kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Revisi UUPA, Zainal: Wajib Libatkan DPRA

Revisi UUPA, Zainal: Wajib Libatkan DPRA

Kamis, 06 Januari 2022 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

Dosen Fakultas Hukum USK, Zainal Abidin, S.H. M.Si, M.H. [Foto: Dialeksis]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Revisi UUPA yang kini tengah digodok untuk direvisi menjadi salah satu perhatian bersama, dimana UUPA menjadi salah satu prioritas untuk kesejahteraan Aceh.

Dosen Fakultas Hukum USK, Zainal Abidin, S.H. M.Si, M.H mengatakan, melihat teks Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sepertinya amandemen UUPA tidak ada dalam Prolegnas prioritas tahun 2022.

“Berbeda dengan tahun 2021, DPR-RI merencanakannya, dibuktikan dengan telah disiapkannya rancangan draft perubahan UUPA. Oleh karena perubahan UUPA prosedurnya berbeda dengan perubahan UU lain, maka perubahannya wajib melibatkan DPRA (special amandement),” ucapnya kepada Dialeksis.com, Kamis (6/1/2022).

Untuk itu, Zainal mengatakan, terkait dengan perubahan UUPA dalam tahun ini tidak menjadi skala prioritas DPR-RI. Membaca UUPA hari ini, tidak ada pilihan lain untuk segera dilakukan revisi.

Sebagaimana diketahui UUPA lahir pada rezim UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga kontens norma UUPA secara umum mengikuti norma UU 32 Tahun 2004,” sebutnya.

Pada masa berlakunya UU 32 Tahun 2004, kata Zainal, puluhan kali UU tersebut di judicial review dan akhirnya dicabut dengan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam belitan itu, maka bisa dilihat banyak norma-norma dalam UUPA tidak bisa dilaksanakan lagi dan/atau terhambat untuk dilaksanakan sebelum disesuaikan.

“Terdapat pula norma UUPA yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, juga belum ditindaklanjuti. Dana otsus Aceh akan berakhir 2027, perlu di perpanjang bahkan untuk selamanya karena soal dana otsus terkait dengan kesejahteraan rakyat Aceh,” ujarnya.

Untuk itu amandemen UUPA suatu keniscayaan. Moment revisi, sekaligus akan terbuka ruang bagi UUPA untuk disinkronkan kembali dengan MoU Helsinki, sebab banyak butir-butir MoU Helsinki belum tercover dalam UUPA, akibatnya pelaksanaan MoU menjadi problem normative, kata Zainal.

Selanjutnya, di Aceh, perihal diskursus perubahan UUPA muncul pendapat yang setuju dan tidak setuju. Pendapat yang tidak seutuju bertumpu pada kekhawatiran bahwa perubahan UUPA akan merambah ke norma-norma lain yang tidak perlu dirubah.

Menurutnya, kekhawatiran itu bisa dieliminir dengan cara mengawal ketat perubahan oleh berbagai segmen masyarakat Aceh, terutama Forum Bersama (Forbes) DPR dan DPD RI asal Aceh, dan DPRA secara prosedur sebagai pihak yang terlibat langsung dalam perubahan UUPA.

Disisi lain, Zainal menjelaskan, banyak norma-norma UUPA tidak bisa dilaksanakan karena kurangnya komitmen Pemerintah untuk mendukung pelaksanaan UUPA.

“Contoh lembaga-lembaga yang kewenangan pembentukanya ada pada pemerintah pusat, sampai hari ini belum dibentuk,” tukasnya.

“Demikian juga peraturan pelaksana UUPA yang menjadi kewenangan Pemerintah, sudah 16 tahun UUPA ditetapkan, peraturan pelaksananya masih belum lengkap. Harapan saya UUPA sudah waktunya direvisi dan perlu komitment semua otoritas resmi untuk melaksanakan norma-norma dalam UUPA,” pungkasnya. [ftr]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda