Beranda / Berita / Aceh / Saat Nasir Djamil Desak Pusat Tuntaskan Kasus HAM Aceh

Saat Nasir Djamil Desak Pusat Tuntaskan Kasus HAM Aceh

Rabu, 13 Maret 2019 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil di kompleks parlemen, Kamis (29/11/2018). (Foto: KOMPAS.com/Jessi Carina) 



DIALEKSIS.COM | Jakarta - Tahun 2018 lalu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM memberi catatan merah terhadap penyelesaian pelanggaran HAM oleh Pemerintahan era Joko Widodo. Komnas HAM menilai selama 4 tahun kepemimpinan Jokowi dari 2014 sampai dengan 2018, penyelasaian kasus HAM di era jokowi baru sebatas komitmen, belum pada level action atau penindakan.

Seperti dikutip Tempo, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Mohammad Choirul Anam mengatakan niat penuntasan kasus HAM sering kali berhenti di level perintah presiden.

"Belum ada kemajuan yang cukup signifikan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM," kata Choirul ketika pers 4 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK dan Penegakan HAM di Restoran Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat, 19 Oktober 2018.

(Baca juga: M. Nasir DJamil, Sosok Singa Parlemen dari Aceh)

Menurut Choirul, banyak aduan kasus pelanggaran HAM yang dibiarkan mandek. Artinya, tanpa tindak lanjut yang jelas dan pengawasan yang ketat.

Choirul mencontohkan tiga kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh. Yaitu kasus Jambu Kepok, kasus simpang KAA, dan kasus rumah gedong. Kasus-kasus itu telah diserahkan ke Jaksa Agung pada 2017-2018. Namun sejauh ini dirinya mengungkapkan belum ada titik terang.

Presiden Jokowi sendiri sejauh ini mengungkapkan bahwa pihaknya mengakui bahwa tidak mudah menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia. Walhasil, Indonesia saat ini masih memiliki beban pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Seperti dikutip CNN Indonesia, saat debat perdana Pilpres Perdana 2019, Kamis (17/1/2019), Jokowi yang maju kembali dalam Pilpres 2019 mengungkapkan pemerintahannya menghadapi banyak masalah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Kendala tersebut salah satunya berkaitan dengan kompleksitas hukum yang harus dihadapi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut.

Selain itu penyelesaian kasus HAM masa lalu juga terbentur pada masalah pembuktian dan waktu yang terlalu jauh dengan penyelidikan.

"Harusnya memang sudah selesai. Tapi, tidak mudah menyelesaikannya," ujar jokowi yang dalam Pilpres 2019 kali ini berpasangan dengan Mantan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ma’ruf Amin.

Jauh hari sebelumnya, kalangan wakil rakyat yang bermarkas di senayan sudah berteriak keras kepada pemerintah jokowi JK agar segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

(Baca juga: Ketika Nasir Djamil Harus Bertarung di Dapil Rock n Roll)

Salah satu yang paling getol menyuarakan hal tersebut, adalah Anggota DPR RI Komisi III dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera, M. Nasir Djamil.

Seperti dikutip ANTARA, Nasir Djamil pada tahun 2016 lalu sempat mendesak agar Pemerintah Jokowi JK menindak lanjuti temuan Komnas HAM terkait terkait Kasus Simpang Kraft Kertas Aceh (KKA).

"Kami minta Komnas HAM segera menyerahkan kesimpulan hasil penyelidikan tersebut ke Jaksa Agung," katanya, Rabu, 22 Juni 2016.

Pernyataan itu disampaikannya menyusul adanya pernyataan Komnas HAM yang ketika itu telah selesai melakukan penyelidikan kasus tersebut pada Rabu (22/6). Dalam UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM disebutkan menyatakan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan paling lambat tujuh hari kerja kepada penyidik.

Nasir mengatakan menyayangkan lambatnya kinerja Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan dalam kasus pelanggaran HAM di Simpang KKA tersebut. Apalagi pemantauan dan penyelidikan kasus pelanggaran HAM di Aceh oleh Komnas HAM telah dilakukan sejak tahun 2013 dan telah dilakukan penyelidikan proyustisia serta pemeriksaan sejumlah saksi pada 2014.

"Para Korban dan keluarganya sudah cukup lama menanti langkah konkret Komnas HAM terkait hasil penyelidikan Kasus ini sejak 2013 silam, sehingga penyerahan segera kesimpulan hasil penyelidikan ke Jaksa Agung ini menjadi sangat penting," katanya.

Ia mengatakan hasil tersebut juga akan memberikan kepastian hukum bagi para korban, keluarga korban serta pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM di Simpang KKA tersebut. Nasir juga meminta Jaksa Agung segera mempelajari dan menindaklanjuti kesimpulan penyelidikan tersebut sesuai ketentuan Pasal 21-22 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

Tragedi Simpang KKA, yang juga dikenal dengan nama Insiden Dewantara atau Tragedi Krueng Geukueh berlangsung saat konflik Aceh pada 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Aceh. Saat itu, pasukan militer Indonesia menembaki kerumunan warga yang sedang berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan warga yang terjadi pada tanggal 30 April di Cot Murong, Lhokseumawe.

Komnas HAM menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus ini. Pelanggaran HAM berat dari hasil penyelidikan terjadi meluas dan sistematis. Komnas HAM mencatat korban tewas sebanyak 46 orang, tujuh di antaranya anak-anak. Selain itu, 156 orang mengalami luka tembak dan 10 orang dinyatakan hilang. 

(Baca juga:Nasir Djamil, Mantan Anak Band yang kini menjadi Legislator Ulung dari Aceh)

Nasir tak ingin kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh mandek di tengah jalan karena akan merugikan korban. Menurut dia, presiden juga tak boleh diam melainkan harus ikut mengawasi dan mengikuti putusan kasus ini.

"Kami komisi II akan mengawasi agar ini semua direalisasikan. Kami bisa mengawasi dan menindaklanjuti ini," tegasnya ketika itu.

Di tahun 2017, Nasir kian getol menagih janji pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Dirinya menagih ketegasan Jokowi untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Apalagi, menurut Nasir, beberapa orang yang dianggap terlibat dalam pelanggaran HAM berat tersebut masuk dalam kabinet Jokowi.

"Sampai sekarang belum ada titik terang, karena pemerintah memang ingin rekonsiliasi. Tapi kan rekonsiliasi itu harus ada syaratnya, syaratnya adalah harus ada pengungkapan kebenaran," kata Nasir ketika diskusi 'Evaluasi 3 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK', di Warung Komando, Jalan Dr Saharjo, Jakarta Selatan, Jumat (6/10/2017)

Nasir menegaskan hukum harus ditegakkan. Sehingga hal itu akan memberikan kepastian dan keadilan bagi para korban maupun masyarakat banyak.

"Hukum itu memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Jadi ekonomi yang lagi dibangun tapi hukumnya tidak seimbang atau katakanlah tajam ke bawah tumpul ke atas, pembangunan ekonomi, infrastruktur kena imbas. Menurut saya memang pemerintah harus fokus dulu dalam penegakan hukum," katanya. (PD)


Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda