lampau dalam keadaan darurat tidak diimplementasikan kembali pada pemilu lanjutan dengan keadaan yang diprediksi akan stabil.

Selanjutnya, kata Hurriyah, adanya penegasan dari penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tetap keukeuh melaksanakan pemilu pada tahun 2024 serta APBN yang sudah mencukupi, maka dari sisi kepemiluan syarat tunda pemilu sudah tidak berlaku lagi.

Jika berkaca dari aspek demokrasi, kata Hurriyah, sebagaimana hasil survei dari banyak lembaga menunjukkan jika suara mayoritas dari warga menginginkan kalau pelaksanaan pemilu tetap pada waktunya. 

Dengan demikian, menurut pada pertimbangan tunda pemilu dengan kondisi sekarang, maka aspek dari syarat-syarat yang bisa menunda pemilu tahun 2024 gugur.


Dinamika Tunda Pemilu Kontra Narasi dengan Civil Society

Dengan memperhatikan perkembangan isu wacana penundaan pemilu di Indonesia, Hurriyah menyimpulkan jika dinamika ini memperlihatkan kecenderungan authoritarian innovations (inovasi otoriter). 

Dimana situasi demokrasi dalam satu dekade terakhir diwarnai oleh kecenderungan perilaku otoriter yang dilakukan oleh elite politik dengan suasana demokrasi. Menurut Hurriyah, para elite ini tidak berusaha membalikkan sistem demokrasi, akan tetapi mereka memanfaatkan mekanisme demokrasi untuk agenda-agenda yang sifatnya non-demokratis.

Kemudian, Hurriyah juga menyimpulkan jika dinamika penundaan pemilu ini sebagai gejala shrinking democratic space (mengecilnya ruang demokrasi). Tentu saja kesimpulannya itu bukan tanpa alasan, karena dirinya menganalisa beberapa indikator dalam satu dekade terakhir yang memperlihatkan adanya tren penurunan ruang kebebasan untuk bisa merasakan kebebasan sipil dan kebebasan politik bagi masyarakat.


Jika Bukan Urgensi, Siapa yang Bermanuver?

Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Firman Noor PhD menyatakan, setidaknya ada tiga indikasi yang bermanuver terhadap wacana penundaan pemilu tahun 2024.  

Tiga indikasi ini lahir bukan atas argumentasinya, melainkan Prof Firman meminjam analisa dari seorang praktisi sekaligus teoritis paling ngetop di Indonesia, yakni Presiden Ir Soekarno.

Karena di akhir-akhir pemerintahan Bung Karno, terdapat selentingan isu yang bisa dikatakan mirip dengan kondisi wacana tunda pemilu sekarang, yaitu tentang dewan jenderal yang menimbulkan ketidakpastian hingga berujung pada sebuah pengkhianatan G30S/PKI.

Atas dasar analisa Ir Soekarno, Prof Firman menyebut ada tiga elemen yang bermanuver. Pertama, dari pimpinan partai. Kedua, subversif neo-colonialisme dan kapitalis imperialisme. Ketiga, oknum-oknum yang tidak benar.

Dalam renungan Prof Firman, tiga elemen itu pada hari ini eksis kembali tetapi dalam bentuk yang berbeda. Perbedaannya adalah kalau dulu isunya dewan jenderal, kalau sekarang penundaan pemilu.


Pimpinan Partai Keblinger

Kata Prof Firman, hari ini partai sedang sakit sehingga partai cenderung menjadi personalized party (personalisasi partai). Efeknya adalah demokrasi internal meredup dan kebanyakan pemimpin partai bisa melakukan klaim-klaim personal hanya karena berdiskusi dengan segelintir orang saja tanpa melibatkan banyak kalangan.

Berkaca kejadian sekarang, menurut Prof Firman, klaim politik yang dilakukan saat ini hampir mirip dengan statement yang dikeluarkan oleh Ketua Umum PKI dulu, bedanya hanyalah konteks isu yang dibahas saja.

Tektokan sekarang, pemimpin partai bebas melakukan statement atau manuver yang bisa saja keblinger, tanpa didiskusikan secara umum dengan anggota kader partai lainnya. PKI adalah contoh dari cerminan personalized party. Dalam artian, wacana penundaan pemilu hanya digaungkan oleh ketua umum saja, belum sepenuhnya para kader sependapat. Karena dahulu, gerakan G30S/PKI juga hanya digodok oleh beberapa orang saja, bahkan para kader PKI lainnya ada yang tidak tahu apa-apa.


Subversif Neo-Colonialisme dan Kapitalis Imperialisme

Tafsiran Prof Firman, ini adalah oligarki. Oligarki yang memang sudah menjadi musuh tradisional demokrasi Indonesia saat ini. Para kapitalis ini sedikit banyaknya sudah menjadi sosok diskusi rutin dengan para pimpinan partai. 

Dari banyak kajian, sebut Prof Firman, sosok kapitalis ini memanfaatkan kedekatan mereka dengan para pemimpin partai untuk mempertahankan privilege-nya. Bisa saja mereka memberi masukan-masukan ide atau menjadi penyokong pendanaan atau lain-lain.

Sehingga, di tengah kondisi tertib hukum yang ringkih, suasana ketimpangan yang begitu besar, kemandirian politik yang ringkih, atau partai yang tidak bekerja sebagaimana ideologinya, para oligarki ini mudah hadir.

Prof Firman menyatakan, sosok oligarki ini sangat agile (lincah), ketika mereka kehilangan patron utama yang dulu bernama Soeharto, kemudian melakukan manuver untuk mencari siapa yang bisa dijadikan proksi bagi kepentingannya. Mereka menemukannya. Patron yang sekarang adanya di partai-partai karena saat ini eranya partai.


Loyalis Bodoh, Munafik dan Tidak Dewasa Secara Politik

Manuver penundaan pemilu, menurut Prof Firman juga terdapat pada segerombolan oknum yang tidak dewasa secara berpolitik. Gerombolan oknum ini ada di politik teritorial (Polter), loyalis, penggembira, hypocrite (munafik), dan sebagainya.

Oknum-oknum ini, kata Prof Firman, ramai-ramai memanfaatkan situasi. Kalangan orang yang tidak benar, gerombolan yang tidak dewasa dengan terus menggaungkan konsep atau ide yang anti konstitusional. Naasnya, dengan santainya oknum ini mencurahkan ide yang melanggar, bahkan bergembira menyampaikan ide tersebut kepada publik. Sehingga percikan-percikan itu menjadi isu yang cukup mengganggu.


Ambiguitas Presiden

Selain dari analisis Ir Soekarno di atas, Prof Firman juga menyebut kalau manuver wacana penundaan pemilu ada juga di presiden yang ambigu. Apalagi pada presiden-presiden yang memiliki track record sering membantah perkataannya sendiri dengan apa yang dilakukan. Sehingga ambiguitas ini menimbulkan kecemasan warga.

Substansinya ialah, pertama dapat menghasilkan ketidaketisan berpolitik yang berpotensi pada pelanggaran konstitusional yang dilakukan tanpa ragu dan tanpa malu. Kedua, mundurnya logika berpolitik secara demokratis. Apalagi dengan adanya kegandrungan mendahulukan tertib sosial dengan memberangus hak politik demokratis dengan anggapan bahwa prosesi pemilu yang paling konkret itu dianggap mengganggu ekonomi.


Presiden Tetap Pada Sumpahnya

Stafsus Menteri Sekretaris Negara Faldo Maldini SSi MRes MIP menegaskan, Presiden Joko Widodo menanggapi isu wacana penundaan pemilu tetap pada sumpahnya, yaitu tunduk pada konstitusi dan perundang-undangan. 

Menurut Faldo, dalam kehidupan konstruksi bernegara, setiap kali ada isu yang berkembang di Republik Indonesia tidak serta merta adalah kesalahan presiden. Karena, jika terus-terusan menganggap kalau ada apa-apa di negeri ini, lalu disebut hanyalah maunya presiden, maka akan sulit memberi jawaban atas perkara tersebut. Apalagi yang bisa membuat puas orang lain.

Toh, kata dia, jawaban presiden yang mengatakan tunduk pada konstitusi saja masih dianggap bersayap oleh mereka. sehingga apapun statement yang dikeluarkan presiden menjawab isu wacana penundaan pemilu ini akan terus-terusan negatif di mata mereka.


Fokus Mengabdi, Tak Ada Waktu Ngurusin Gosip

Akhir-akhir ini, ungkap Faldo, Presiden Jokowi lebih fokus mengurusi kemaslahatan umat ketimbang terus-terusan mengcounter gosip pemilu ini. Presiden sudah move on meladeni gosip politik yang tak pernah habis itu.

Apalagi, kata Faldo, saat ini Indonesia sedang dihadapkan pada kondisi dimana harga-harga barang pada naik. Presiden sedang fokus ke sana, tak ada waktu mengurus hal-hal remeh yang belum tentu ada benarnya.

Isu wacana penundaan pemilu terkonsentrasi pada elite, sementara presiden fokus pada pengabdiannya untuk akar rumput. Sehingga isu wacana penundaan pemilu ini, kata Faldo, tidak sinkron dengan apa yang sedang difokuskan presiden sekarang.

Bahkan, Faldo berani menjamin bahwa tidak ada intervensi pemerintah sedikitpun terhadap gosip penundaan pemilu. 

Bila dikata ada kontra-narasi antara kabinet kementerian dengan statement presiden, menurut Faldo tidak ada masalah menyampaikan argumen di negara dengan sistem demokrasi. Bahkan itu konsekuen dari negara demokrasi itu sendiri. Berbeda-beda tanggapan, tapi landasan presiden tetap sama, yaitu tetap pada pendiriannya.


Kenapa Ada Perbedaan Pandangan?

Menjawab hal tersebut, Faldo meminta untuk mencari jawaban ke elite-elite parpol. Karena pihaknya tak ada kapasitas untuk menjawab hal tersebut. Pada dasarnya, Faldo tak ingin presiden diseret-seret dalam isu wacana penundaan pemilu. Karena, tegas Faldo, presiden bukan dalang dari wacana ini.

Taat Konstitusi, Bagaimana Bila Diamandemen?

Untuk jawaban ini, Faldo juga meminta konfirmasi pada orang-orang di DPR, apakah sudah ada gerakan politika dari partai-partai yang ingin amandemen konstitusi? Karena, setahu Faldo, anggota DPR mengatakan tidak ada sama sekali gerakan politik untuk mengubah konstitusi. (Akhyar) 

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda