Beranda / Analisis / Peluang Jokowi Meraup Suara Pilpres 2019 di Aceh

Peluang Jokowi Meraup Suara Pilpres 2019 di Aceh

Rabu, 19 September 2018 07:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Presiden Joko Widodo (kanan) mengenakan busana aceh didampingi Ibu Negara Iriana Joko Widodo (kiri) menyapa tamu saat Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan ke-73 di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (17/8/2018)(Foto: ANTARA FOTO)

Aryos Nivada

Peneliti Jaringan Survei Inisiatif


Dalam hitungan bulan menuju ke tanggal 17 April 2019 Indonesia akan memilih presiden dan wakil presiden masa bakti 2019-2023. Perhelatan itu berlangsung di seluruh daerah (provinsi) di Indonesia, salah satunya Provinsi Aceh. Menariknya kontestan yang maju masih wajah lama  (rematch) secara posisi calon presidennya. Perubahan hanya pada wakilnya saja, sehingga paket di Pilpres 2019 yaitu Joko Widodo menggandeng Ketua MUI Maruf Amin dan sang penantang Prabowo Subianto bersama wakilnya Sandiaga Salahudin Uno.


Aceh jika dibandingkan jumlah pemilih di provinsi yang berada di tanah Jawa jauh sekali perbedaan. Disebabkan populasi pendudukan yang terlalu besar berdampak pada jumlah pemilih yang besar. Mencermati dari data jumlah pemilih Jawa Barat saja misalnya yang mencapai sampai 31.730.042 orang, merujuk pada data DPT milik KPU.  Daerah kedua dengan jumlah pemilih terbesar yakni Jawa Timur dengan jumlah pemilih mencapai 30.155.719 orang. Daerah selanjutnya yang memiliki jumlah pemilih terbesar yakni Jawa Tengah, yakni mencapai 27.068.500 orang. Semantara jumlah pemilih yang disahkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019 di Provinsi Aceh adalah sebanyak 3.453.990 jiwa.


Hal terpenting untuk calon presiden dan wakil presiden bukan dilihat pada jumlah pemilihnya, akan tetapi ada sesuatu yang tidak terjelaskan dan difahami di nasional maupun di Aceh. Tentunya memunculkan pertanyaan mengapa Aceh strategis untuk dimenangkan para kandidat presiden di Pilpres 2019 ? Bagaimana peluang kemenangan kandidat presiden di Aceh ? Seperti apa petanya, disinilah penulis ingin menganalisisnya dengan pendekatan logika "Political Rational" .


Mengapa Aceh Strategis?


Aceh memiliki peranan strategis tidak hanya karena Aceh sendiri telah dikenal sebagai daerah modal dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Tetapi juga, jika calon presiden mendapat dukungan dari Aceh, maka dapat dilihat secara nasional nilai dukungan pemersatu Indonesia melalui Aceh akan bernilai positif dimata provinsi lain. Namun lebih daripada itu, pasangan calon harus menang di Aceh disebabkan Aceh merupakan wilayah  yang memiliki faktor penting dalam mempengaruhi nasionalisme ke-Indonesiaan. Oleh karena itu untuk meraih posisi kemenangan di Aceh merupakan prioritas penting bagi para calon presiden pada Pilpres 2019 nantinya.


Hal terpenting lainnya adalah Aceh sebagai daerah modal bagi Indonesia merupakan perekat nasionalisme dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dikarenakan Aceh dikenal daerah yang berjasa besar kontribusinya bagi negara ini. Disisi lain, Aceh sebagai simbol penentangan terhadap pemerintah Indonesia atas ketidakadilan yang dilakukan di bumi Serambi Mekkah pada beberapa waktu yang silam. Atas dasar itulah, maka kemudian Aceh perlu dilihat sebagai sebuah teritorial strategis untuk dimenangkan pada Pilpres 2019.


Membaca peta politik Pilpres Aceh diatas kertas berdasarkan hitung-hitungan jumlah kursi di parlemen lokal (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/DPRA) maka yang terlihat lebih unggul partai pengusung Prabowo-Sandi. Meski dukungan politik Pasangan Jokowi-Maruf didukung oleh lebih banyak partai yaitu sebanyak 9 partai pengusung meliputi; PDIP, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, dan Hanura, serta partai pendukung; Perindo, PSI, dan PKPI. Tetapi mirisnya secara kekuatan politik pasangan ini hanya didukung oleh 25 kursi (30,86%). Hanya empat (4) parpol pendukung Jokowi-Maruf yang memiliki kursi, sedangkan sisanya  lima (5) partai tidak memiliki kursi sama sekali di DPRA. Disitulah kekurangan basis dukungan dan usungan partai politik kepada Jokowi yang lemah dari keterwakilan di parlemen Aceh.


Berbanding terbalik dengan kekuatan politik pasangan Prabowo-Sandi. Catatan pentingnya partai pengusung Prabowo-Sandi mayoritas di DPRA, dimana partai pengusung berjumlah enam partai meliputi; Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, dan Partai Aceh. Akumulasi dari keseluruhan partai pengusung sebanyak 51 kursi (62,96%) dari 81 kursi yang tersedia. Fondasi utama dukungan diperoleh dari partai lokal yaitu Partai Aceh yang memiliki 29 kursi di DPRA.


Harus diingat bahwa apapun cerita, partai politik memiliki basis konstituen yang loyal dan setia yang dapat dijadikan modalitas awal dukungan suara pada Pilpres 2019 nantinya. Hitungan diatas menjadi catatan serius dari kubu Joko Widodo dan Maruf Amin untuk memikirkan strategi dan langkah-langkah yang efektif mengambil basis dari partai pengusung dari kubu Prabowo-Sandi.


Tapi bilamana kita lihat disisi lain terkait menakar peluang kemenangan Joko Widodo-Maruf Amin di Aceh. Jika hitungan-hitungan jumlah partai pengusung Prabowo-Sandi jelas kalah telak kubu Jokowi-Maruf. Tetapi masih ada modalitas lain yang dimiliki Jokowi yang tidak dimiliki Prabowo sebagai kekuatan politik di Aceh.


Peluang Jokowi Maruf di Aceh


Pada Pilpres 2014 posisi Prabowo menang tipis dengan Jokowi. Pilpres 2014 lalu, di wilayah pesisir, seperti Aceh Utara, Prabowo unggul dengan 125.359 suara, Jokowi 82.486 suara. Di Pidie Jokowi unggul dengan 93.308 suara, Prabowo 72.241 suara. Di wilayah tengah, Aceh Tenggara unggul Prabowo dengan 73.999 suara, Jokowi 40.413 suara. Aceh Tengah unggul Jokowi dengan 57.882 suara, Prabowo 40.552 suara.


Di wilayah Barsela (Barat Selatan), Nagan Raya unggul Jokowi dengan 38.848 suara, Prabowo 35.565 suara. Aceh Selatan Prabowo unggul dengan 55.551 suara, Jokowi 41.182 suara. Melihat hasil Pilpres 2014 lalu, jelas basis suara Jokowi berada di wilayah tengah Aceh, sedangkan barat selatan, pantai utara dan ibukota nyaris kemenangan diraup oleh Prabowo. Akan tetapi yang menarik, meski wilayah tersebut Prabowo menang pada Pilpres 2014 , akan tetapi perolehan suara yang diperoleh beda tipis.


Demikian juga dengan total akumulasi suara ketika Pilpres 2014, pasangan Prabowo Hatta menang tipis dari Jokowi-Jusuf Kalla dengan  meraih 1.089.290, sedangkan Jokowi-JK 913.309 suara.  Sehingga ada selisih sekitar 175.981 suara pada Pilpres 2014 lalu. Padahal saat di Pilpres 2014 posisi Partai Aceh (PA) masih solid. Kondisi terkini hari pucuk pimpinan di dewan syuro Partai Aceh seperti  Zaini Abdullah, Zakaria Saman tidak lagi berada di PA.


Hal lainnya diperparah dengan mualem effect tidak lagi berpengaruh, dibuktikan hasil Pilkada 2017 di kabupaten/kota kader PA banyak menentang dan maju melalui jalur independen dan partai lainnya. Terpenting perlu juga ditekankan, bahwa perpecahan diinternal Partai Aceh, ditambah lagi tokoh-tokoh berpengaruh sudah hijrah ke partai nasional serta kekuatan finansial kepartaian yang mulai melemah mempengaruhi kerja-kerja politik pada Pilpres 2019 untuk bekerja memenangkan Prabowo-Sandi.


Di tingkat kabupaten/kota pun pasangan calon kepala daerah yang diusung  PA juga mengalami kekalahan di 10 wilayah dari 20 wilayah yang diusung. Sepuluh titik hasil Pilkada yang dimenangkan oleh kader PA adalah: Langsa, Aceh Timur, Aceh Utara, Lhokseumawe, Gayo lues, Sabang, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Simeulue. Ditambah satu daerah Pidie Jaya yang menang pada Pilkada 2018. Jadi kader Partai Aceh masih eksis di 11 kabupaten/kota.


Sementara sepuluh daerah yang mengalami kekalahan adalah: Singkil, Abdya, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Tamiang , Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan Banda Aceh (Pleno KIP kabupaten/kota pilkada2017.kpu.go.id). Hasil  ini jelas merupakan pukulan telak bagi PA sebab performa partai lokal ini dinilai jauh merosot dibandingkan pada Pilkada 2012.


Tidak solidnya pemimpin PA dalam pemenangan Prabowo-Sandi terlihat dari pernyataan pucuk pimpinan PA yaitu Abu Razak yang mendukung pasangan Jokowi Maruf. Terbukti dengan dukungan Abu Razak yang terang-terangan mendukung Jokowi. Terlepas terselip agenda strategi "Politik Belah Diri" yang dilakukan PA maupun agenda politik personal Abu Razak. Namun masyarakat Aceh menilai bahwa Partai Aceh terkesan tidak "sepenuh hati" dalam pemenangan Prabowo-sandi.


Strategi dua kaki yang dimainkan PA kemungkinan dikarenakan menyadari bahwa kekuatan pasangan calon Jokowi dan Maruf Amin memiliki peluang besar menang di tingkat nasional. Dengan demikian dapat dipastikan kekuatan PA, terutama di level akar rumput (grass root) akan terpecah sebagian mendukung pasangan calon Prabowo-Sandi dan sebagian lainnya mendukung Jokowi-Maruf. Hal ini merupakan keuntungan bagi pasangan calon Jokowi-Maruf karena mendapatkan kekuatan tambahan dari PA.


Selain itu kekuatan partai pengusung di kubu Prabowo dalam konteks lokal Aceh, secara finansial terlihat agak lemah. Hal ini dikarenakan dana aspirasi yang tidak ada pada tahun ini. Kemudian di PA sendiri bukan partai yang memegang kendali di eksekutif.  Kebalikannya di Partai Nasional Aceh (PNA) merupakan partai pendukung resmi Irwandi-Nova saat Pilkada, selain Demokrat, PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Damai Aceh. Kesemua partai pengusung memegang kendali di kekuasaan eksekutif di level provinsi. Di DPRA, PNA hanya memiliki tiga dari 81 kursi, sementara Demokrat memiliki delapan kursi dan PKB satu kursi.


Hal ini belum lagi bila dilihat pada level PA di kabupaten/kota, dimana  tidak linear terhadap usungan provinsi. Disisi lain Jokowi sendiri punya ikatan emosional dengan orang Aceh. Jokowi pernah tinggal di Aceh Tengah saat bekerja sebagai karyawan PT. Kertas Kraft Aceh pada 1986-1988, memang memiliki ikatan emosional yang erat dengan warga tanoh Gayo.


Ketika itu Jokowi tinggal di Rembele yang kini menjadi bagian wilayah Kabupaten Bener Meriah. Ikatan emosional dengan Aceh itu kemudian ditunjukkan oleh Jokowi, ketika mengenakan busana adat Aceh di Istana Merdeka saat pembacaan detik-detik proklamasi pada tanggal 17 Agustus 2018 lalu. Kemudian pada pembukaan Asian Games pada 18 Agustus juga, tarian Aceh ratoeh jaroe menjadi tarian pembuka yang kemudian mendapatkan apresiasi dari masyarakat Aceh dan luar negeri. Tak pelak sebagian pihak kemudian menilai bahwa hal ini sebuah pesan yang ingin disampaikan Jokowi, bahwa  Aceh adalah sebuah wilayah strategis yang perlu keseriusan dalam menggarap suaranya.  tentunya ini menjadi modal bagi Jokowi dalam meraih suara di Aceh.


Yang tak kalah penting, pengaruh kebijakan elite yang berkuasa di level nasional mempengaruhi kondisi politik di tatanan politik Aceh. Dikarenakan urusan Pilpres sering linear dengan daerah-daerah di Indonesia, termasuk di Aceh. Sehingga perlakuan strategi politik, pengerahan operasi pemenangan mampu mengubah peluang yang lemah menjadi menang. Disinilah tim sukses Prabowo-Sandi dan Jokowi-Maaruf perlu secara sistematis, efektif dan tepat dalam merumuskan program-program pemenangan pada Pilpres 2019 yang prosesnya telah dimulai sejak tahun ini. Selain program, sudah barang tentu kompetensi jaringan dan pemanfaatan sumber daya manusia (sdm) lokal yang digunakan, dilibatkan dan digalang sebagai tim sukses di daerah perlu didesain dengan sebaik mungkin. Tentulah semuanya kembali kepada tim relawan dimasing-masing, pasangan kedua kandidat presiden harus jelih serta mampu menyusun/merumuskan strategi jitu meraih suara, termasuk dalam penentuan person-person yang kapabel di daerah dan nasional.  (*)



Keyword:


Editor :
AMPONDEK

riset-JSI
Komentar Anda