KPK: Pentingnya Pengawasan untuk Pencegahan Korupsi
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan bahwa pencegahan korupsi sangat bergantung pada pengawasan yang memadai.
Hal ini disampaikan pada gelaran webinar series yang bertema "Probity Audit Sebagai Upaya Efektif Pencegahan Korupsi" Selasa, 30 November 2021 sebagai satu rangkaian Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2021.
“Berdasarkan program MCP yang diinisiasi KPK, upaya pencegahan korupsi sangat bergantung pada pengawasan di pemerintah daerah, bukan hanya pemeriksaan kepatuhan tetapi juga termasuk identifikasi kelemahan dan upaya perbaikan tata kelola agar berjalan efektif,” ujar Plh. Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Aida Ratna Zulaiha di hadapan sekitar 1.500 peserta webinar yang terdiri dari APIP Pemerintah Pusat dan Daerah, Biro Hukum K/L/D dan ASN terkait.
Tahun 2020, lanjut Aida, Direktorat Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Antikorupsi berkolaborasi dengan Direktorat Koordinasi Supervisi KPK telah melakukan Diklat Probity Audit ke seluruh Aparat pengawasan Intern Pemerintah (APIP) di 34 Provinsi dan 514 Kab/Kota dengan jumlah peserta sekitar 876 orang.
Namun, sambungnya, mengacu pada capaian MCP tahun 2021 terkait indikator APIP khususnya Probity Audit, sayangnya, masih di kisaran 25,58 persen. Berkaca dari data tersebut, kata Aida, masih banyak ruang untuk perbaikan dan peningkatan skor. Hal ini, sambungnya, mengingat APIP memegang peran strategis sebagai sistem pengendalian intern pemerintah.
“APIP menjalankan assurance activity, consulting activity, dan anti-corruption activity,” tegas Aida.
KPK menyelenggarakan webinar ini untuk meningkatkan pengetahuan dan kapabilitas APIP dalam melakukan probity audit sesuai kriteria dan prosedur sesuai Perpres No.12 tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) Pemerintah dan Peraturan BPKP No.3 tahun 2019 tentang Pedoman Pengawasan Intern Atas PBJ pemerintah. Selain itu, data KPK menunjukkan modus operandi korupsi yang kerap terjadi dua di antaranya, yaitu penyuapan dan pengadaan barang dan jasa.
Koordinator Pengawas Bidang Ekonomi Kreatif Deputi Bidang Pengawasan Instansi Pemerintah BPKP Pusat Robudi Musa Sitinjak hadir sebagai narasumber menjelaskan tentang audit dan probity audit termasuk persamaan dan perbedaan keduanya.
Dia menyebutkan persamaannya, yaitu terkait ruang lingkup, kriteria yang digunakan, dokumen yang dibutuhkan, APIP yang melakukan dan keduanya bersifat assurance.
Sedangkan perbedaannya, kata Budi, terkait timing. Menurutnya, kalau audit dilakukan setelah PBJ selesai, sedangkan Probity Audit tersebar sepanjang PBJ sesuai durasi pelaksanaan dan dapat melakukan observasi.
“Kemudian kalau audit sifatnya temuan, sedangkan probity audit bersifat early warning mechanism,” terang Budi.
Mewakili LKPP, Analis Kebijakan PBJ Pemerintah Ketsia A. Laya memaparkan terkait Peraturan Presiden (Perpres) No.12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Perpres No 16 Tahun 2018 Tentang PBJ Pemerintah, sebagai salah satu acuan proses PBJ dan mejadi patokan ketika proses audit tahapan PBJ Pemerintah.
“Sebetulnya Perpres No.16 tahun 2018 masih berlaku, tidak seluruh pasalnya kita ubah, hanya beberapa poin yang kita ubah. Salah satu yang menjadi latar belakang perubahan yaitu UU Cipta Kerja di mana PBJ menjadi penggerak utama roda perekonomian,” jelas Ketsia.
Lebih rinci, Ketsia menerangkan poin perubahan kebijakan PBJ yang tercantum dalam Perpres No.12 Tahun 2021 di antaranya terkait UMK, koperasi, produk dalam negeri, SDM, kelembagaan, pelaku pengadaan, jasa konstruksi, pembinaan penyedia, dan e-Marketplace.
Terkait pembinaan penyedia, ujar Ketsia, LKPP telah melakukan pengaturan terkait sanksi dan daftar hitam. Pembinaan, katanya, sudah dilakukan oleh masing-masing sektor usaha misalnya untuk obat oleh Farmalkes Kemenkes dan BPOM, UMK oleh KemenkopUMK, jasa konstruksi oleh KemenPUPR.
Menurut data pengenaan sanksi daftar hitam tahun 2019, terdapat 348 penyedia terkena sanksi daftar hitam. 303 atau 90 persen penyedia tidak perform di antaranya penyedia tidak melaksanakan kontrak, tidak menyelesaikan pekerjaan, atau dilakukan pemutusan kontrak secara sepihak oleh PPK yang disebabkan oleh kesalahan penyedia.
“Kami perlu mengubah paradigma bahwa sanksi seolah-oleh hukuman, tapi justru sanksi itu untuk mengubah kapasitas penyedia. Begitupun daftar hitam, bukan untuk mematikan usaha penyedia, tetapi sebagai instrumen pembinaan,” jelas Ketsia.
Menutup sesi panelis, Ketsia menjelaskan beberapa tantangan implementasi PBJ salah satunya terkait potensi fraud seperti mark-up dan suap. Ia menegaskan bahwa aturan yang telah dibuat memang tidak sempurna dan tidak detail, sehingga masih terbuka ruang untuk inovasi dan perbaikan. Sehingga, katanya, hal tersebut masih menjadi tantangan bersama.
Selain itu, lanjut Ketsia, untuk menghindari fraud dalam PBJ dibutuhkan kualifikasi SDM yang profesional dan certified. Meskipun sistemnya sudah bagus, ujarnya, kalau manusianya tidak bisa dijaga, akan sulit untuk menghindari fraud. Demikian juga terkait Persekongkolan, menurut Ketsia, terjadi bukan hanya di antara PA, PPK, dan Pokja, tetapi juga di antara penyedia.
“Untuk itu kami memerlukan bantuan berbagai pihak termasuk Bapak/Ibu APIP untuk mengawasinya,” pungkasnya.