Beranda / Berita / Aceh / Polemik MAA Tak Kunjung Diselesaikan, Gubernur Aceh Dinilai Tidak Patuh Putusan Hukum

Polemik MAA Tak Kunjung Diselesaikan, Gubernur Aceh Dinilai Tidak Patuh Putusan Hukum

Senin, 13 Desember 2021 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Usman Lamreueng. [For Dialeksis]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Masalah Majelis Adat Aceh (MAA) belum ada tanda-tanda untuk diselesaikan oleh Gubernur Aceh Nova Iriansyah. Sepertinya Gubernur Aceh Nova Iriansyah enggan mengembalikan Badruzzaman Ismail sebagai ketua dan para pengurus terpilih Majelis Adat Aceh (MAA) hasil MUBES tahun 2018, sesuai keputusan banding Mahkamah Agung. 

Hal itu diungkap oleh Usman Lamreung dalam keterangan tertulis yang diterima Dialeksis.com, Senin (13/12/2021).

Usman menilai, hal itu menandakan Gubernur Aceh Nova Iriansyah tidak patuh putusan hukum, sebagai pemimpin seharusnya Nova taat hukum dan memberikan contoh terbaik pada rakyat Aceh.

"Seorang Gubernur seharusnya bersikap elegan, bijaksana dan menghormati keputusan hukum dengan menyegerakan menindaklanjuti melantik ketua MAA beserta pengurus hasil MUBES tahun 2018," jelasnya.

Dalam berbagai pemberitaan di media menyebutkan bahwa awal kisruh Majelis Adat Aceh (MAA) sejak Gubenur Nova Iriansyah (saat itu masih Pelaksana Tugas) menolak hasil Mubes tahun 2018 yang dianggap cacat hukum, tidak sesuai dengan Qanun Aceh No.3 Tahun 2004.

Pada MUBES tersebut terpilih sebagai Ketua MAA adalah Badruzzaman Ismail. Akibat ditolaknya hasil mubes, ketua terpilih hasil Mubes MAA bulan Oktober 2018 Ketua terpilih Badruzzaman Ismail mengajukan gugatan terhadap Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah ke PTUN Banda Aceh sampai kasasi ke Makamah Agung.

Akhirnya Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN) Banda Aceh, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan (banding), hingga Mahkamah Agung (kasasi) semuanya telah dimenangkan gugatan Badruzzaman berserta pengurus hasil Mubes 2018.

Majelis Adat Aceh (MAA) salah satu keistimewaan Aceh, dan tidak dimiliki di daerah propinsi lain di Indonesia, sudah sepatutnya MAA jangan di politisasi dengan arogansi kekuasaan, bisa menyebabkan MAA mati suri, tidak bisa apa-apa untuk menjaga adat, budaya dan reusam bangsa Aceh. Jangan gara-gara akibat arogansi, oligarkhi kekuasaan, MAA jadi babak belur, tak berdaya, pada akhirnya tinggal nama dan sejarah, akibat dipolitisasi MAA oleh sang penguasa.

Maka sudah sepatutnya Gubernur Aceh taat hukum dan seharusnya segera menetapkan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) terpilih beserta pengurusnya hasil MUBES Oktober 2018, karena proses hukum sudah selesai, Gubernur harus mengembalikan posisi ketua MAA berseta pengurus hasil Mubes tahun 2018.

"Kami berharap Gubernur Aceh Nova Iriansyah selesaikan masalah kisruh Majelis Adat Aceh sebelum berakhir jabatannya sebagai Gubernur, sudahilah agar konflik ini tidak lagi panjang, dan para pengurus bisa fokus melaksanakan berbagai agenda program Majelis Adat Aceh, yang saat ini sangat dibutuhkan rakyat Aceh," harapbnya.

Usman mengatakan, peran PYM Wali Nanggroe sangat penting untuk segera menyelesaikan kisruh ini, apalagi sekarang Majelis Adat Aceh dibawah Lembaga Wali Nanggroe, dan pun pengukuhan kepengurusan baru adalah Wali Nanggroe. Sudah seharusnya Wali Nanggroe mengginisiasi agar ini bisa diselesaikan dengan secara Adat Aceh.

Untuk mempertemukan Gubernur Aceh Nova Iriansyah dan Ketua terpilih Badruzzaman Ismai beserta pengurus, yang selanjutnya dilakukan peusijuk sesuai adat istiadat Aceh sebagai tanda berdamai saling memaafkan.

"Kalau ini saja tidak mampu dilaksanakan, bagaimana kita jaga budaya, adat istiadat Aceh, yang sejuk, ramah, Islami dan saling menghargai. Semoga Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe atas nama marwah adat istiadat mendamaikan kisruh MAA," tegas Usman.

Bahkan PYM Wali Nanggroe mempunyai peran sebagai pemersatu Masyarakat Aceh, maka sudah sepatutnya mengambil langkah-langkah konkrit dan bijaksana demi kokohnya rasa soliditas serta solidaritas dalam jajaran Lembaga Keistimewaan Aceh.

Disinilah Wali Nanggroe perlu mengedepankan dan mempertaruhkan kewibawaan sebagai Pimpinan Tertinggi di Jajaran Lembaga Keistimewaan Aceh. Konon lagi sudah terang benderang posisi Wali Nanggroe sebagaimana ditegaskan dalam Qanun Aceh No. 8 Tahun 2019, membawahi MAA dan Pimpinan MAA bertanggung jawab kepada Wali Nanggroe.

Untuk itu, kata dia, apabila sebelumnya ada kekeliruan dalam mengambil sikap antara lain Pengurus MAA yang telah dikukuhkan ternyata bertentangan dengan hukum karena bukan merupakan hasil MUBES, maka harus segera dievaluasi kembali.

"Kalau itu terus dibiarkan, percayalah ke depan akan timbul permasalahan hukum baru dan Wali Nanggroe akan terseret di dalam pusaran itu serta pasti akan merusak kewibawaan dan marwah Wali Nanggroe sebagai Pimpinan Tertinggi dalam Khazanah Lembaga Keistimewaan Aceh yang sangat berperan dalam mempersatukan masyarakat," jelasnya lagi.

Usman mengharapkan agar tokoh-tokoh yang berada di skitar Lembaga Wali Nanggroe yaitu Para Pimpinan/pengurus Majelis Tinggi, seperti Tuha Peut, Tuha Lapan dan Majelis Fatwa wajib mengambil peran untuk memberikan masukan-masukan yang benar dan bertanggung jawab kepada Wali Nanggroe, sehingga Keputusan yang diambil dan ditetapkan oleh Wali Nanggroe, benar-benar sesuai dengan Hukum yang berlaku, jangan justru masukan yang diberikan, dapat menjerumuskan Wali Nanggroe ke jurang kehancuran dan merusak kewibawaannya.

"Faktanya sebagaimana tindakan Wali Nanggroe yang telah mengukuhkan Pengurus MAA yang lalu tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tetapi telah disusupi dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik segelintir orang-orang tertentu," tutupnya. 

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda