Beranda / Berita / Aceh / Revisi UUPA, Ini Penjelasan Dari Akademisi

Revisi UUPA, Ini Penjelasan Dari Akademisi

Kamis, 18 November 2021 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

Akademisi Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Kurniawan S, S.H., LL.M. [Foto: Istimewa]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - DPR RI saat ini telah menyiapkan konsep awal RUU Perubahan atas Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA). Adapun konsep awalan RUU yang tengah disusun oleh DPR RI diyakini belum bisa menjawab berbagai persoalan yang terjadi di Aceh selama ini.

Akademisi Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Kurniawan S, S.H., LL.M mengatakan, tahun 2022 itu merupakan tahun terakhir kita menerima Dana Otsus Aceh atau DOKA itu setara 2 persen, dan ditahun selanjutnya Aceh akan menerima Dana Otsus itu hanya setara 1 persen saja.

Diketahui dalam revisi UUPA, juga terdapat pembahasan mengenai hal itu, Oleh karena itu, Kurniawan kepada Dialeksis.com Kamis (18/11/2021) saat diwawancara mengatakan, oleh karenanya tahun 2022 itu merupakan tahun terakhir kita menerima Dana Otsus setara 2 persen.

“Maka dimulai dari tahun 2023 sampai 2027 kita hanya menerima 1 persen saja, dengan kata lain rata-rata itu hanya 3,5 Trilliun atau mentok di 4 Trilliun saja,” sebut Kurniawan kepada Dialeksis di Banda Aceh, Kamis (18/11/2021).

Terkait Revisi UUPA, Kurniawan mengatakan, bahwa keberadaan UUPA haruslah dipandang sebagai instrumen hukum dalam rangka membuat rakyat Aceh menjadi sejahtera.

“Kita harus bisa mengejar ketertinggalan daerah dan ketertinggalan infrastruktur, pendidikan dan berbagai macam lainnya pasca 30 tahun lebih kita konflik, nah jadi UU Nomor 11 tahun 2006 ini menjadi instrumen,” sebut Kurniawan.

Oleh karena itu, Kurniawan menyampaikan, yang harus kita pandang bahwa UU No. 11 Tahun 2006 bukanlah alat politisasi bagi kita elit didearah untuk mensenjahterakan rakyatnya.

“Disinilah para wakil-wakil kita di parlemen di DPR RI membangun ‘Bergening’ dengan pemerintah pusat, bagaimana dengan revisi UUPA ini membawa ke arah yang lebih baik,” ucapnya.

Misalnya, Kata Kurniawan, materi muatan UU No. 11 Tahun 2006 ini yang sedang dibahas saat ini menguntungkan bagi Aceh, baik secara politik maupun ekonomi.

“Contoh, UU No. 11 Tahun 2006 bukan hanya semata-mata alat untuk memberikan kesejahteraan secara ekonomi, tapi juga bagaimana membuat kestabilitas keamanan politik. Dana Otsus, itu merupakan salah satu materi dan cara untuk kita membantu pemerintah daerah untuk bisa menopang dan membantu mewujudkan kesejahteraan rakyat Aceh,” ujar Kurniawan.

Kemudian, Kurniawan menjelaskan, dalam hal ini, elit kita di parlemen harus menyuarakan bagaimana terkait DOKA (Dana Otsus Aceh) tetap ada kedepannya dan berapa lama tahun kedepannya.

Selanjutnya, Dirinya menjelaskan, terkait Revisi UUPA lainnya yang harusnya menjadi pertimbangan yaitu, dalam hal pengangkatan Aparat penegak Hukum di Aceh.

“Dalam hal Kapolri mengangkat Kapolda Aceh dengan persetujuan Gubernur Aceh, itu ada diatur. Yang jadi pertanyaannya, apakah itu tidak menganggu kenetralitas dan kestabilitas daripada aparat penegak hukum dalam dia memberantas kasus-kasus korupsi di Aceh yang melibatkan pemerintah Daerah?,” ungkapnya.

Kalau pasal tersebut dalam hal pengangkatan Kapolda Aceh atas persetujuan Gubernur Aceh atau atas kewenangan itu, Kurniawan mengatakan, ini bisa menyebabkan alat transaksional bagi Gubernur Aceh terhadap Polda Aceh dan ini bisa saja ini menjadi beban psikologis bagi Polda Aceh dalam membongkar kasus-kasus korupsi yang dalam notabene nya melibatkan pemerintah daerah.

“Disatu sisi aparat penegak hukum itu menjaga kestabilitas keamanan, tapi disisi lain pengangkatan Kapolda Aceh atas persetujuan Gubernur, nah ini yang harus menjadi pertimbangan apakah pasal itu harus dipertahankan atau tidak,” tukasnya.

Kurniawan menyebutkan, Bahwa Keberadaan UU No. 11 Tahun 2006, bahwa ini adalah sebagai instrumen ‘Bergening’ antara elit kita di pusat (Senayan) untuk bagaimana melihat norma-norma saat ini, itu menguntungkan atau tidak untuk Aceh.

“Dalam penegakan hukum, pasal ini menurut saya itu bermasalah,” tambahnya.

Dalam hal ini biarkan saja Kapolda itu sepenuhnya menjadi hak birokratif Kapolri, Sehingga, Kata Kurniawan, siapa pun yang ditunjuk Kapolri untuk menjadi Kapolda Aceh itu betul-betul seperti ‘Dewi Keadilan’.

Kurniawan menegaskan, hal ini juga berlaku bagi pengangkatan Kejaksaan Tinggi Aceh juga yang dimana Kejagung RI dalam pengangkatan Kejati Aceh atas persetujuan Gubernur Aceh.

“Karena keduanya itu dianggap sebagai Aparat Penegak Hukum di Aceh, jadi biar saja mereka langsung menjadi birokrasi terhadap daripada Instusinya masing-masing agar tidak adanya beban Psikologis dan seutuhnya netral dalam menjaga kestabilitas keamanan dalam memberantas korupsi yang melibatkan pemerintah daerah,” sebutnya.

Generasi Milineal Aceh Yang Tak Tidak Tahu UUPA itu Apa?

Kurniawan menyampaikan, maka karena itu, UU No. 11 Tahun 2006 itu adalah hasil negosiasi politik antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bersepakat untuk melakukan gencatan senjata di Helsingki.

“Maka tindak lanjut daripada itu, maka adalah yang MoU Helsingki yang melahirkan UUPA,” jelasnya.

Generasi yang saat ini mungkin tidak tahu apa itu UUPA, Kata Kurniawan, maka harus adanya sebuah kurikulum dalam pendidikan minimal itu di Sekolah Menengah Atas (SMA/SMU/SMK/Setaranya).

Karena mereka (Genarasi saat ini) yang akan melajutkan kepemimpinan tongkat estafet Aceh selanjutnya, kata Kurniawan, penting sekali bagi mereka untuk mengetahui seperti sejarah daripada masa konflik Aceh sehingga adanya MoU Helsingki yang melahirkan UUPA.

“Perlu sekali ada pendidikan-pendidikan yang bermuatan lokal yang masuk dalam kurikulum pendidikan di Aceh. Jadi cara cepat ataupun cara yang paling efektif itu lewat dunia pendidikan, tidak ada cara lain. Karena semuanya kita itu pasti melewati dunia pendidikan,” ucap Kurniawan.

Harapan Terhadap Revisi UUPA

Jadi, Kata Kurniawan, UU No. 11 Tahun 2006 adalah sudah tahun ke-16 pemberlakuannya. Tentu, disana-sini banyak hal dilakukan penyesuaian.

“Karena tidak mampu dengan pasal-pasal yang ada dalam UU No. 11 Tahun 2006 mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Aceh dalam rangka pemenuhan keamanan, kestabilitas politik, dan kesehjahteraan rakyat Aceh, dan lainnya,” ucapnya.

Oleh karena itu, Kata Kurniawan, bagi wakil-wakil kita yang ada di parlemen DPR RI, itu turun ke daerah, menampung aspirasi dan melihat pasal-pasal mana yang ada di UU No. 11 Tahun 2006 yang perlu dipertahankan itu dipertahankan dan yang bermasalah itu kemudian di Revisi, yang belum masuk itu dibuat dalam bentuk Norma baru.

“Sehingga kemudian, UU No. 11 Tahun 2006 pasca revisi nanti ibarat sebuah mesin yang keluar ditahun terbaru dan untuk mampu menjangkau kebutuhan Aceh 20 Tahun kedepan dan seterusnya,” pungkasnya. [ftr]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda