Terbukti Menipu, Eks Gubernur Aceh Divonis 3,6 Tahun Penjara
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh divonis 3,6 tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana penipuan.
Hukuman terhadap anggota DPD RI Dapil Aceh ini diperberat oleh Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta dari 1,6 tahun tahanan menjadi 3,6 tahun penjara setelah terdakwa mengajukan banding beberapa waktu lalu.
Perkara Abdullah Puteh didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jaksel pada 12 Oktober 2018. Seteleh melalui serangkaian proses, pada 10 September 2019 PN Jaksel memvonis Puteh melakukan tindak pidana penipuan dan dihukum 18 bulan penjara.
PN Jaksel mengatakan korban saksi Herry Laksmono mengirimkan uang kerjasama kepada Puteh sebesar Rp 750 juta untuk biaya pengurusan izin amdal. Namun, berdasarkan keterangan saksi dan bukti di persidangan, biaya pengurusan amdal hanya sebesar Rp 406.750.000, bukan Rp 750 juta.
Atas keputusan itu, jaksa dan Abdullah Puteh sama-sama banding. Namun, pengajuan banding mantan Gubernur Aceh yang juga pernah terjerat kasus korupsi itu, justru membuat Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta memperberat vonis kepadanya.
"Mengubah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1140/Pid.B/2019/PN.Jkt.Sel tanggal 10 September 2019 yang dimintakan banding tersebut sekadar mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa H Abdullah Puteh oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan," bunyi putusan itu, seperti dilansir website resmi PT Jakarta, yang dikutip detikcom, Rabu (6/11/2019).
Majelis Hakim memperberat hukuman dengan alasan Abdullah Puteh sebagai mantan pejabat publik harusnya menjadi panutan.
"Sehingga untuk memberi obyek jera, majelis hakim PT Jakarta harus menaikkan lamanya pidana yang dijatuhkan kepada diri terdakwa," ujar majelis dengan suara bulat, yang diketuai Gatot Supramono dengan anggota I Nyoman Sutama dan Hidayat.
Penelusuran Dialeksis.com, kasus penipuan itu bermula ketika pertengahan tahun 2011, Abdullah Puteh selaku Komisaris PT Woyla Raya Abadi bertemu dengan saksi Herry Laksmono di pusat perbelanjaan Senayan City di Jakarta Selatan.
Pertemuan mereka berlanjut beberapa waktu kemudian, dengan bertemu di hotel Borobudur Jakarta Pusat.
Dalam pertemuan itu Puteh menyampaikan kepada Herry bahwa ia memiliki Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) dari Menteri Kehutanan atas lahan seluas 6.521 Ha di Desa Barunang Kecamatan Kapuas Tengah Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah.
Namun aku Puteh kepada Herry, ia tidak punya modal untuk menjalankan usaha tersebut terutama untuk pengurusan ijin-ijin lainnya yang diperlukan agar usaha tersebut dapat dijalankan.
Karena itulah, Puteh meminta bantuan Herry memodali usaha tersebut dengan menawarkan kerjasama dimana Herry diberikan hak memanfaatkan kayu dalam areal ijin IUPHHK-HTI milik Puteh berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 297/Menhut-II/2009 tanggal 18 Mei 2009.
Namun, pada praktiknya, Herry tidak dapat memanfaatkan hasil penebangan kayu tersebut. Merasa ditipu, Harry mempolisikan Puteh, hingga berujung pada putusan Majlis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta.
Seperti diketahui, Abdullah Puteh menjadi Gubernur Aceh pada 2000-2005. Namun di tengah jalan, pria kelahiran 4 Juli 1948 itu ditangkap KPK karena terbukti korupsi pembelian dua helikopter PLC Rostov jenis MI-2 senilai Rp 12,5 miliar.
Puteh dihukum 10 tahun penjara namun setelah lima tahun menjalani hukuman, ia bebas bersyarat.
Puteh kemudian mencalonkan diri kembali menjadi Gubernur Aceh pada Pilkada 2017 dari jalur independen tapi gagal. Pada Pemilu 2019 ia mencalonkan diri menjadi angota DPD Aceh dan lolos ke Senayan.(me/dbs)