Beranda / Berita / Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Turun, Koordinator MaTA Ungkap Penyebabnya

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Turun, Koordinator MaTA Ungkap Penyebabnya

Kamis, 09 Februari 2023 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian. [Foto: Ist]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Penurunan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK/CPI) 2022 yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) membuat posisi Indonesia semakin mendekati deretan negara-negara terkorup di dunia. Bahkan di kawasan Asia Tenggara, IPK Indonesia berada di bawah Malaysia serta Timor Leste.

Menanggapi hal itu, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian mengatakan, penurunan IPK ini ada kaitannya dengan revisi Undang-Undang KPK pada 2019 lalu. Sebab, pada tahun-tahun sebelum UU KPK direvisi, nilai IPK Indonesia terus mengalami kenaikan.

"Artinya, selama ini bicara korupsi di Indonesia hal yang menonjol itu pertama karena kualitas secara kelembagaan KPK itu dianggap ada kontribusi pemerintah ataupun negara untuk memperkuat kelembagaan pemberantasan korupsi," kata Alfian saat diwawancarai Dialeksis.com, Kamis (9/2/2023).

Kedua, lanjutnya, setelah posisi KPK di era sakarang ini para pejabat negara, seperti Luhut ikut memberikan pernyataan soal penindakan kasus korupsi.

Sebelumnya, ada pernyataan kontroversi Luhut mengenai OTT pernah disampaikannya ketika memberikan sambutan dalam acara peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024. Luhut mengatakan OTT tidak perlu lagi dilakukan jika digitalisasi di berbagai sektor diberlakukan, termasuk E-katalog. Menurut Luhut, digitalisasi akan mempersulit orang untuk korupsi.

Ketiga, kata Alfian, hal yang menonjol lainnya soal korupsi Indonesia adalah negara dianggap berkolaborasi dengan para orang yang korupsi yang saat ini memiliki akses kekuasaan, sehingga potensi atau peluang untuk memperkuat terhadap tindak pidana korupsi malah terabaikan dan itu juga mempengaruhi kepada persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia sangat berkurang.

Lebih lanjut, kata dia, jika melihat tren sejak 2020 sampai hari ini, belum ada upaya dari pemerintah untuk memperkuat kelembagaan KPK dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi, karena indeks korupsi ini dihitung bukan hanya soal domain pemerintahan ini yang lebih kepada pencegahan, tapi lebih kepada penindakan yang dinilai karena tingkat korupsi yang tinggi sementara penindakannya lemah.

"Beda dengan pola yang ditonjolkan oleh pemerintah, misalnya langkah-langkah yang dilakukan dalam pencegahan tindak pidana korupsi, karena proses penindakan dan pencegahan ini harus sejalan tidak bisa penindakan dilemahkan sementara pencegahan ditonjolkan," jelasnya.

Lalu, kata Alfian, untuk memperbaiki indeks persepsi korupsi itu kedepan pemerintah harus menjadikan penindakan kasus korupsi ini sebagai agenda prioritas.

"Apalagi dengan kondisi ekonomi bangsa saat ini, artinya ini tidak hanya secara pernyataan tapi butuh juga untuk memperkuat perubahan regulasi, perlu memperkuat kelembagaan penegak hukum, tidak sebatas melakukan intervensi yang lebih kepada melemahkan kelembagaan pemberantasan tindak pidana korupsi," terangnya.

Kemudian, sambungnya, ketika ada partisipasi publik dalam percepatan penindakan pemberantasan tindak pidana korupsi ini harus direspons secara positif dan juga harus direspons secara kepastian hukum, sehingga kasus tindak pidana korupsi tidak hanya terkumpul secara administrasi tapi ditindaklanjuti dengan tuntas. [Nor] 

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda