Beranda / Berita / Aceh / Tuntaskan Mafia Tanah, LBH Harap Pemerintah Segera Sahkan Qanun Pertanahan

Tuntaskan Mafia Tanah, LBH Harap Pemerintah Segera Sahkan Qanun Pertanahan

Minggu, 21 November 2021 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora
Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul. [Foto: IST]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh baru saja menangani kasus mafia tanah dalam pembangunan jalan tol Sigli-Banda Aceh di Padang Tiji. Kehadiran LBH membantu masyarakat akibat pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol tersebut.

Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul mengungkapkan beberapa fakta di lapangan selama menangani kasus tersebut. Beberapa masyarakat bahkan tanahnya tidak masuk dalam daftar pembayaran di awalnya tetapi ketika proses pembangunan, lahan yang mereka kelola masuk ke dalam peta pembangunan jalan tol, ketika di cross check ternyata uangnya sudah diambil oleh orang lain.

"Orang yang paling harus bertanggung jawab adalah Kepala Desa karena tidak mungkin verifikasi berkas untuk ganti rugi jalan tol itu tanpa surat keterangan dari Kepala Desa," ungkapnya saat dihubungi Dialeksis.com, Minggu (21/11/2021).

Menurutnya, dari peristiwa itu ada 2 kemungkinan, Kepala Desa yang diancam atau dia ikut bermain.

"Selain itu, setiap ada pembukaan lahan untuk kelapa sawit misalnya, bahkan masuk ke lahan masyarakat yang kemudian tanpa ganti rugi dan lain-lain," ungkapnya lagi.

Syahrul menjelaskan modus dari mafia tanah itu biasanya untuk kepentingan investasi dan cara kerjanya tidak fair. Misal, Ketika Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengoverlay lahan ketika pengajuan dan jika disaat proses overlay itu masyarakat tidak punya sertifikat atau tidak memiliki hak milik, langsung ditanda bahwa lahan ini boleh diberi izin Hak Guna Usaha (HGU).

"Padahal kalau mereka turun lapangan itu ada masyarakat yang sudah mengelola lahan itu puluhan tahun, tapi belum mengurus sertifikat. ketika surat HGU keluar perusahaan beroperasi, baru ketauan lahan masyarakat itu masuk ke dalam HGU, lalu terjadi konflik masyarakat digusur, diusir, ditangkap atau dilapor polisi," ungkapnya lagi.

Syahrul menceritakan, beberapa waktu lalu 5 warga Padang Tiji dipanggil dan diajak duduk oleh pihak Polres Sigli, kemudian mereka diberikan uang sebanyak Rp50 juta.

"Kalau nggak diambil tetap dilakukan upaya paksa. LBH menganggap ini sangat keliru atas ketidakberdayaan masyarakat, harusnya polisi mengusut mafia tanah siapa yang main dan memanipulasi data melalui skema divisi mafia tanah yang ada di Polda," jelasnya lagi.

Ia menambahkan, dari tahun 2012-2021 ada 5 kasus yang dilaporkan oleh LBH ke BPN Pusat, sampai hari ini tidak ada yang diselesaikan satupun bahkan menciptakan konflik baru terhadap HGU baru.

"Sebenarnya mudah solusinya, sekarang verifikasi kebenaran kepemilikan tanah itu ada pada tingkat desa atau pemiliknya itu sendiri, ketika ada yang komplen maka harus dilihat secara komprehensif, ini orang sudah kelola sejak tahun berapa kemudian HGU itu datang tahun berapa," terangnya.

Menurut Syahrul, dengan cara sesederhana itu langsung dapat disimpulkan bahwa ini milik orang yang lebih dahulu, bisa dibuktikan dengan penguasaan fisik misalnya umur tanaman, penggunaan tanah dari tahun berapa itu bisa diukur dan dinilai, bisa masuk laboratorium.

Bukan berarti masyarakat tidak punya sertifikat kemudian dianggap bukan pemilik dari tanah itu. Di sisi lain, pemerintah juga harus mengamati sejauh mana kesadaran masyarakat di Aceh untuk mengurus sertifikat.

"Terkadang masyarakat juga tidak punya aksen atau kemampuan untuk mengurus sertifikat itu," tambahnya.

Sebelumnya, pemerintah telah meluncurkan Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) yaitu program pencatatan administrasi tanah yang dilakukan pemerintah secara massal untuk mendapatkan data terkini. Sasaran utama dari program ini adalah masyarakat menengah ke bawah dan bawah untuk memberikan kepastian hukum dan hak terkait kepemilikan tanah.

Pembagian Sertifikat tanah gratis melalui Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Atau (PTSL) merupakan Program Presiden RI Joko Widodo. Sejak awal dicanangkan program sertifikat program nasional agraria (PRONA) di Bawah Badan Pertanahan Nasional (BPN) ini tidak dipungut biaya alias gratis.

"Namun, Prona yang dibilang gratis itu apa benar-benar gratis dan itu harus dicek atau diperiksa ke desa, dan sejauh mana BPN turun ke desa dan mengatakan ini gratis dan penting untuk disertifikasi, perlu sosialisasi bukan cukup mengundang Kepala Desa saja," tegasnya.

Setelah perdamaian ada UUPA, salah satu kewenangan Pemerintah Aceh mengurus sendiri sektor pertanahan, mengubah lembaga BPN dan BPA.

Saat ini, DPR Aceh sedang menyusun Qanun pertanahan, akan tetapi ini tidak disetujui substansinya oleh pemerintah pusat padahal sudah lengkap sejak 2016. DPRA melalui Komisi I sudah menyusun Qanun tersebut hampir 5 tahun, namun tak kunjung disetujui oleh pemerintah pusat, salah satu alasannya Aceh tidak siap.

"Sangat subjektif harusnya kalau sudah ada UUPA tidak ada istilah siap nggak siap, dalam qanun itu sangat komprehensif diberikan kewenangan pemerintah Aceh untuk menerbitkan sertifikat sendiri, menyelesaikan konflik pertanahan dan susun re-distribusi tanah untuk fakir miskin, korban konflik atau kombatan," sebutnya.

Untuk itu, ia berharap Qanun Pertanahan bisa segera disahkan agar pemerintah Aceh bisa melakukan perbaikan tata kelola pemanfaatan lahan di Aceh kedepan, saat ini kewenangan masih diambil pusat jadi pemerintah Aceh tidak bisa berbuat apa-apa. 

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda