Beranda / Berita / Aceh / Praktisi Hukum Apresiasi Restorative Justice Namun Jangan Diperjual Belikan

Praktisi Hukum Apresiasi Restorative Justice Namun Jangan Diperjual Belikan

Minggu, 13 November 2022 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga

Penasihat Hukum Kasibun Daulay SH. Foto: Profil WA /Kasibun


DIALEKSIS.COM | Aceh - Kajagung menyetujui penghentian empat perkara yang diusulkan Kejati Aceh. Empat perkara Restorative Justice (RJ) dari 3 Kejaksaan di Aceh ini diapresiasi penasihat hukum.

Menurut Penasihat Hukum Kasibun Daulay SH di Aceh Besar, dalam keteranganya kepada Dialeksis.com, Minggu (13/11/2022), pihaknya mengapresiasi restorative justice, namun meminta Kajati Aceh dan jajaran untuk bersikap adil dan professional.

Menurut Kasibun Daulay, restorative justice adalah sebuah penyelesaian perkara diluar pengadilan, dengan melibatkan korban atau pemenuhan terhadap hak-hak korban.

“Menurut kami sebagai Praktisi Hukum, apa yang sudah diputuskan oleh Kejati terhadap beberapa perkara di Aceh yang terkait pidana yang diatur dalam pasal 480 KUHP dan 351 ayat (1) adalah tergolong tindak pidana ringan (Tipiring),” sebutnya.

“Kita mengapresiasi kejati Aceh berinsiatif kuat untuk menghasilkan restorative justice dijajaran kejati Aceh. Dimana Kejagung menyetujui penghentian Penuntutan empat perkara melalui Restorative Justice dan dikeluarkan SKP2 (Surat Keputusan Penghentian Penuntutan),” jelasnya.

Menurut Kasibun Daulay, restorative justice sebenarnya bukan hal baru di Aceh. Adanya pasal 13 Ayat (3) Qanun No. 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat Istiadat. Ada Keputusan Gubernur Aceh, Keputusan Kepolisian Daerah Aceh dan Ketua Majelis Adat Aceh Nomor. 189/677/2011, 1054/MAA/XII/2011, B/121/I/2012 Tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim.

Di Aceh ada 18 jenis sengketa atau perselisihan yang dapat diselesaikan secara adat di gampoeng ataupun Mukim dan sebagian besarnya untuk tindak kejahatan pidana adalah Tipiring.

“Sebagai peraktisi hukum yang setiap saat bergelut dengan perkara atau kasus yang terjadi dilapisan bawah masyarakat, meminta Kejati Aceh dan Jajaran, dalam penerapan RJ bersikap adil dan professional,” pinta Kasibun Daulay.

Menurutnya, perlu ada pengawasan internal yang kuat agar penerapan RJ tidak diperdagangkan atau diperjual belikan. 

Sehingga, sebutnya, keinginan Jaksa Agung agar terciptanya supermasi hukum dapat diterapkan dan masyarakatpun dapat mendapatkan keadilan, bukan saja dari sisi pelaku akan tetapi juga dari korban.

“Dengan adanya pemulihan dan ganti rugi dan atau keterlibatan tokoh masyarakat atau tokoh adat yang dapat menjaga kondusifitas di masyarakat kita di Aceh, apalagi Aceh terkenal satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam, seharusnya keberadaan adat istiadat dan kearifan lokalnya dapat dihargai dan digali untuk kebaikan hukum,” jelasnya.


Kamis (10/11/2022) Kajati Aceh telah menggelar video konferensi, dimana dijelaskan bahwa Kejaksaan Agung menyetujui penghentian penuntutan empat kasus melalui Restorative Justice (RJ) dari Kejati Aceh. 

Keempat perkara itu berasal dari Tiga Kejaksaan Negeri di Aceh.Dari Aceh Besar, Aceh Barat Daya dan Singkil. (Baga)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda