kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Qanun Hukum Keluarga Harus Focus Pada Kesejahteraan Keluarga

Qanun Hukum Keluarga Harus Focus Pada Kesejahteraan Keluarga

Kamis, 18 Juli 2019 20:47 WIB

Font: Ukuran: - +

Tenaga Ahli Komisi VII DPRA Dr. Agustin Hanafi LC, MA 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tenaga Ahli Komisi VII DPRA Dr. Agustin Hanafi LC, MA menjelaskan Raqan hukum keluarga menjadi viral karena kehadiran pasal poligami didalamnya. Ia menyebutkan raqan tersebut masih tahap pembahasan pasal 48 tentang isbat nikah, belum sampai sejauh itu.

Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Flower Aceh Riswati kepada Dialeksis.com, Kamis, (18/7/2019) mengutip penjelasan Dr. Agustin Hanafi LC, MA pada acara Talkshow RRI Banda Aceh yang digelar Senin, (15/7/2019) lalu.

"Jadi hal baiknya kita senang karena dampaknya bisa mendapatkan masukan dan hal-hal penting lainnya dari masyarakat Aceh", jelas Agustin.

Lebih lanjut Agustin menegaskan bahwa pengaturan poligami dalam raqan ini merujuk pada perundang-undangan yang berlaku di dalam undang-undang nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, yaitu mengharuskan adanya izin dari istri pertama. Kemudian, penetapannya adalah hak preogratif Mahkamah Syar’iyah. 

"Izin untuk poligami ini menjadi pilihan terakhir, dan harus memenuhi syarat yang berat, diantaranya istri cacat badan, fisik, tidak dapat melanjutkan keturunan, dan syarat mengikat lainnya," tuturnya.

Jadi, sambung Agustin, dapat dikatakan pilihan poligami ini seperti "pintu darurat di pesawat".

"Karena jika merujuk pada ayat Al-Qur’an, prinsip pernikahan itu adalah monogami, kebolehan poligami yang tersirat dalam surah Annisa hanya dapat dilakukan jika pada situasi tertentu yang mendesak dan mengharuskan syarat-syarat yang ketat, termasuk adanya izin istri", tegasnya. 

Sementara itu, Ketua Pusat Riset Hukum dan HAM Unsyiah, Khairani Arifin SH, M.Hum menyampaikan draft qanun yang sedang digodok itu mengatur banyak hal, termasuk poligami. Menurutnya, isinya tidak jauh berbeda dengan kompilasi hukum Islam dan Undang-undang perkawinan.

"Jadi, di kompilasi hukum Islam juga poligami dilegalkan, tapi dengan beberapa syarat, salah satunya persetujuan istri," ujar Khairani.

Ia berpendapat pada draft qanun itu sama, tapi ada pengecualian. Ia menyebutkan jika istri tidak setuju, itu boleh diajukan ke Mahkamah Syar’iyah.

"Nah, ini yang kita khawatirkan. Persetujuan istri inikan menjadi penting, karena terkait dengan kesejahteraan bagi perempuan dan juga anak-anaknya. Kalau misalnya istri tidak setuju, kemudian pengadilan melegalkan dengan beberapa hal, pasti pertimbangan pengadilan, dalam hal ini Mahkamah Syar’iyah benar-benar harus sangat ketat, untuk bisa memberi persetujuan," terangnya.

Lebih lanjut Khairani menegaskan masih banyaknya persoalan mendesak yang harus segera direspon di Aceh dibandingkan dengan poligami.

"Angka kemiskinan di Aceh masih sangat tinggi mencapai 15.7% (data BPS). Itu memperlihatkan Aceh ini masih termasuk daerah miskin. Dengan tingkat kemiskinan seperti ini, harusnya yang harus diprioritaskan adalah kesejahteraan, khususnya kesejahteraan keluarga, bukan justru fokus pada poligaminya," tuturnya

Ia menyarankan agar qanun keluarga dapat focus pada bagaimana cara mempertahankan ketahanan keluarga. Berdasarkan fakta lapangan, lanjutnya, angka perceraian di Aceh sudah tinggi, meningkat setiap tahun mencapai 15% pertahunnya, begitupun angka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). "Dengan peningkatan seperti ini, seharusnya qanun ini benar-benar fokus pada memperkuat keluarga. Karena, keluarga yang tidak kuat itu akan berdampak besar, bagi perempuan maupun anak. Jadi, kalau dikatakan berdampak pada pemenuhan HAM, sangat. Kenapa? Karena kita bicara mengenai hak ekonomi, hak sosial, dan sebagainya", imbuhnya.

Ia juga mengingatkan tentang tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan bagi masyarakatnya. Khairani menekankan tujuan poligami bertujuan memberikan perlindungan seperti yang telah disebutkan.

"Perlindungan ini kan tidak harus dalam sebuah perkawinan. Justru negara punya kewajiban untuk membuat sistem perlindungan bagi orang-orang, yang misalnya tidak punya suami dan sebagainya," tegasnya.

"Jadi, menikahkan orang dengan orang lain itu bukan jalan keluar untuk membuat orang menjadi aman atau sejahtera. Justru ini kewajiban negara untuk membuat sistem pengamanan sehingga siapapun akan merasa aman hidup di suatu tempat tanpa gangguan", tambah Khairani. (imd)




Keyword:


Editor :
Im Dalisah

riset-JSI
Komentar Anda