Respon Isu Intoleransi, HMI Aceh Gelar Diskusi
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Merespon Isu Intoleransi yang berkembang di tengah masyarakat Aceh, Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (BADKO HMI) Aceh menggelar diskusi publik di 3 in 1 Coffee, Jumat (21/12).
Mengangkat tema "Peran generasi muda sebagai penggerak dan penggagas kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang dilandasi toleransi serta keberagaman", BADKO HMI Aceh menghadirkan tiga pembicara, masing-masing Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Prof Dr Hasbi Amiruddin MA, Mewakili Kebangpolinmas Aceh Mus Muliadi, dan Direktur Center for Atjeh Stategic Studies (CASS) Mirza Fanzikri M.Si.
Ketua Umum BADKO HMI Aceh terpilih, Abdul Razak, S.TP dalam sambutannya menyampaikan, beberapa waktu lalu Setara Institute pernah mengeluarkan rilis survei bahwa Kota Banda Aceh berada pada papan bawah sebagai kota yang intoleran. Menyikapi hal tersebut HMI melaksanakan kegiatan ini sebagai salah satu komponen yang memiliki peranan penting dalam pembangunan, baik secara nasional maupun di daerah.
"Dengan kegiatan ini kami berharap agar dapat berperan sebagai agen penggerak dan penggagas kehidupan berbangsa dan bermasyarakat dengan dilandasi toleransi dan kebhinekaan," ujarnya.
Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Aceh Prof. Dr. Hasbi Amiruddin, MA yang menjadi pembicara pertama dalam diskusi tersebut berharap agar HMI harus mengetahui maksud dan indikator intoleransi yang dikeluarkan oleh Setara Institute dan peneliti dari LIPI yang mengatakan bahwa orang Aceh cenderung bersikap Intoleransi.
Ia mengatakan, "Secara organisasi (FKPT Aceh) telah meminta indikator penelitian tersebut, namun mereka (Setara Institute) tidak bisa menyampaikan skema apa yang menyebutkan orang Aceh intoleran. Karena secara umum Indonesia mengenal Aceh sangat toleran terhadap hubungan antar agama. Bahkan tidak pernah terjadi keributan besar antar umat agama di Aceh. Hal ini terbukti dengan keberadaan Gereja yang dibangun sejak zaman dahulu masih berdiri kokoh di Aceh tanpa terjadi masalah", ujar guru besar UIN Ar Raniry tersebut.
Lebih lanjut Prof Hasbi menyelaskan bahwa Piagam Madinah merupakan salah satu contoh sikap toleransi dalam keberagaman sejak zaman Rasulullah. Bahkan Piagam Madinah merupakan suatu sikap negara kebangsaan dimasa tersebut, karena melalui Piagam Madinah mampu menyatukan perbedaan penduduk Madinah antara umat Islam, Yahudi dan Nasrani untuk bersama-sama menjaga Kota Madinah. Jadi sistem negara kebangsaan telah ada sejak itu dan tidak harus menggunakan sistem Khilafah.
Pembicara kedua Direktur Center For Atjeh Strategic Studies Mirza Fanzikri, S.Sos.I, M.Si mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki keberagaman dengan berbagai suku bangsa dan budaya yang ada. Bahkan di Aceh tersendiri terdapat beberapa suku budaya. Artinya kita memiliki keberagaman multi etnik dengan kebhinekaan sebagai ciri kasnya.
Menurutnya, dalam wadah bangsa yang sangat besar ini tidak mungkin tidak ada dinamika, lazim sebuah dinamika terjadi ketika kita berhimpun dalam rumah besar. Jangankan suatu negara, dalam berumah tangga saja terjadi dinamika.
Dinamika kemajemukan tersebut merupakan suatu hal sunatullah. Dalam ayat Alquran sudah disebutkan bahwa "Wahai manusia aku ciptakan engkau bersuku-suku, berbangsa-bangsa, supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa". Ayat ini merupakan akar toleransi yang mengajari kita untuk saling bergaul, bekerjasama dan berkolaborasi.
"Yang berhak memvonis, menilai ketakwaan kita adalah Allah Swt. Maka jangan sampai kita mengambil peran Allah untuk menghakimi sesama manusia. Oleh karenanya, kebhinekaan, kemajemukan dan keberagaman adalah sunatullah, untuk merawatnya kita harus memiliki perilaku yang toleran," jelas mantan Ketua Umum BADKO HMI Aceh.
Lebih lanjut, Mirza meminta kepada HMI dan mahasiswa pada umumnya untuk mengambil peran dalam tiga hal. Petama, mendorong penegakan hukum yang lebih tegas terhadap penyebar hoak, provokator dan pemecah belah bangsa. Kedua, Generasi muda harus aktif membuat dan membuka ruang dialog dan kajian, karena dengan membuka dialog kita bisa memecahkan berbagai perbedaan dan sebagai peran menjaga sikap toleran. Ketiga, nilai-nilai toleransi harus didorong dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kasubbid Organisasi Kemasyarakatan Kesbangpol Aceh Mus Mulyadi, S.Pd, MM sebagai pembicara ketiga menyampaikan bahwa ada kekeliruan mengatakan kota Banda Aceh kota intoleransi. Buktinya tidak pernah ada organisasi pemuda yang menghalangi umat non muslim dalam beribadah dan tidak pernah ada kasus ormas/okp yang mengganggu pelaksanaan ibadah perayaan hari raya umat non muslim. Bahkan beberapa elemen masyarakat di Banda Aceh ikut membantu menciptakan kondisi yang kondusif utuk mewujudkan ketentraman dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.
Ia mengatakan, "terkait perkembangan persoalan yang baru-baru ini terjadi, saya menilai hal tersebut ada faktor X lain, seperti dugaan adanya proxy war melalui upaya-upaya tertentu untuk meluluhlantakan negara kita. Dalam hal ini Kesbangpol telah melakukan upaya melalui FGD terkait hal tersebut," ujarnya.
Ia berpendapat kegiatan seperti ini sangat aktual diadakan dengan kondisi saat ini dan berharap juga harus dilakukan oleh elemen-elemen mahasiswa lainnya. Menurutnya, melalui kegiatan seperti ini mampu menjadi corong untuk mempersatukan umat dan menumbuhkan sikap toleran elemen pemuda dan mahasiswa serta menunjukkan bahwa masyarakat Aceh itu dapat bersikap toleran.
Selain tiga pembicara yang diundang khusus BADKO HMI Aceh, dalam diskusi tersebut juga hadir Eks. Napiter Pelatihan Teroris Jalin Jantho Surya Achda. Ia menyampaikan testimoni sebagai salah seorang yang pernah terlibat saat pelatihan teroris di pegunungan Jalin Jantho dan pasca bebas dari Lapas, saat ini pihaknya telah menjadi mitra dari BNPT, FKPT dan unsur pemerintahan lainnya. Ia mengaku sering menghadiri seminar/FGD yang diadakan oleh berbagai pihak.
Ia menceritakan keterlibatannya dalam pelatihan teroris Jalin Jantho karena bergabung bersama MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) di bawah pimpinan Abu Bakar Baasyir sebagai sayap militer Alqaeda Afganistan. "Hal tersebutlah yang membuat saya divonis penjara dan bebas tahun 2018," ungkapnya.
Diskusi ini ditutup dengan foto bersama serta penyerahan sertifikat kepada masing masing narasumber oleh panitia. (rel)