Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Kelemahan Qanun LKS, Menunggu Sikap Pemerintah Aceh

Kelemahan Qanun LKS, Menunggu Sikap Pemerintah Aceh

Senin, 03 Januari 2022 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Masih banyak persoalan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Aceh. Tahun 2022 ini kiranya berbagai celah itu mampu dijawab oleh mereka pengambil kebijakan. Aceh membutuhkan ketegasan dan keseriusan pemimpin untuk menjadikan LKS sebagai sumber kekuatan ekonomi rakyat.

Apa saja yang harus dijawab Pemerintah Aceh dan mereka yang mengambil kebijakan dalam LKS, bagaimana keinginan rakyat dan harapanya kepada LKS. Simak rangkuman cacatan berbagai keterangan dari mereka yang menaruh harapan pada LKS.

Wakil Dekan bidang Akademik dan Kelembagaan FEBI UIN Ar-Raniry, Dr. Hafas Furqani, M.Ec yang juga pakar ekonomi Syariah, dalam keteranganya kepada Dialeksis.com menjelaskan beberapa persoalan yang harus diperhatikan dalam menjawab tantangan LKS di Aceh.

Hafas Furqani meminta Pemerintah Aceh harus tegas soal 40 persen pembiayaan LKS disalurkan ke UMKM. Ketegasan Pemerintah Aceh sangat penting mengingat industri dan dunia usaha di Aceh didominasi UMKM.

Selain itu, Hafas Furqani berharap bank digital dan perkembangan fintech perlu didorong oleh pemerintah Aceh agar bisa dikembangkan oleh anak-anak Aceh sendiri.

“Saat ini, aplikasi Muslimlife yang dimotori Ustadz Tri Wahyudi, anak Langsa sedang mengembangkan Muslim Panin untuk transaksi pembayaran dan transfer berbasis online. Jaringan koperasi syariah di seluruh Aceh bisa mengunakan fintech tersebut,” jelasnya.

Berbagai sistem Pembayaran di Pemda, Pemkab, dan sekolah-sekolah juga menggunakam aplikasi tersebut. Untuk itu perlu ada perusahaan fintech yang pusatnya di Aceh.

Soal LKK ke prinsirp Syariah, Hafas Furqani menilai, 3 tahun Qanun LKS pemerintah Aceh perlu mengevaluasi beberapa ketercapaian amanat atau tuntutan Qanun. Seperti penyesuaian operasional LKK ke prinsip Syariah, beberapa BPR masih belum selesai proses konversinya. Banyak koperasi yang belum melakukan proses konversi.

“Peran pemerintah diperlukan dalam pendampingan dan memberikam bantuan kebijkakan dan teknis agar proses konversi segera selesai,” sebutnya.

Hafas Furqani mencontohkan, koperasi memerlukan DPS (Dewan Pngawas syariah) yang saat ini masih sangat sedikit. Pemerintah dapat memprogramkan pencetakan DPS bekerja sama dengan DSN - MUI.

Sementara itu, bagi LKK yang sudah menjadi LKS, perlu ada pengawasan dari pemerintah Aceh terkait kesyariahan LKS. DSA seharusnya memainkan peran tersebut, monitoring dan evaluasi perlu dilakukan.

Menyinggung tentang BSI yang bisa menjadi Bank Devisa, Dosen UIN Ar-Raniry yang meriah gelar doctor pada 2012 di International Islamic University Malaysia (IIUM) menilai, untuk menjadi Bank Devisa tentu ada ketentuanya BI dan OJK. BSI yang merupakan Bank Syariah hasil merger tiga bank, dengan modal besar bisa menjadi Bank Devisa.

Harapan yang hampir sama juga disampaikan, Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Aceh, Yusri. Dia menyebutkan ada satu pasal didalam Qanun LKS untuk adanya keberpihakan terhadap UMKM.

“Ditahun 2022, hendaknya semua perbankan atau industri keuangan yang ada di Aceh bisa memberikan porsinya 40 persen kepada UMKM,” ucap Yusri.

OJK akan mensupport untuk memberikan porsi 40 %. Walaupun Yusri mengakui, dengan pola seperti ini memang harus teliti terlebih dahulu, meskipun dirasa ini masih berat, inikan sudah menjadi keputusan pemerintah.

“Kita harus support, bank juga akan masuk kesitu, walaupun sekarang ini masih dibawah 20 persen rata-rata,” ujarnya.

Menurutnya, untuk saat ini alokasi dana 40 persen itu belum siap. Karena apa? Permasalahannya apa? Ada komposisi, kredit-kredit pembiyaan UMKM ini yang NPL nya masih tinggi, sebutnya.

Menurut Yusri, NPL ada pembiayaannya masih bermasalah atau kreditnya bermasalah. Makanya diminta mereka yang bermasalah itu, mainnya di bawah 5 persen.

“Ketika diatas 5 persen kami di OJK mengatakan untuk stop dulu, evaluasi dulu, mana yang bagus dan betul-betul kita saring terlebih dahulu,” jelasnya.

Yusri menjelaskan, sehingga angka 20 persen yang ditetapkan Bank Indonesia penuhi itu dulu. ketika sudah bagus, pelan-pelan, masyarakat sudah sadar, baru naikkan ke 40 persen, jadi harus pertahap, sebutnya.

Bantulah Anak Muda Aceh.....!

Ada keterangan yang menarik dan menyentuh disampaikan Tri Wahyudi , Founder and CEO di Aplikasi Muslimlife (PT. Digital Kreasi Muslim). Anak muda yang sudah membangun jejaring ini menilai, selama ini Qanun LKS ini lebih mempasilitasinya perusahaan luar untuk membuka cabang Panin Syariah di Aceh.

“Seharusnya yang didorong adalah bagaimana anak anak muda Aceh ini membuat tehnologi sendiri dan dipakai oleh Aceh, sehingga semua nilai ekonomi itu berputarnya di Aceh,” sebut Tri Wahyudi, menjawab Dialeksis.com.

Menurutnya, Pemerintah Aceh harus rela memberikan iventasi terhadap start up - star up asal Aceh, agar kemudahan fintech ini terimplementasi dengan baik, nilai syariah bisa dijaga, manfaat besarnya bisa dinikmati masyarakat Aceh.

Untuk itu dia mengusulkan Pemerintah Aceh harus memberikan bantuan subsidi. Bila selama ini ada Subsidi pendidikan, Subsidi kesehatan, kali ini pemerintah memberikan Subsidi kemurahan internet, dan keterjangkauan internet, karena sangat membantu pengembangan ekonomi masyarakat melalui finansial tehnologi.

Pemerintah Aceh harus berani inves untuk membimbing pengusaha Aceh atau anak anak muda Aceh yang mereka itu focus membangun finansial tehnologi, tidak harus terkoneksi dengan perbankan.

Menjawab Dialeksis.com, generasi muda yang kreatif dalam fintech ini panjang lebar menjelaskan, soal perlunya pemerintah Aceh dan pemangku kepentingan Qanun LKS untuk mengarahkan, membimbing para generasi muda dibidang tehnologi, agar penerapanya sesuai dengan nilai syariah.

Tri Wahyudi menyebutkan, perkembangan tehnologi itu selalu lebih cepat daripada perkembangan hukum. Karena tehnologi itu sering sekali mengikuti kehendak pasar, sementara hukum mengikuti apa yang disebut regulasi regulasi syariah termasuk didalamnya qanun LKS

“Terkait dengan Fintech sebenarnya secara kegiatan ekonomi syariah fintech itu dengan perbankan tidak ada jauh beda.Tetapi kenapa fintech itu lebih cepat, karena dia itu memenuhi kebutuhan basic dari pasar,” jelasnya.

Misalnya, pinjam meminjam berbasis digital, sangat cepat perkembanganya. Apalagi penetrasi perkembangan internet sudah 90 persen di Aceh. Oleh karena itu qanun LKS masih relevan, tetapi dalam pengimplemntasianya perlu adanya penyesuaian terkait dengan masalah fintech

Menjawab Dialeksis.com, terkait dengan lokalistik fintech berbasis syariah, Tri Wahyudi menyebutkan, anak anak asli Aceh untuk masuk ke Fintech ini sangat tinggi. Oleh karena itu perlu ada pembimbingan yang sangat intens dari para pemangku kepentingan qanun LKS.

Bagaimana mengerahkan para generasi muda yang bersemangat dibidang tehnologi, membutuhkan bimbingan agar penerapanya sesuai dengan nilai syariah.

Karena fintech ini sangat sulit untuk dikontrol, dia ada di HP kita. Siapa yang bisa kontrol, anak anak muda kita udah semangat, termasuk di kami komunitas progamer Aceh sendiri sudah menggalang yang namanya Muslimlifem yang focus pada fintech.

“Kami meminta bimbingan dari doctor ekonomi syariah yaitu doktor Hafas untuk membimbing kami. Saya ingin sebenarnya Qanun LKS ini harus mendukung anak muda local untuk membuat tehnologi, salah satunya fintech yang dibuat sendiri untuk kemapann ekonomi lokal sendiri,” sebutnya

Selama ini menurut Tri Wahyudi, Qanun LKS ini lebih mempasilitasinya perusahaan luar untuk membuka cabang panin syariah di Aceh. Seharusnya yang didorong adalah bagaimana anak anak muda Aceh ini membuat tehnologi sendiri dan dipakai oleh Aceh, sehingga semua nilai ekonomi itu berputarnya di Aceh.

Akses internet, 90 persen lebih sudah terjangkau. Rata rata menggunakan HP android. Untuk itu, Telkom maupun operator lain mau berinvestasi untuk Aceh agar akses internet yang lebih baik dan lebih cepat di Aceh.

Menurutnya, 70 persen internet itu digunakan untuk hiburan. Buktinya ada youtuber, selegram, tiktok dan lainya. Di Aceh penggemarnya banyak. Sekarang sudah ada perkambangan dalam sisi dakwah.

“Pemerintah kiranya ada mengedukasi untuk ini, kalau dulu ada subsidi untuk kesehatan, subdi pendidikan, sekarang saya usul subsidi untuk kemurahan internet dan keterjangkauan internet,” sebutnya.

Kalau bisa pemerintah wujudkan, kalau 98 masyarakat sudah mempergunakan fasilitas internet, untuk mengedukasi masyarakat jauh lebih cepat dan mudah, akan lebih bijak, akan bisa menangkal hoax atau penipuan online.

“Fintech dan tehnologi ini adalah basisnya start up, dia sangat focus pada pertumbuhan dan percepatan. Walau harus diakui kadang kala secara modal juga terbatas,” sebutnya.

Untuk itu, pemerintah harus berani inves untuk membimbing pengusaha Aceh atau anak anak muda Aceh yang mereka itu focus membangun finansial tehnologi tidak harus terkoneksi dengan perbankan.

Perbankan memiliki regulasi yang cukup ketat, sehinga pertentangan antara regulasi dengan inovasi itu sering terjadi.

Fintesh basisnya start up, artinya anak anak muda lebih lues, lebih pleksibel, ide idenya lebih berkembang. Oleh karena itu pemerintah harus menjadi incubator, harus menjadi pembimbing, jelasnya.

Pemerintah juga harus rela memberikan iventasi terhadap start up asal Aceh, agar kemudahan fintech ini terimplementasi dengan baik, nilai syariah bisa dijaga, manfaat besarnya bisa dinikmati masyarakat Aceh, sebutnya.

Sebuah harapan yang punya prospek ke depan dalam mengembangkan ekonomi Aceh, generasi muda Aceh sudah tampil dengan mengikuti perkembangan tehnologi, bagaimana sikap pemerintah?

Tantangan Membuka Peluang

Sikap memperbaiki diri, merubah minset sangat dibutuhkan dalam penerapan Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Di Aceh ada ribuan koperasi simpan pinjam (KSP) yang diupayakan konversi ke syariah. Namun di lapangan tidak semua koperasi di Aceh siap untuk menerima perubahan.

Kepala Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (Diskop UKM) Aceh, Ir Helvizar Ibrahim MSi, melalui Kepala Bidang Kelembagaan Diskop UKM Aceh, Teuku Kamaluddin SE MSi. Mengakui adanya tantangan itu.

Menurutnya, kegiatan sosialisasi Qanun LKS telah banyak dilakukan dan Penyusunan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Koperasi Pembiayaan Syariah sebagai turunan dari Qanun tersebut telah disampaikan ke Biro Hukum Sekretariat Daerah Aceh.

Akan tetapi, ungkap Kamaluddin, yang menjadi tantangan kegiatan sosialisasi Qanun LKS bidang koperasi, ada di pihak koperasi itu sendiri. Diskop dan UKM Aceh telah menyampaikan himbauan ke para pelaku koperasi namun masih ada juga koperasi yang belum mengkonversi sistem ke syariah.

"Kami sudah menyampaikan untuk dikonversi ke syariah, buktinya tahun ini (2021) ada 204 koperasi yang kami anggarkan untuk difasilitasi. Namun, kurang mendapat respon dari pihak koperasi, terpaksa anggaran direvisi,” sebut Kamaluddin.

Hasil revisi ada 151 koperasi yang mendapatkan fasilitas untuk konversi ke syariah, namun hasilnya tidak semua koperasi siap, hanya 129 koperasi yang mengajukan uang yang sudah sediakan.

Pihak Diskop dan UKM Aceh telah berupaya semaksimal mungkin, namun pelaku koperasi sendiri belum semuanya siap. Belum semua koperasi di Aceh telah bertransformasi ke sistem syariah.

Dijelaskan dari 3.535 KSP/USP yang tersebar di Aceh, hanya 15 KSP/USP yang menjadi binaan Dinas Koperasi UKM Aceh. 11 diantaranya telah menerapkan pola Syariah, ketersediaan Dewan Pengawas Syariah (DPS).

DPS untuk koperasi syariah kini sudah berjumlah 134. Artinya setiap 10 koperasi diawasi oleh satu DPS. Dengan jumlah DPS yang ada, seribuan koperasi juga masih sanggup diawasi DPS yang ada.

Pada 5 Januari 2022, Qanun LKS secara resmi akan berlaku di Aceh. Bila koperasi di Aceh belum bertransformasi ke sistem syariah, maka koperasi ini bakal terkena sanksi. Sanksi sudah diatur dalam Pasal 64 Qanun No 11/ 2018.

Bagi lembaga keuangan yang berada di Aceh tapi tidak menerapkan sistem syariah, mungkin sanksi yang berlaku akan diawali dengan sanksi administrasi, hingga ke pembubaran koperasi. Memang harus tegas bila ingin maju.

Bagaimana dengan peran ulama? Peran ulama disebut-sebut masih minim dalam mensosialisasikan Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Hal itu dikaitkan belum ada sinergisasi dan harmonisasi Pemerintah Aceh dengan ulama dayah dalam menyukseskan lembaga bersistem syariah.

Benarkah? Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh, EMK Alidar mengatakan, semua DSI tingkat kabupaten/kota di Aceh sudah menyerukan dan melibatkan para alim ulama untuk mensosialisasikan Qanun LKS.

“Namun karena jangkauannya sangat luas, maka tidak semua para ulama bisa kita ajak. Kita mengimbau ulama termasuk untuk membuat teks khotbah tentang LKS, dialog radio, di TV. Kita menghadirkan ulama-ulama yang ada di Banda Aceh, baik ulama dayah maupun kampus,” ujarnya.

Menjawab Dialeksis.com Alidar menyebutkan, untuk mengoptimalkan penyuksesan sosialisasi Qanun LKS di Aceh untuk awal tahun 2022, pihaknya akan terus mengajak para ulama. Untuk berkolaborasi bersama dalam mendengungkan Qanun LKS kepada umat agar semua paham apa diinginkan oleh Qanun LKS.

Pihaknya juga akan meminta peran para pelaku usaha di Banda Aceh bersama Dewan Syariah Aceh (DSA) untuk melakukan kegiatan sosialisasi.

“Sekarang ada dewan syariat, kita melibatkan dewan syariat untuk sosialisasi, baik di radio, atau TV. Ke depan tentu kita berharap juga DSA kabupaten/kota juga melakukan sosialisasi. Jadi hanya di Provinsi,” ungkapnya.

Alidar berharap ada tanggung jawab di kabupaten/kota , memberikan ouput di dalam membangun komunikasi bersinergis dari bawah sampai ke atas dalam memaksimalkan sosialisasi Qanun LKS, pintanya.

Melihat tantangan yang dihadapi Aceh dalam pengembangan Qanun LKS, sebenarnya bisa menjadi peluang yang menjadi masa depan lebih baik. Namun semua itu kembali ke sikap dan minset kita semuanya, apakah serius dan mau berubah. Kita lihat saja di 2022 ini bagaimana perkembanganya. *** Bahtiar Gayo


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda