Wacana Pelegalan Tambang Ilegal, Begini Kata Pengamat Lingkungan
Font: Ukuran: - +
Reporter : fatur
TM Zulfikar, Pemerhati Sosial dan Lingkungan Aceh. [Foto: Istimewa]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Adanya wacana pelegalan tambang ilegal menuai kritik dari banyak pihak, namun sejatinya pelegalan ini tetap ada sisi positif dan negatif.
TM Zulfikar, Pemerhati Sosial dan Lingkungan Aceh mengatakan terkait wacana pelegalan tambang sejauh tidak menyalahi regulasi atau aturan perundang-undangan yang berlaku, hal tersebut bisa saja dilakukan.
Menurutnya, selama ini memang banyak sekali adanya aktivitas berbagai tambang ilegal yang dilakukan oleh masyarakat, misalnya terkait penambangan emas tanpa izin (PETI) atau berbagai jenis usaha tambang mineral dan batubara (minerba) yang harus segera ditertibkan oleh Pemerintah.
"Salah satu yang paling mungkin dilakukan adalah penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR)," ujarnya kepada Dialeksis.com, Selasa (2/8/2022).
Ia menjelaskan, pertambangan rakyat adalah salah satu usaha pertambangan bahan-bahan galian yang dilakukan oleh rakyat atau masyarakat setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk pencahatian sendiri.
Lanjutnya, undang-undang (UU) Minerba selama ini mengakomodir kepentingan tambang rakyat karena selain memecahkan persoalan yang selama ini terjadi, di lain pihak merupakan bukti konkrit pengakuan terhadap eksistensi keberadaan tambang rakyat sebagai hak-hak kelola mereka.
"Tentunya apabila dilakukan pembinaan dengan baik, merupakan salah satu potensi ekonomi lokal yang dapat menggerakkan perekonomian di daerah tersebut," jelasnya.
Dengan adanya legalisasi terhadap pertambangan rakyat, maka akan ada beberapa keuntungan dan dampak positifnya diantaranya yaitu:
1. Dapat menanggulangi persoalan sosial dan ekonomi, terbuka dan terciptanya lapangan kerja baru
2. Membangkitkan jiwa wirausaha di daerah
3. Mencegah terjadinya urbanisasi (perpindahan penduduk dari desa ke kota)
4. Mencegah terjadinya penambangan tanpa izin dan dapat menekan dan mengendalikan terjadinya kerusakan lingkungan, ini dikarenajan dilakukan pada wilayah yang sebelumnya telah ditetapkan peruntukannya sebagai wilayah pertambangan rakyat (WPR).
"Terkait penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) sebenarnya sudah ditegaskan juga oleh UUD 1945 Pasal 33, ayat 1-5 dan juga UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah," tukasnya.
Lanjutnya, tapi tentunya terhadap pemberian izin pertambangan tersebut harus dilakukan secara cermat sesuai tahapan yang telah diatur. Sebelumnya, UU No. 4 tahun 2009 Pasal 22 telah mengatur kriteria penetapan wilayah pertambangan rakyat.
"Kalau bicara dampak positif dan negatif sudah pasti ada. Dampak positif tentunya sebagaimana yang saya sebutkan. Tapi jika tidak dilakukan penertiban dan pembinaan yang baik bukan tidak mungkin akan semakin memperparah kondisi lingkungan kita, dan itu sudah terjadi di beberapa lokasi di Aceh, dimana tambang-tambang ilegal semakin luas," ungkapnya
"Lalu jika yang ilegal tersebut terus saja dibiarkan, kemudian terjadinya berbagai kerusakan dan bencana lingkungan, pertanyaannya siapa yang akan bertanggungjawab? Sementara penegakan hukum terkait berbagai kegiatan ilegal masih sangat lemah," tambahnya.
Menurutnya lagi, kerusakan hutan, daerah aliran sungai (DAS) akibat penambangan ilegal sudah terlihat saat ini. Oleh karena itu, Zulfikar mengatakan, perlu segera dicarikan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak dan dipastikan tidak semakin meningkatkan kerusakan lingkungan serta mampu mengangkat perekonomian masyarakat kita yang selama ini semakin terpuruk. [ftr]