Beranda / Berita / Erlanda: Aktor Dugaan Kasus Korupsi Beasiswa Aceh Perlu Ditelusuri Secara Transparansi dan Akuntabilitas

Erlanda: Aktor Dugaan Kasus Korupsi Beasiswa Aceh Perlu Ditelusuri Secara Transparansi dan Akuntabilitas

Senin, 13 Februari 2023 23:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Auliana Rizky

Erlanda Juliansyah Putra. [Foto: IST]


DIALEKSIS.COM | Aceh - Inisiator dan juga Anggota Solidaritas Advokat Aceh untuk Mahasiswa, Erlanda Juliansyah Putra sebut, aktor pelaksana korupsi beasiswa Pemerintah Aceh perlu ditelusuri, karena transparansi dan akuntabilitas yang jelas sangat penting, namun surat yang diajukan sampai hari ini belum direspon.

Terkait dugaan korupsi beasiswa Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah (BPSDM) yang telah ditetapkan oleh polisi, yakni ada tiga koordinator lapangan beasiswa Pemerintah Aceh senilai Rp22,3 miliar sebagai tersangka dugaan kasus tindak pidana korupsi. Hingga kini, sudah ada 10 orang yang menjadi tersangka.

Erlanda mengatakan, proses penyidikan kasus korupsi beasiswa Aceh sudah lama dilakukan oleh pihak kepolisian, tanpa mengurangi rasa hormat atas penyidikan dan penyelidikan yang cukup panjang, akhirnya keluarlah kurang lebih 10 orang yang ditetapkan sebagai tersangka.

Sejauh ini belum ada mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka. Jika dilihat keterangan dari Polda Aceh, tersangka terdiri dari pejabat pengelolaan beasiswa dan juga beberapa koordinatornya. Di mana koordinator ini juga nama-nama mereka relevan masuk dalam Solidaritas Advokat Aceh untuk Mahasiswa. Pada saat posko dibuka, nama-nama mereka ada dalam nama-nama yang dilaporkan pihaknya.

Lanjutnya, sejauh ini untuk temuan pemilik Pokir yang memang terlibat tidak disampaikan secara langsung. Pihaknya juga telah meminta agar ketemu, tetapi surat yang mereka ajukan tidak direspon. 

"Kita bukan ingin melakukan tekanan ke publik pada pihak aktornya, namun kita ingin kasus ini transparan dan akuntabilitas yang jelas," ucapnya dalam video kanal Youtube Jalan Ary Official yang dikutip Dialeksis.com, Senin (13/2/2023).

Banyak pihak yang mengatakan bahwa nama-nama yang disebutkan memang mengarah kepada pelaku tertentu, pihak polisi pasti punya bukti-bukti. Kemudian tinggal dilihat saja para koordinator berafiliasi pemilik pokir. 

Katanya, ini sangat disayangkan, karena hanya mereka yang terkena atau terkesan pasang badan. Jadi, hari ini mereka tersangka, istilahnya mengambinghitamkan dari pelaku utama tersebut.

Sebenarnya dari LPSDM dengan BPSDM ada transisi, sehingga ada dua KPA yang kena dalam hal ini, yang sangat disayangkan lagi adalah proses administrasi, memang proses verifikasi di sini kalau tingkat KPA tidak terlalu paham secara detail. Yang paham hanya orang bawah verifikator.

"Verifikator di sini terus terang aja karena pokir, artinya ada peran anggota DPRA untuk menitipkan nama-nama tertentu dari daerah dapilnya, karena selama ini mungkin ada di daerah pemilihan dia orang yang berhak bisa dibantu, tapi memang ngak memiliki akses," ucapnya.

Jadi, rekomendasi semacam itu yang diperuntukkan untuk lembaga seperti BPSDM. Tapi yang dikhawatirkan juga, nantinya akan terkesan bahwa dari 400 mahasiswa itu disebut tidak berhak menerima, tidak sesuai, dan sebagainya.  

Ia juga ingin menggunakan logika bahwa mereka mahasiswa, jadi selama kualifikasinya adalah seorang mahasiswa, dia termasuk ke dalam penerima manfaat. Dalam qanun memang kalau dia tidak berhak menerima, maka harus mengembalikan, mungkin itu yang digunakan untuk mencapai prestasi di penyidik untuk mengembalikan kerugian negara sebesar-besarnya.

Di sisi lain, jangan disasar dulu mahasiswanya, tetapi yang disasar adalah yang ada dalam hukum pidana tersebut, yakni aktor dan pelaksananya atau siapa dalang semua itu. Disebut juga sebagai aktor intelektual yang menyuruh koordinator di lapangan ketemu mahasiswa untuk mengambil uangnya. 

"Ini yang seharusnya ditelusuri, kalau dilihat dalam proses ini dari beberapa release yang dibaca terkesan bahwa karena cuma dasar pengakuan jadi tidak menjadi barang bukti, inilah kelemahan hukum kita," jelasnya lagi.

Misalnya proses penyidikan sudah dilakukan, namun endingnya tidak sesuai dengan harapan, dalam hal ini mereka yang ditetapkan sebagai tersangka. Maka, jika ada pihak-pihak yang memanfaatkan mereka untuk kepentingan mereka pribadi, ia menyarankan untuk mengajukan justice collaborator ke penyidik sejak awal, ini juga harus dilihat jernih secara hukumnya.

"Karena kebetulan saya ada beberapa kasus tindak pidana korupsi yang juga turun menjadi kuasa hukum, terkadang penyidik dalam hal ini terlalu memaksakan seseorang itu menjadi tersangka, ini mengarah pada proses diskriminasi, ini suatu hal yang tidak bagus bagi penegakan hukum atau law enforcement yang ada di Aceh ini," ungkapnya.

Mengapa demikian? Ini soal objektivitas penyidik sering kali terbantahkan saat proses persidangan, barang bukti yang disampaikan pada persidangan oleh penyidik dan ternyata dalam hal ini mungkin penasehat hukum mampu meyakinkan hakim bahwa seseorang itu tidak bersalah. 

Jadi, pada saat putusan itu bebas, maka harus dilihat dari dua kacamata, yakni pertama, kacamata soal keadilan secara transnasional yang terjadi bahwa memang penyidik salah menerapkan hukum dan yang kedua, publik akan menilai secara sinis bahwa keputusan ini seperti keputusan yang dibeli.

Namun, kita juga tentu harus mendukung dan menghormati proses penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Ini bukan hal yang gampang juga untuk mengumpulkan ratusan mahasiswa dan sejumlah informasi bagi penyidik.

"Kita sebagai masyarakat harus menilai secara objektif, saya pikir dengan keterbukaan informasi publik hari ini sudah sangat aware dengan informasi," tambahnya.

Persoalan hukum hari ini juga harus dilihat pada konteks keadilan, makanya kenapa harus digaungkan dengan justice collaborator bagi mereka yang mengungkapkan tindak pidana secara lebih luas yang akan dapat dispensasi hukuman.

"Publik juga jangan mudah percaya dengan informasi yang belum tentu kredibel, mungkin ada pihak-pihak tertentu juga yang memanfaatkan situasi tersebut," pungkasnya. [AU]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda