Serapan Anggaran APBA Rendah, Kemana Pemerintah Aceh
Font: Ukuran: - +
Pengamat Politik dan Pemerintahan sekaligus Peneliti Jaringan Survei Inisiatif (JSI), Farnanda M.A. [Foto: Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sejak UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh diberlakukan, pada saat itu pula kemampuan fiskal Pemerintah Aceh termasuk Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh mengalami peningkatan yang signifikan. Anggaran yang dikelola semakin besar yang salah satunya itu sebagai implikasinya adanya Dana Otonomi Khusus yang secara spesifik menjadikan Aceh istimewa karena mempunyai peluang besar untuk menggerakan roda pembangunan terutama gempa dan stunami, plus hamtaman konflik berkepanjangan. Dalam Pasal 19o UU Pemerintah Aceh disebutkan pada ayat (1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola APBA/APBK secara tertib, taat kepada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
Akan tetapi, nyatanya meskipun terus dilakukan pembenahan, tata kelola anggaran publik di Aceh khususnya di tingkat provinsi tidak mengalami perubahan yang signifikan dan berjalan konsisten dengan berbagai masalah. Salah satu masalah tersebut adalah daya serap anggaran! Padahal posisi Pemerintah Aceh memiliki peran strategis yang seharusnya harus mampu mengoptimalkan anggaran yang ada dengan pengelolaan keuangan daerah yang baik segingga bukan saja dapat meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat tetapi juga memberkan sinyal bahwa tata kelola pemerintahan yang dinakhodai Nova Iriansyah ini sudah berada pada posisi yang on the track. Kemampuan membelanjakan dengan baik tersebut menjadi bagian penting untuk melihat kemampuan birokrasi dalam menjalankan aksi nyatanya terkait perencanaan dan penganggaran.
Berdasarkan data yang dirilis https://p2k-apba.acehprov.go.id per 28 Juni 2021 terliat jelas bahwa daya serap anggaran yang masih sangat rendah. Target pada 30 Juni 2021 bahwa target 30,0 (keuagan) dan 35.0% (fisik). Dari target yang ada tersebut, per 25 juni 2021, tingkat realisasi keuangan masih dibawah target yakni baru mencapai 23,7% dengan realisasi fisik juga rendah yang mencapai 29,0%. Padahal capaian tersebut berada pada posisi kritis mengingat hari kerja yang tersisa hanya 5 hari saja.
Sorotan atas daya serap adalah pintu masuk untuk melihat kinerj atas anggaran daerah. Tentu debatnya pasti akan mengarah pada satu pernyataan sederhana: daya serap saja tidak cukup, mesti ada aspek kualitas atas belanja tersebut”. Pernyataan yang sering beredar tersebut benar adanya dan seharusnya memang begitu bahwa belanja anggaran daerah harus benar-benar berkualitas, bukan? Akan tetapi, persoalan berkualitas atau tidak itu, akan terhenti sendirinya jika sejak awal daya serap anggaran begitu rendah!
Dengan daya serap yang rendah itu, maka Pemerintah Aceh sebenarnya sudah secara terencana juga menghilangkan potensi memanfaatkan anggaran yang ada untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Buruknya tata kelola karena tidak mampunya Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) dalam menjalankan perannya telah menjadikan potensi yang ada menjadi sia-sia, anggaran tidak termanfaatkan dengan baik sehingga anggara yang tidak termanfaatkan (iddle money) menjadi kian besar. Dengan situasi demikian, sejak UU Pemerintah Aceh diberlakukan maka tidak tervantahkan jika kemudian sinyalir publik makin kuat bahwa dalam masa tiga tahun terakhir diprediksikan daya serap APBA menjadi paling buruk dalam tiga tahun terakhir.
Prediksi: Nasib APBA 2021
Dengan situasi yang ada tersebut, diprediksikan APBA Tahun Anggaran 2021 akan semakin besar pula SiLPA yang akan terjadi mengingat begitu lambanya daya serap anggaran. salah satunya terkait dengan realisasi proyek. Data per 25 Juni 2021 disebutkan bahwa dari toatl 1.575 paket kegiatan yang tersebar di 36 SKPA tersebut, baru 47 paket (3%) paket yang baru dilakukan tanda tangan kontrak, sedangkan yang baru ada pemenangnya sebesar 94 paket (6%). Data lainnya menunjukkan terdapat 208 paket kegiatan (13%) yang sudah tayang dan sebanyak 557 paket kegiatan (35%) yang belum tayang. Sisanya sebesar 669 paket kegiatan (43%) yang sama sekali belum serah terima dokumen.
Makin besar peluang terjadinya daya serap anggaran yang rendah adalah birokrasi pada akhirnta juga akan memanfaatkan alasan klasik bahwa akan lebih memilih realisasi paket kegiatan ditunda pelaksanaan pada tahun anggaran 2021 ini demi menghindari jeratan korupsi. Bukankan selama ini alasan demikian banyak dibunyikan dari birokrasi? Kesannya takut terjadi korupsi anggaran padahal sejak awal sudah mendesain perencanaan dan penganggaran yang tidak akuntabel dan sarat dengan kepentingan politik korup. Bukankah cara demikian karena makin buruknya tata kelola APBA!
Jika nantinya SiLPA pun tidak membengkak, pasti kualitasnya akan amburadul. Kejar tanyag diakhir tahun anggaran dalam banyak sejarah belanja anggaran daerah, tidak banyak menghasilkan kebaikan bagi publik selain Aceh akan semakin kehilangan momentum bagi dirinya sendiri dalam memanfaatkan anggaran yang ada.
Kita mungkin lupa bahwa Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang selama ini kita bangggakan, umurnya semakin senja. Dalam Pasal 183 ayat (2) bahwa Dana Otonomi Khusus tersebut berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% (satu persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional.
Dengan sisa waktu yang sudah ada, mestinya Pemerintah Aceh di bawah Gubernur Nova tidak lagi mengulang lagi kesalahan-kesalahan yang sama dalam pengelolaan APBA. Menjelang masa Dana Otsus tinggal satu periode Gubernur lagi, semestinya birokrasi bersama TAPA dalam merencanakan dan mengelola APBA tak lagi serampangan. Akan tetapi, nyatanya Pemerintah Aceh, tetntunya bersama DPRA, sama-sama bekerja keras membuat anggaran publik itu menjadi kehilangan maknanya. Keduanya sama-sama tidak ada upaya menarik rem darurat bahwa kondisi tata kelola APBA yang amburadul. Sebaliknya, yang ada adalah tebar pesona, pencitraan dengan ragam rupa diselingi debat kusir soal dana aspirasi, proyek multiyear, kepuraan-puraan soal refocusing anggaran untuk COVID 19. Paling ironi kemudian adalah trik yang memanas antara keduanya yang sebenarnya hanya sekedar kepentingan politik praktis lainnya menjelang sukses Gubernur yang baru. BukankaN ini lakon-lakon yang tidak sehat untuk memperbaiki cara kita membelanjakan uang rakyat bernama APBA?