Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Pelanggaran HAM dan Komitmen Pemerintah Memulihkan Hak Korban

Pelanggaran HAM dan Komitmen Pemerintah Memulihkan Hak Korban

Sabtu, 14 Januari 2023 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

Presiden Joko Widodo (kedua kanan) memberikan keterangan terkait pelanggaran HAM masa lalu di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu  (11/1/2023). Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu dan akan memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. [Foto: Antara Foto/Akbar Nugroho Gumay]


Keraguan YLBHI dan LBH

Bagaimana respon YLBHI dan LBH atas pernyataan presiden? Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI dan 18 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) se-Indonesia menyatakan khawatiran dan keraguanya.

YLBHI dan 18 LBH se-Indonesia menyatakan sikapnya pada Kamis (12/1/2023) malam. Mereka terdiri dari YLBHI, LBH Banda Aceh, Pekanbaru, Medan, Palembang, Padang, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Kalimantan Barat, Samarinda, Palangkaraya, Makassar, Manado, dan Papua.

"YLBHI dan 18 LBH Se-Indonesia khawatir dan memprediksi bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyampaikan pengakuan, penyesalan, dan jaminan ketidakberulangan terhadap 12 kasus pelanggaran berat hak asasi manusia hanyalah ilusi dan berhenti sebagai retorika kosong yang terus diulang”.

Dalam siaran Persnya, menurut para LBH, TPP HAM ini, malah tidak sesuai dengan undang-undang. Soalnya, Pasal 47 Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui cara ekstra-yudisial seperti itu harus dibentuk melalui undang-undang. Tapi, TPP HAM dibentuk bukan via UU tapi via Keputusan Presiden.

"YLBHI berpendapat Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPP HAM) tidak lebih dari pencitraan Pemerintahan Presiden Joko Widodo diakhir masa jabatannya”.

Seolah-olah memenuhi janji politiknya dan bagian dari langkah pemerintah untuk terus memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat, terlebih menjelang Pemilihan Umum 2024.

YLBH dan LBH ini menilai langkah pemerintah membentuk TPP HAM (Tim PPHAM) hanya pencitraan. Lagipula, menurut mereka, tak ada terobosan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat lewat pengadilan (yudisial). Hanya satu, yakni kasus Paniai, yang akhirnya tidak membuat puas YLBHI dan LBH.

"Keraguan YLBHI terhadap pernyataan Presiden tidak bisa dilepaskan dari rekam jejak Pemerintah dalam menyikapi berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi," kata mereka.

Hal-hal yang membuat YLBHI dan LBH ragu terhadap Jokowi antara lain soal Kejaksaan Agung yang dinilainya tidak serius. Jaksa Agung sempat menyatakan peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.

Hal lain yang membuat mereka ragu adalah Jokowi mengangkat sejumlah nama yang diduga terkait dengan kasus pelanggaran HAM berat. Di luar 12 kasus pelanggaran HAM berat, ada pula kasus-kasus lain yang tidak dimasukkan ke daftar.

YLBHI menyebut ada Operasi Militer Timor Timur (1975-1999), Peristiwa Tanjung Priok (1984), Kasus 27 Juli 1996, Tragedi Abepura (2000), Pembunuhan Theys Eluay (2001), dan Pembunuhan Munir (2014).

YLBHI dan LBH juga tidak sepakat dengan cara penanganan Papua dengan pendekatan keamanan. Mereka juga tidak melihat peta jalan yang jelas untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Maka, YLBHI mendesak Jokowi untuk memastikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat secara menyeluruh, bukan hanya pemenuhan secara non yudisial tapi juga secara yudisial.

"Mendorong pihak berwenang sebagaimana mandat UU Pengadilan HAM untuk segera melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta mengadili secara independen dan akuntabel semua orang yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu," kata YLBHI dan 18 LBH se-Indonesia.

Bagaimana kelanjutan dari pernyataan Presiden Jokowi yang bagaikan membawa angina segar ini. Penuntasan kasus pelanggaran HAM adalah kewajiban negara untuk menjunjung tinggi kemanusian. Jangan sampai melunturkan kepercayaan rakyat kepada negara, serta menggangu kemajuan peradaban Indonesia ke depanya.

Namun yang menjadi pertanyaan publik seriuskah pemerintah, Presiden Jokowi yang telah membuat pernyataan mewujudkanya keinginanya. Komitmenkah pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM?

Kalau hanya sekedar retrorika dan pencitraan seperti disebutkan banyak pihak, keinginan publik dalam pemulihan hak-hak pelanggaran HAM tidak akan terwujud. Seriuskah pemerintah untuk memulihkan hak-hak para korban pelanggaran HAM? Sejarah akan mencatatnya. [BG]

Halaman: 1 2 3 4 5
Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda