Beranda / Data / Rata-rata Lama Sekolah Kota Subulussalam Terendah di Aceh

Rata-rata Lama Sekolah Kota Subulussalam Terendah di Aceh

Selasa, 16 Mei 2023 23:55 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Ilustrasi Siswa Sekolah Dasar [Foto: Antara]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk Provinsi Aceh mencapai 9,44 tahun pada 2022. Angka tersebut tumbuh 0,07 tahun dibandingkan pada 2021 yang selama 9,37 tahun.

Berdasarkan wilayah di 23 kabupaten kota Se-Aceh, Banda Aceh menjadi Kota dengan RLS tertinggi tahun 2022. Tercatat, RLS di ibukota Provinsi Aceh sebesar 13,03 tahun.

Urutan selanjutnya terdapat Kota Sabang dengan RLS sebesar 11,19 tahun. Posisinya diikuti oleh Kota Langsa dengan RLS sebesar 11,14 tahun. Disusul Kota Lhokseumawe dengan RLS sebesar 11,12 tahun.

Sementara, RLS di Kota Subulussalam menjadi yang terendah di Provinsi Aceh pada 2022, lantaran hanya sebesar 8,22 tahun. Di atasnya ada Kabupaten Aceh Timur dan Gayo Lues dengan RLS masing-masing sebesar 8,32 tahun dan 8,41 tahun.

Sebagai informasi, RLS didefinisikan sebagai jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk dalam menjalani pendidikan formal. RLS memiliki nilai minimum 0 tahun dan nilai maksimum 15 tahun.

RLS merupakan salah satu indikator yang menyusun Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Bersama dengan harapan lama sekolah, RLS masuk ke dimensi pengetahuan.

Menanggapi data diatas, Dialeksis.com meminta pandangan Direktur Jaringan Survei Inisiatif (JSI) Ratnalia Indriasari.

Dirinya mengatakan, dari sata yang tersaji diatas menunjukkan tingkat pendidikan tertinggi terpusat kota, hal itu dinilai karena akses informasi lebih terbuka lebar dan perkembangan pembangunan signifikan yang berada disana.

"Kota Banda Aceh, Sabang, Langsa dan Lhokseumawe angka rata-rata lama sekolah sangat tinggi, dikarenakan variabel pembangunan dan tata kelola pemerintahan setempat sangat menentukan," jelasnya kepada Dialeksis.com, Selasa (16/5/2023).

Namun, di Subulussalam sebagai Kota juga ternyata tidak memberikan pengaruh signifikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerahnya, dikarenakan tata kelola pemerintahannya memang tidak fokus dan tidak berhasil mengdongkrak kualitas pendidikan disana.

Hal lain yang perlu dinilai dari data tersebut, kata Indri, keberadaan anak-anak yang putus sekolah itu juga bukan karena faktor meninggalkan sekolah formal.

Tetapi, sambungnya, ada hal menarik ketika dicermati, bahwa banyak orangtua lebih percaya menitipkan sang anak ke dayah salafi, yang notabenenya pesantren salafi itu belum tersistem datanya di Kemenag dan Kementerian Pendidikan.

"Ini yang membuat data pendidikan yang berbasis pendidikan salafi dayah itu tidak betul-betul masuk dan bisa dinyatakan anak putus sekolah," terangnya.

Menurutnya, daerah yang RLS nya rendah terindikasi karena penanganan dalam meningkatkan kualitas pendidikan itu tidak dilakukan dengan serius dalam bentuk menyusun langkah strategis terhadap peningkatan layanan di daerah tersebut.

"Belum lagi dihadapi dengan bagaimana keterbatasan anggaran yang membuat orientasi terhadap fokus pengembangan pendidikan itu menjadi suatu hambatan dalam dunia pemerintahan," ungkapnya lagi.

Untuk itu, ia menyarankan, penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan harus jadi skala prioritas dari Pemerintah Aceh maupun kabupaten kota setempat. Dengan catatan mereka harus membangun suatu kolaborasi dan sinergisasi dengan provinsi dan nasional dalam upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya dari sisi pendidikan.

Hal lain juga penting, menurutnya, bagaimana masyarakat setempat yang memiliki peran eksternal itu juga harus peduli terhadap daerah dalam hal mendorong peningkatan pendidikan di daerah tersebut. [nor]


Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda