Beranda / Berita / Aceh / UU ITE, Kerusakan Luar Biasa bagi Hukum Adat Aceh

UU ITE, Kerusakan Luar Biasa bagi Hukum Adat Aceh

Selasa, 28 September 2021 22:20 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul Putra Mutia. [Foto: Ist.]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pasca lahir Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), fenomena lapor-melaporkan atas dasar pencemaran nama baik seolah sudah membudaya di tengah masyarakat.

Aparat penegak hukum di Aceh akhir-akhir ini juga telah banyak bergelut dengan pelaporan delik pencemaran nama baik. Padahal desain UU ITE yang awalnya bertujuan agar dapat meminimalisir kerugian akibat ujaran kebencian, namun telah mereformasi dan memberikan dampak cukup besar pada kerusakan sosial di tengah umat.

Berkenaan dengan kasus pelaporan pencemaran nama baik, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul Putra Mutia mengatakan terdapat dua hal yang perlu dicatat soal pelaporan kasus pencemaran nama baik.

Pertama, bagi warga negara yang merasa haknya telah dilanggar atau menganggap dirinya telah merasa dirugikan, maka ia punya hak untuk membuat laporan atas pencemaran nama baik.

Namun, lanjut Syahrul, tolok ukur penanganan kasus pencemaran nama baik ini tidak boleh dilakukan secara subjektif, melainkan harus objektif dalam penanganannya.

Misalnya, ungkap Syahrul, jika pengadu yang dicemarkan nama baiknya itu menerima dampak semisal akibat difitnah seseorang ia dipecat dari jabatannya atau menjadi buah bibir dan bahan gunjingan dari banyak orang, maka pihak penyidik selaku aparat hukum harus objektif dalam memenuhi unsur perkara.

Kedua, apabila yang dikritik adalah jabatan publik (bukan sosok) meskipun memiliki dampak akibat kritikan itu, maka seseorang di instansi itu nggak bisa melaporkan pengkritik ke pihak berwajib atas tuduhan pencemaran nama baik.

“Jika yang dikatain itu jabatan (bukan sosok) atau instansi publik dan demi kepentingan publik juga, maka perkataannya ini masuk ke kritikan dan bukan pencemaran nama baik. Jadi harus mampu dipisahkan kedua ini,” ujar Syahrul kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Selasa (28/9/2021).

Seandainya dua hal di atas ini tidak mampu dibedakan, kata Syahrul, maka aparat penegak hukum hanya akan mengurus masalah-masalah yang dianggap sepele saja. Padahal pemilahan objektivitas dalam penyelidikan harus diutamakan selama kasus pencemaran nama baik ini dilakukan proses hukum.

Namun, lanjut Syahrul, akibat banyaknya penegak hukum yang tidak bisa membedakan mana persoalan pencemaran nama baik dan mana yang bukan, membuat struktur sosial penegakan hukum menjadi berantakan.

“Kalau dulu masih bisa kita selesaikan cukup dengan meminta maaf. Tetapi karena memang aparat penegak hukum kita tidak mampu memilah yang begitu-begituan, sehingga struktur sosial penyelesaian yang secara kekeluargaan, secara adat dan budaya juga berimbas besar,” ungkapnya.

Belakangan ini, pemerintah pusat melalui Kejaksaan, Mahkamah Agung, maupun pihak Kepolisian mengeluarkan skema Restorative Justice (keadilan restoratif). Dimana keadilan restoratif ini ialah penyelesaian sengketa di luar ruang pengadilan.

Namun, kata Syahrul, perlu dipahami bahwa skema Restorative Justice ini bukanlah sebatas prasyarat penyelesaian di luar pengadilan. Akan tetapi Restorative Justice ini harus mampu merekonsiliasi kedua belah pihak yang bertikai agar benar-benar selesai, dalam artian bukan hanya sebatas tanda tangan di dokumen pernyataan dari masing-masing pihak.

“Nggak boleh dianggap sebagai prasyarat untuk tindak pidana. Masalahnya kan sekarang dianggap sebagai prasyarat. Sehingga cuma butuh satu dokumen saja, dianggap telah selesai. Nggak akan selesai itu. Tapi kalau ini dianggap sebagai nilai, maka penyelesaiannya harus didorong ke sana. Dibangun juga konsepnya,” jelas Syahrul.

Menurut Syahrul, lahirnya Undang-undang ITE dan keterbatasan kemampuan para aparat hukum dalam penyelesaian sengketa dengan arif, terutama pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini telah banyak meredupsi struktur sosial dan budaya di Indonesia, khususnya juga di Aceh yang kental dengan hukum adatnya.

“UU ITE secara total telah merubah semuanya. Dampaknya besar sekali. Kerusakan sosial sangat kita rasakan. Dan mekanisme penyelesaian pidana yang ternyata secara konsepnya juga salah. Begitu keluar dari penjara, toh tidak ada yang selesai juga. Ujung-ujungnya kan berantem lagi. Posisi nggak suka dan saling menghujat itu berkepanjangan terjadi,” pungkas Syahrul.[AKH]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda