Kasus Korupsi Basarnas Harus Berjalan Sesuai UU
Font: Ukuran: - +
Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun (kiri)
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Mantan hakim agung Gayus Lumbuun mengatakan kasus dugaan korupsi di Basarnas harus berjalan berdasarkan undang-undang (UU) yang berlaku dan tidak boleh dihentikan. Kasus tersebut harus dituntaskan melalui peradilan bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana, yakni pengadilan militer.
Namun, kasus suap proyek pengadaan barang dan jasa yang menjerat Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfianto, dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto (ABC) tetap perlu melalui persidangan koneksitas.
“Koneksitas memang sudah lama sekali tidak muncul, saya tidak tahu apakah selama ini tidak diperhatikan. Saya tidak heran Danpuspom TNI datang saya tidak heran. Karena itu mereka meminta agar instrumen hukum itu berjalan sesuai UU itu,” ujar Gayus, Rabu (2/8/2023).
Gayus berpendapat KPK boleh menangkap tetapi harus memberitahu lembaga terkait, yaitu TNI. Sebab, pihak yang boleh menentukan status tersangka untuk dibawa ke pengadilan adalah TNI.
“Karena wilayah TNI. Perkara ini harus berjalan secara transparan agar publik jelas, publik tahu TNI menggunakan peradilan untuk melindungi atau sebaliknya menghukum seberat-beratnya prajurit yang korupsi,” tutur dia.
Sebelumnya, Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kasus suap di Badan SAR Nasional (Basarnas) berbuntut panjang. Timbul dorongan agar pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Direktur Eksekutif Imparsial Gufron Mabruri menilai UU Peradilan Militer dijadikan sarana impunitas personel TNI ketika melakukan tindak pidana.
Menurut dia, revisi beleid harus dilakukan guna memastikan proses hukum oknum TNI diadili lewat peradilan umum. ??
“UU Peradilan Militer hanya digunakan terhadap pelanggaran disiplin dan pengusutan tindak pidana militer, bukan pidana umum," kata Gufron, Sabtu (29/7/2023).
Dia berpandangan aturan sekarang membuat militer seperti punya rezim hukum sendiri. Hal itu dinilai bertentangan dengan prinsip semua pihak berkedudukan sama di mata hukum.
“Ini, kan, bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum," ungkap dia.